Sayatan-sayatan Mimpi
Oleh: April May My
Oleh: April May My
Senja
masih menggantung di lazuardi, menampakkan kilauan kemerahannya nan indah.
Namun, indahnya senja, tak seindah wajah Imey. Awan hitam menggantung, di
sudut mata gadis manis bermata jeli itu. Sebentar lagi, mata indahnya
menitikkan kristal-kristal yang berkilauan di terpa sinar mentari senja. Imey
sedang berduka.
“Buang
saja laptopmu itu. Bila itu menjadikanmu menjadi seorang pemalas!” hardik pak
Baron ayah Imey.
Kata-kata
pak Baron sangat menusuk hati Imey. Bagaimana ayahnya bisa berkata sekejam itu
padanya? Sedangkan laptop itu dia beli dari hasil uang sakunya. Saat jam
istirahat tiba, Imey rela menahan keinginan membelanjakan uang jajannya. Imey
hanya menelan ludah. Saat teman-temannya berhamburan ke kantin, membeli aneka
macam penganan. Untuk mengganjal perut menunggu jam pulang sekolah.
Angin
senja memainkan ujung jilbabnya. Membuat tepinya menari-nari di hadapannya.
“Sabar,
ya sayang.” Bu Anne, ibunya Imey mencoba menghiburnya. Namun kalimat penghibur
dari ibunya. Tak mampu menahan bendungan derasnya air mata yang mengalir.
“Tapi
bu. Mengapa ayah tak bisa mengerti keinginanku, bu?” tanya Imey pada ibunya.
“Bukan
tidak bisa. Tapi belum. Suatu saat nanti, ayahmu pasti mengerti.” ucap bu Anne
sambil mengelus kepala putri semata wayangnya.
“Sampai
kapan, bu? rasanya aku sudah sering menjelaskannya. Aku ingin menjadi seorang
penulis.”
“Semua
akan indah pada waktunya. Asal semangat yang tak boleh hilang dari dirimu,
Mey.” ucap bu Anne menyemangatinya.
“Semoga.
Aku pastikan tak akan pernah hilang, Bu.” ucap Imey meyakinkan ibunya.
“Apa
itu karena aku bukan anak ayah, Bu?” ucap Imey tiba-tiba.
“Bagaimana
kamu bisa beranggapan seperti itu?” tanya bu Anne. Bu Anne terkejut mendengar
pertanyaan Imey, dan malah balik bertanya.
“Ayah
yang berkata seperti itu padaku.” jelas Imey.
“Betul.
Memang kamu bukan anaknya. Ibu memilikimu sebelum menikah dengannya. Ayah
kandungmu sudah lama tiada. Walau begitu, ayah Baron amat menyayangimu, Nak.
Dia marah, bukan karena benci. Tapi karena dia sangat sayang padamu. Tak mau kamu
menyia-nyiakan waktumu, hanya di depan laptop-mu saja.” urai bu Anne panjang
lebar pada Imey.
“Benarkah
ayah sayang padaku? Ataukah aku yang tak bisa mengatur waktuku dengan baik?”
batin Imey bergejolak. Tarik-menarik antara membenarkan pernyataan ibunya
ataukah kenyataan perlakuan yang di terimanya? kenyataan perlakuan tidak
menyenangkan ayah Baron tadi siang.
“Ya,
sepertinya karena aku yang tidak bisa mengatur waktuku.” logika Imey
membenarkan pernyataan ibunya. Teringat Imey akan kebaikan-kebaikan ayah Baron
pada dirinya. Ayah Baron tidak pernah semarah ini sebelumnya.
“Ma’afkan
aku, Ayah.” ucap Imey lirih dalam diam.
Sesungging
senyum, Imey hadirkan di wajahnya. Bersama dengan indahnya ukiran senyum bu
Anne menyambutnya. Malam mulai merangkak. Senja telah sirna di ufuk sana .
“Aku
harus kuat demi impianku, harus!” teriak hati Imey.
Di
sambut suara desiran angin malam yang berhembus kencang. Dan lolongan
anjing liar. Seolah mereka turut meneriakkan semangat untuknya.
“Lomba
Menulis FF dengan tema: Perjalanan.
