Kabar Hilang
Wahyu Wibowo
Jendela tua. Tamanku memandu keluh kesah. Seringkali aku
bercerita sendiri di liangnya. Cerita yang pilu akan durja dunia ini.
fana cinta remaja. Ah, jika berbicara cinta mual perutku rasanya. Cinta
sebatas kata saja. Jarang sekali aku dapatkan cinta yang abadi. Hingga
kakek-nenek. Kecuali, di awali ta’aruf jalanMu.
Aku telah terluka. Tabir hatiku disobek berkeping-keping. Wangi tubuh dan ucapku telah sirna bersama dirimu. Sepuluh tahun lalu, virus cintamu kau tepikan padaku. Saat itu, aku tengah galau akan hidup. Kau kuatkan aku. Temani aku. Langkahku kau luruskan. Kataku kau benarkan. Dan mimpiku kau sulam dengan kasih sayang. Aku terpikat. Aku terharu akan haru-biru pengorbananmu.
“Jika disuruh memilih, apakah akan meneruskan pendidikan di kota atau di sini berada di sisimu, maka secara spontan aku akan memilih berada di sini. Bersamamu. Menemanimu, ruangi kesepianmu, dan merajut bersama mimpi tuk kehidupan yang abadi di dunia.” Rayumu saat itu. senyum manismu memikatku. Aku terpikat. Magnet cintamu telah jatuh di hatiku. Aku pun tak kuasa pergi meninggalkan rebah itu.
“Ulangi apa yang kau ucapku!” pintaku penuh harap. Sayu mataku seketika berbinar. Binarnya mnerngi seluruh pori-pori di tubuhku. Berikan nyawa baru.
“Jika disuruh memilih, apakah akan meneruskan pendidikan di kota atau di sini berada di sisimu, maka secara spontan aku akan memilih berada di sini. Bersamamu. Menemanimu, ruangi kesepianmu, dan merajut bersama mimpi tuk kehidupan yang abadi di dunia.” Tegasmu dengan lantang.
“Sungguh?” tanyaku dengan merebahkan pandangan ke dua bola matamu.
“Sungguh.” Tanganmu merogoh saku. Kau ambil kotak cincin. Lalu, memasangkan di jemariku. “Inilah bukti cintaku.” Lanjutmu.
Seketika saja, airmataku menetes. Membasahi rerumputan yang kita pijak. Kupu-kupu datang mengunjungi kita. Bunga mawar meruangi lapangan dengan wanginya. Juga burung-burung melihat kita penuh kedamaian.
Berselang seminggu kelulusan sekolah. Aku mencoba menelfonmu. Teman-temanmu pun kujadikan medium untuk menanyaimu. Acapkali aku menanyaimu, aku dibentak. “Tidak tau. Pergi kau!” namun tak pernah patah semangat bagiku tuk mencarimu.
Setahun mengiringi kesendirianku. Menancapkan paku. Perih kurasa. Kabarmu tak juga kudengar.
Semilir angin sore. Menebas leherku yang gerah. Berkali kukipas. Masih saja, panasnya kian membara. Kalutnya hati telah membakar tubuh. Rindu mengersangkan palung hati. Pun lelahnya bibir mengucap namamu dalam kesendirian.
Arjuna pulanglah!
Hari telah petang, pun
Rinai hujan kata menusuk qalbaku
Tentangmu, karenamu
Pedulikah kau? Aku sendiri
Ruangku, milik kita bersama
Kembalilah, menuai padi bersama
Benih telah kusiap, untuk
Kita merajut kehidupan
Basah. Aliran cairan merah telah mensekujur tubuh. Memakan diriku yang sepi. Sunyi. Mengajak ke ruang kekal abadi.
Aku telah terluka. Tabir hatiku disobek berkeping-keping. Wangi tubuh dan ucapku telah sirna bersama dirimu. Sepuluh tahun lalu, virus cintamu kau tepikan padaku. Saat itu, aku tengah galau akan hidup. Kau kuatkan aku. Temani aku. Langkahku kau luruskan. Kataku kau benarkan. Dan mimpiku kau sulam dengan kasih sayang. Aku terpikat. Aku terharu akan haru-biru pengorbananmu.
“Jika disuruh memilih, apakah akan meneruskan pendidikan di kota atau di sini berada di sisimu, maka secara spontan aku akan memilih berada di sini. Bersamamu. Menemanimu, ruangi kesepianmu, dan merajut bersama mimpi tuk kehidupan yang abadi di dunia.” Rayumu saat itu. senyum manismu memikatku. Aku terpikat. Magnet cintamu telah jatuh di hatiku. Aku pun tak kuasa pergi meninggalkan rebah itu.
“Ulangi apa yang kau ucapku!” pintaku penuh harap. Sayu mataku seketika berbinar. Binarnya mnerngi seluruh pori-pori di tubuhku. Berikan nyawa baru.
“Jika disuruh memilih, apakah akan meneruskan pendidikan di kota atau di sini berada di sisimu, maka secara spontan aku akan memilih berada di sini. Bersamamu. Menemanimu, ruangi kesepianmu, dan merajut bersama mimpi tuk kehidupan yang abadi di dunia.” Tegasmu dengan lantang.
“Sungguh?” tanyaku dengan merebahkan pandangan ke dua bola matamu.
“Sungguh.” Tanganmu merogoh saku. Kau ambil kotak cincin. Lalu, memasangkan di jemariku. “Inilah bukti cintaku.” Lanjutmu.
Seketika saja, airmataku menetes. Membasahi rerumputan yang kita pijak. Kupu-kupu datang mengunjungi kita. Bunga mawar meruangi lapangan dengan wanginya. Juga burung-burung melihat kita penuh kedamaian.
Berselang seminggu kelulusan sekolah. Aku mencoba menelfonmu. Teman-temanmu pun kujadikan medium untuk menanyaimu. Acapkali aku menanyaimu, aku dibentak. “Tidak tau. Pergi kau!” namun tak pernah patah semangat bagiku tuk mencarimu.
Setahun mengiringi kesendirianku. Menancapkan paku. Perih kurasa. Kabarmu tak juga kudengar.
Semilir angin sore. Menebas leherku yang gerah. Berkali kukipas. Masih saja, panasnya kian membara. Kalutnya hati telah membakar tubuh. Rindu mengersangkan palung hati. Pun lelahnya bibir mengucap namamu dalam kesendirian.
Arjuna pulanglah!
Hari telah petang, pun
Rinai hujan kata menusuk qalbaku
Tentangmu, karenamu
Pedulikah kau? Aku sendiri
Ruangku, milik kita bersama
Kembalilah, menuai padi bersama
Benih telah kusiap, untuk
Kita merajut kehidupan
Basah. Aliran cairan merah telah mensekujur tubuh. Memakan diriku yang sepi. Sunyi. Mengajak ke ruang kekal abadi.
Beranda Hati
Indralaya, 3 Januari 2012, 15:39
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa Sobat TERAS untuk berkomentar...