Beranda

Sabtu, 21 Januari 2012

(Cerpen) Sayatan-sayatan Mimpi


Sayatan-sayatan Mimpi
Oleh: April May My


 Senja masih menggantung di lazuardi, menampakkan kilauan kemerahannya nan indah. Namun, indahnya senja,  tak seindah wajah Imey. Awan hitam menggantung, di sudut mata gadis manis bermata jeli itu. Sebentar lagi, mata indahnya menitikkan kristal-kristal yang berkilauan di terpa sinar mentari senja. Imey sedang berduka.
“Buang saja laptopmu itu. Bila itu menjadikanmu menjadi seorang pemalas!” hardik pak Baron ayah Imey.
Kata-kata  pak Baron sangat menusuk hati Imey. Bagaimana ayahnya bisa berkata sekejam itu padanya? Sedangkan laptop itu dia beli dari hasil uang sakunya. Saat jam istirahat tiba, Imey rela menahan keinginan membelanjakan uang jajannya. Imey hanya menelan ludah. Saat teman-temannya berhamburan ke kantin, membeli aneka macam penganan. Untuk mengganjal perut menunggu jam pulang sekolah.
Angin senja memainkan ujung jilbabnya. Membuat tepinya menari-nari di hadapannya.
“Sabar, ya sayang.” Bu Anne, ibunya Imey mencoba menghiburnya. Namun kalimat penghibur dari ibunya. Tak mampu menahan bendungan derasnya air mata yang mengalir.
“Tapi bu. Mengapa ayah tak bisa mengerti keinginanku, bu?” tanya Imey pada ibunya.
“Bukan tidak bisa. Tapi belum. Suatu saat nanti, ayahmu pasti mengerti.” ucap bu Anne sambil mengelus kepala putri semata wayangnya.
“Sampai kapan, bu? rasanya aku sudah sering menjelaskannya. Aku ingin menjadi seorang penulis.”
“Semua akan indah pada waktunya. Asal semangat yang tak boleh hilang dari dirimu, Mey.” ucap bu Anne menyemangatinya.
“Semoga. Aku pastikan tak akan pernah hilang, Bu.” ucap Imey meyakinkan ibunya.
“Apa itu karena aku bukan anak ayah, Bu?” ucap Imey tiba-tiba.
“Bagaimana kamu bisa beranggapan seperti itu?” tanya bu Anne. Bu Anne terkejut mendengar pertanyaan Imey, dan malah balik bertanya.
“Ayah yang berkata seperti itu padaku.” jelas Imey.
“Betul. Memang kamu bukan anaknya. Ibu memilikimu sebelum menikah dengannya. Ayah kandungmu sudah lama tiada. Walau begitu, ayah Baron amat menyayangimu, Nak. Dia marah, bukan karena benci. Tapi karena dia sangat sayang padamu. Tak mau kamu menyia-nyiakan waktumu, hanya di depan laptop-mu saja.” urai bu Anne panjang lebar pada Imey.
“Benarkah ayah sayang padaku? Ataukah aku yang tak bisa mengatur waktuku dengan baik?” batin Imey bergejolak. Tarik-menarik antara membenarkan pernyataan ibunya ataukah kenyataan perlakuan yang di terimanya? kenyataan perlakuan tidak menyenangkan ayah Baron tadi siang.
“Ya, sepertinya karena aku yang tidak bisa mengatur waktuku.” logika Imey  membenarkan pernyataan ibunya. Teringat Imey akan kebaikan-kebaikan ayah Baron pada dirinya. Ayah Baron tidak pernah semarah ini sebelumnya.
“Ma’afkan aku, Ayah.” ucap Imey lirih dalam diam.
Sesungging senyum, Imey hadirkan di wajahnya. Bersama dengan indahnya ukiran senyum bu Anne menyambutnya. Malam mulai merangkak. Senja telah sirna di ufuk sana.
“Aku harus kuat demi impianku, harus!” teriak hati Imey.
Di sambut suara desiran angin malam  yang berhembus kencang. Dan lolongan anjing liar. Seolah mereka turut meneriakkan semangat untuknya.
“Lomba Menulis FF dengan tema: Perjalanan.