Dengan
syarat:
-
Di tulis menggunakan Ms. Word 2003/2007
-
TNR 12, spasi 1,5, 300-500 kata
-
Batas pengiriman 1 Desember-30 Desember 2011
-
Kirim ke email : apazah78@gmail.com dengan subjek : Perjalanan_Judul
naskah_Nama Penulis”
25
naskah terpilih akan di bukukan, royalti di bagi jumlah penulis.
Isi
Pengumuman di dinding Majalah Dinding sekolah, itu cukup singkat. Namun mampu
membangkitkan sel-sel semangat menulis Imey yang nyaris tertutup kabut
penolakan ayahnya.
“Hemm.
Tak ada salahnya ku coba.” pikir Imey. Segera Imey keluarkan pena dan buku
agendanya dari dalam tas. Dia salin isi pengumumun itu ke dalam buku agenda.
“Selesai!”
teriak Imey. Membuat berpasang mata teman-temannya yang melintas tertuju padanya.
Imey
hanya menyunggingkan senyum di wajahnya. Membalas tatapan heran berpasang mata
yang tertuju padanya.
“Kira-kira
apa ya, yang akan ku tulis?” pikir Imey mencari jawab.
“Aha!
Aku dapat!” ucapnya kemudian. Bergegas Imey melangkahkan kaki menuju rumahnya.
Tak sabar dia ingin segera menuangkan apa yang ada di kepalanya dalam lembaran
halaman MS Word laptop-nya.
Waktu
seakan merangkak lambat. Ketika perjalanan pulang ke rumahnya.
Setibanya
di rumah, Imey segera mencari laptopnya. Tapi alangkah terkejutnya dia, ketika
benda yang di carinya tidak di temukan.
“Bu...
Ibu lihat laptopku tidak?!” tanya Imey pada ibunya dari dalam kamar.
“Di
atas meja belajarmu.” sahut bu Anne dari dapur.
“Tidak
ada, Bu.” jawab Imey kemudian.
Bu
Anne pun bergegas menuju kamar Imey. Dan dilihatnya memang tidak ia temukan
benda yang di cari putrinya itu.
“Coba
kamu ingat-ingat, mungkin kamu lupa menaruhnya.” saran bu Anne.
“Tidak
bu, aku ingat betul laptop itu aku taruh di meja. Tidak aku pindahkan.” jawab
Imey.
“Heh,
bagaimana ini? batas waktu pengiriman tinggal hari ini. Sedangkan laptopku tak
tahu rimbanya.” batin Imey berkecamuk.
“Tenang
Imey, tenang… Panik tidak akan menyelesaikan masalah.” suara hati Imey yang
lain menenangkan.
“Hey,
mengapa aku tidak pergi ke warnet saja?” pikirnya tiba-tiba. Imey pun pamit
pada ibunya, dan melangkahkan kakinya menuju warnet.
Setibanya
di warnet di bukanya layar monitor di hadapannya. Dia mulai menuangkan isi yang
ada di kepalanya. Menekan tombol-tombol di papan keyboard dengan lincahnya.
“Selesai!”
teriak hatinya penuh kegembiraan.
“Sekarang
tinggal mengirimkannya.” lanjut hatinya kemudian.
Setelah
terkirim. Imey menutup layar monitornya, dan membayar biaya warnet. Imey pun
melangkahkan kakinya menuju rumahnya.
“Mengapa
harus bapak sembunyikan sih, pak?” suara bu Anne bertanya ke pada seseorang di
dalam rumah. Lirih suaranya terdengar pelan oleh Imey dari luar rumah.
Setiba
Imey di depan rumahnya. Sengaja Imey tak segera masuk, dia menghentikan
langkahnya di depan pintu rumahnya.
“Aku
lelah Ann, menasehati anak itu. Bukannya belajar yang rajin malah berkhayal
terus kerjaannya! Kau uruslah anakmu itu!” lantang suara seorang laki-laki. Pak
Baron ternyata si pemilik suara itu.
“Lebih
baik kau titipkan anakmu itu di rumah ibumu di Padang sana.” lanjut pak Baron
kemudian.
“Tapi
pak..”
