Beranda

Selasa, 03 Januari 2012

(Event Resolusikan Dirimu) Menuliskah ? atau Royaltikah ?

Menuliskah ? atau Royaltikah ?

Resolusi aku ditahun 2012 adalah menjadi penulis amatir. Ya! Hanya menjadi penulis amatir saja. Dalam 5 bulan ke depan, aku akan menjadi seorang penulis amatir. Dan, aku berharap selamanya menjadi penulis amatir. Banyak alasan dan latar belakang yang mengubah resolusi aku dari tahun-tahun sebelumnya. Perubahan sekecil apapun itu, pasti memiliki alasan yang cukup besar.

Sebenarnya sejak aku masih menjadi remaja tanggung, aku sudah bercita-cita menjadi penyiar. Baik penyiar televisi ataupun penyiar radio. Aku mencintai dunia siaran. Nanti, setelah aku lulus aku berharap aku akan bisa berkonsentrasi dan bergabung ke dalam dunia penyiaran. 

Tetapi, tanpa kusadari kadang langkah setapak demi setapakku dalam proses ke pintu dunia penyiaran, teralihkan menuju pintu yang lainnya. Pintu yang dibaliknya terdapat dunia yang berbeda dan jauh sekali dengan cita-citaku menjadi seorang penyiar. Dan anehnya, kini aku malah merasa nyaman dan betah di dunia yang berada dibalik pintu, yang tidak kusadari jauh berbeda dengan cita-citaku dulu.

Berawal dari patahnya kisah asmaraku dengan dirinya, aku yang terpuruk hingga terjerembab ke sudut kenyataan mengalihkan segala kesudutanku dengan mulai membaca beberapa novel. Masih kuingat novel yang pertama kali kubaca, novel yang sekiranya aku asal ambil saja tak penting melihat judul, penulis, resensi ceritanya, novel yang membuatku tergerak menulis hingga sekarang yakni novel karangan Darwis Tere Liye dengan judulnya rembulan tenggelam di wajahmu.

 Kisah yang amat menyentuh peka perasaanku. Bercerita tentang perjalanan hidup seseorang yang lagi sekarat dan mendapatkan keistimewaan waktu untuk dapat meminta maaf dari orang-orang yang pernah bersinggungan dengannya semasa hidup, hanya gara-gara tokoh utama tersebut selalu bersyukur dan takjub ketika melihat bulan lagi penuh, bulat dan bersinar, bulan purnama. 

Saat huruf demi huruf berangkai menjadi sebuah perjalanan kalimat yang menceritakan tentang kehidupan tokoh utamanya, terbetik di hatiku suatu betikan yang nyaris membuat hatiku bergetar mendengarkan jeritan dari relungnya.tiap mataku menelusuri lekukan huruf demi huruf, tiap itu pula hati dikecupnya dengan sebuah kecupan yang meninggalkan jejak. Ya, perjalanan hidup tokoh utama yang hampir mirip dengan kenyataan yang telah melemparku ke sudut kepayahan.

Aku menangis seusai membaca novel tersebut. Menangis sejadi-jadinya, namun masih tak terpuaskan. Masih ada sesuatu yang mengganjal ditenggorokan, membuatku tercekat akan suatu bongkahan yang menyesakkan jalan tuk aku kembali ke tengah-tengah panggung kenyataan. Aku mencoba tuk tidur, mengalihkannya ke dalam dunia mimpiku. Namun, aku tak kunjung tidur pula. Aku lelah dengan ketidakberdayaan bangkit dari sudut kenyataan.

 Ingin rasanya aku mengegelindingkan bongkahan yang mencekat di tenggorokanku. Yang menutup jalan akan menghapusnya rasa lelahku. Ingin ku menggapai lengan seseorang tuk membantu mendorong rasa cekatnya bongkahan itu. Namun, aku menyadari bahwa, aku tersudut dari kenyataan adalah aku terhempas sendiri oleh sesaknya lengan-lengan orang yang berusaha menarikku. Aku harus sendiri tuk saat ini. Aku harus bisa menggunakan lengan-lenganku sendiri untuk bisa menggapai dinding terdekat, guna pijakan aku berdiri. Aku kembali menangis, karena menyadari ketakberdayaanku menghadapi kelelahanku senidiri menggusur bongkahan yang mencekatku.