“Sudah
kau pilih aku, atau anakmu!” belum lagi bu Anne selesai bicara, pak Baron
memberikan bu Anne pilihan yang sulit.
“Sudah
bu, lebih baik aku saja yang tinggal di rumah nenek.” Imey menerobos masuk dan
memberikan jawaban atas pertanyaan pak Baron pada bu Anne.
“Tapi,
Mey.” naluri keibuan bu Anne tersentuh. Bu Anne berat bila harus terpisah dari
anaknya.
“Tak
mengapa, bu. Aku kan
tinggal di rumah nenek. Percaya sama aku, bu. Aku akan baik-baik saja.” Imey
mencoba menenangkan ke gundahan ibunya.
Pak
Baron hanya terdiam mendengar semua itu.
Semenjak
kejadian itu Imey mengurusi kepindahan sekolahnya dari Jakarta
ke kota tempat tinggal neneknya di Padang .\
Imey
merasa senang tinggal di Padang .
Sekolahnya tak jauh dari rumah neneknya. SMU Bakti Kencana, tempatnya menimba
ilmu kini. Teman-teman barunya pun sangat ramah padanya. Di rumah neneknya, dia
hanya tinggal berdua di rumah neneknya. Saudar-saudara ibunya sudah punya
tempat tinggal masing-masing. Imey jadi lebih fokus menulis. Tak ada yang akan
memarahinya. Neneknya, nenek Atik amat sayang padanya.
Sebulan
telah berjalan. Pengumuman lomba menulis yang beberapa waktu lalu di ikutinya
di umumkan hari ini. Di bukanya layar laptopnya. Di ejanya satu persatu nama
yang tertera di note penyelenggara lomba. Ada
sebuah nama yang membuatnya bahagia.
Imey
Priscillia. Ya, itu namanya. Imey berlonjak kegirangan. Namanya masuk ke dalam
daftar para pemenang yang naskahnya akan di bukukan. Itu berarti pundi-pundi
uang akan mengalir ke kantongnya. Walau tak seberapa, lumayanlah, untuk ukuran
kantong anak seusianya.
“Yii
haa!” tak sadar Imey melompat sambil mengacungkan telunjuk ke udara. Kelakuan
Imey membuat nenek Atik geleng-geleng kepala.
“Ada apa Mey?” tanya nenek
Atik heran melihat tingkah cucunya.
“Eh
nenek, ini naskahku lolos lomba nek.” tersipu Imey menjelaskannya.
“Alhamdulillah
dong. Masa yii haa!” saran nenek Atik.
“Hehehe..
Iya, nek.” sahut Imey.
Mulai
saat itu Imey jadi tertantang untuk lebih giat menulis dan mengirimkan
naskah-naskah tulisan ke redaksi, atau pun ajang lomba. Sayangnya keberuntungan
belum berpihak lagi padanya. Puluhan naskah yang di kirimnya tak ada satu pun
yang di terima media.
“Apa
yang salah ya?” pikir Imey. Di putar otaknya mencari jawab. Imey membuka layar
laptopnya googling mencari jawab. Tapi hasilnya? Tak memuaskan!
Terlempar
Imey pada nasihat ibunya beberapa waktu lalu.
“Asal
semangat yang tak boleh hilang dari dirimu.”
“Ya,
semangat! Semangat belajar, belajar, dan belajar! Mencari pengetahuan tentang
menulis dari siapa pun. Demi perbaikan tulisanku di masa mendatang.” Tekad Imey
dalam hati.
“Penulis
yang tenar sekarang, entah sudah berapa kali, bahkan ratusan kali mengalami
penolakkan sebelumnya. Tapi mereka tetap semangat, hingga mereka dapat menuai
hasil kerja keras mereka sekarang.” Sebuah paragraph dalam artikel kepenulisan,
menyihir perhatiannya.
“Mengapa
mereka bisa, aku tidak bisa? Semangat!!” teriak hati Imey. Dibukanya layar MS
Word, dan mulai menuangkan ide yang tiba-tiba hadir.
***
Catatan:
Diangkat dari penggalan naskah novelet duetku bersama Uchi Yukito Charcit.
Telah mengalami revisi, disesuaikan dengan bentuk FF.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa Sobat TERAS untuk berkomentar...