Gerungan kesedihan yang semakin patah-patah. Masih sambil berbaring, ku ringankan ayunan lengan menyentuh tas gendong bututku. Aku meraba tiap bagiannya. Tak ingin mencari, namun aku hanya mengikuti maunya ujung jemariku. Jemariku yang melihat semua yang terdapat di dalam tas gendongku. Lalu, memberitahunya ke otakku. Dan melemparnya langsung ke saraf mataku agar memvisualisasikan dalam bayangan gelap mataku yang tertutup. Begitu sudah jemariku meraba dan mengaduk isi tas gendongku, terasa olehku binder.
Buku binder pemberian kakakku kala aku mula-mula kuliah. Sejurus kemudian, binder telah ada dikedua tanganku. Ku buka lembar demi lembar, masih banyak kosongnya kertas binder ini daripada kertas yang pernah ku coret-coret. Karena, aku tak begitu suka menulis catatan kuliah di kertas binder. 

Tetap kupandangi lembaran putih kertas binder ku. Merefleksikan agar tanganku yang bebas satunya mencari pulpen di dalam tempat pinsil. Masih belum kumulai menguratkan sebuah hurufpun di kosongnya kertas binder ini. Masih kutakzimi kosongnya kertas binder ini. Menghayati betapa kosongnya hatiku seperti kertas ini.

Masih tegang pula jariku tak bergerak, mencoret huruf yang berangkai membentuk kalimat. Akupun sempat tak tahu apa yang akan kutulis. Jemariku menunggu perintah otak, sedang otak menggigit jari kebingunan mengirim tulisan apa.

Hingga waktu telah siap menyaksikan jemariku menggurat kertas. hingga aliran darah terkesiap berhenti di jemariku, menekan jemariku pada pulpen menggurat kertas dengan rangkaian huruf. Hingga mata ini sedia mati untuk mengkoreksi tiap lekukan huruf-huruf yang tergurat. Hingga keringat ini mendinginkan hati yang bergejolak panas akan melelehkan sebuah bongkahan yang mencekat. Pulpen dengan pelukan erat jemariku, menari-nari sepanjang diantara garis hitam. Jemariku dengan apiknya meninggalkan jejak-jejak huruf yang berangkai tuk terbaca nanti. Menciptakan rima, menggetarkan senar-senar kehampaan hati. Nada-nada yang tersirap dalam hati, nada-nada pemusik kehidupan, ku lantunkan semuanya melalui gerakan jemariku menggurat kertas putih ini. 

Pernah pada suatu masa, dimana begitu menggebu-gebunya aku memahat diriku menjadi seorang penulis. Kejar target beberapa naskah yang harus diserahkan kepada panitia lomba-lomba sebelum batas deadline terkibar. Tergiur dan terpaksa mengikuti nafsu ketika melihat iming-iming royaltinya. Tak masalah aku mengikuti beberapa lomba menulis, aku dapat belajar menulis hanya dengan mengikuti lomba-lomba. Aku mencoba menstabilkan tulisanku dengan mengikuti lomba-lomba menulis. 

Namun, yang menjadi masalahnya adalah ketika aku mengikuti lomba dengan menargetkan hadiah yang ditawarkan. Ya, aku hanya melihat hadiahnya. Ingin namaku tercetak di salah satu penerbit yang memenangkan tulisanku. Ah, sangat berat menjalani keinginan yang sangat duniawi. Hingga, aku mendapat tawaran mengikuti lomba membuat dongeng anak-anak. Tanpa reward dari hasil tulisan. Tulisan yang terkumpul akan digunakan sebagai dongeng pembelajaran anak-anak TPA (Taman pendidikan Alquran). Tak pikir panjang, aku langsung membuat tulisan mencoba dengan bergaya mendongeng. Dan, ditengah jalan penulisan. Terbetik melintas pikiranku, mengapa kemarin-kemarin aku menulis hanya untuk mengejar penghargaan? Mengapa, aku tak seperti aku yang awal mula menulis?. Menulis hanya untuk menulis, tanpa harus ada keinginan macam-macam di belakangnya yang mengekor. 

Aku mencoba mengembalikan niatku awalku menulis. Dan, alhamdulillah, pikiranku memasuki ke alam dongeng yang tiada batas, seperti khayalan seorang bocah dengan negrinya yang tak berdimensi ruang, untuk  ku berikan kembali kepada anak-anak itu   

Hingga saat itulah, yang kuinginkan dengan segala kesadaran diri adalah hanya penjadi penulis amatir. Penulis yang tujuannya hanya menulis, bukan bertujuan menulis royaltinya.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa Sobat TERAS untuk berkomentar...