 Dengan syarat:
-          Di tulis menggunakan Ms. Word 2003/2007
-          TNR 12, spasi 1,5, 300-500 kata
-          Batas pengiriman 1 Desember-30 Desember 2011
-          Kirim ke email : apazah78@gmail.com dengan subjek : Perjalanan_Judul naskah_Nama Penulis”
25 naskah terpilih akan di bukukan, royalti di bagi jumlah penulis.
Isi Pengumuman di dinding Majalah Dinding sekolah, itu cukup singkat. Namun mampu membangkitkan sel-sel semangat menulis Imey yang nyaris tertutup kabut penolakan ayahnya.
“Hemm. Tak ada salahnya ku coba.” pikir Imey. Segera Imey keluarkan pena dan buku agendanya dari dalam tas. Dia salin isi pengumumun itu ke dalam buku agenda.
“Selesai!” teriak Imey. Membuat berpasang mata teman-temannya yang melintas tertuju padanya.
Imey hanya menyunggingkan senyum di wajahnya. Membalas tatapan heran berpasang mata yang tertuju padanya.
“Kira-kira apa ya, yang akan ku tulis?” pikir Imey mencari jawab.
“Aha! Aku dapat!” ucapnya kemudian. Bergegas Imey melangkahkan kaki menuju rumahnya. Tak sabar dia ingin segera menuangkan apa yang ada di kepalanya dalam lembaran halaman MS Word laptop-nya.
Waktu seakan merangkak lambat. Ketika perjalanan pulang ke rumahnya.
Setibanya di rumah, Imey segera mencari laptopnya. Tapi alangkah terkejutnya dia, ketika benda yang di carinya tidak di temukan.
“Bu... Ibu lihat laptopku tidak?!” tanya Imey pada ibunya dari dalam kamar.
“Di atas meja belajarmu.” sahut bu Anne dari dapur.
“Tidak ada, Bu.” jawab Imey kemudian.
Bu Anne pun bergegas menuju kamar Imey. Dan dilihatnya memang tidak ia temukan benda yang di cari putrinya itu.
“Coba kamu ingat-ingat, mungkin kamu lupa menaruhnya.” saran bu Anne.
“Tidak bu, aku ingat betul laptop itu aku taruh di meja. Tidak aku pindahkan.” jawab Imey.
“Heh, bagaimana ini? batas waktu pengiriman tinggal hari ini. Sedangkan laptopku tak tahu rimbanya.” batin Imey berkecamuk.
“Tenang Imey, tenang… Panik tidak akan menyelesaikan masalah.” suara hati Imey yang lain menenangkan.
“Hey, mengapa aku tidak pergi ke warnet saja?” pikirnya tiba-tiba. Imey pun pamit pada ibunya, dan melangkahkan kakinya menuju warnet.
Setibanya di warnet di bukanya layar monitor di hadapannya. Dia mulai menuangkan isi yang ada di kepalanya. Menekan tombol-tombol di papan keyboard dengan lincahnya.
“Selesai!” teriak hatinya penuh kegembiraan.
“Sekarang tinggal mengirimkannya.” lanjut hatinya kemudian.
Setelah terkirim. Imey menutup layar monitornya, dan membayar biaya warnet. Imey pun melangkahkan kakinya menuju rumahnya.
“Mengapa harus bapak sembunyikan sih, pak?” suara bu Anne bertanya ke pada seseorang di dalam rumah. Lirih suaranya terdengar pelan oleh Imey dari luar rumah.
Setiba Imey di depan rumahnya. Sengaja Imey tak segera masuk, dia menghentikan langkahnya di depan pintu rumahnya.
“Aku lelah Ann, menasehati anak itu. Bukannya belajar yang rajin malah berkhayal terus kerjaannya! Kau uruslah anakmu itu!” lantang suara seorang laki-laki. Pak Baron ternyata si pemilik suara itu.
“Lebih baik kau titipkan anakmu itu di rumah ibumu di Padang sana.” lanjut pak Baron kemudian. 
“Tapi pak..”
“Sudah kau pilih aku, atau anakmu!” belum lagi bu Anne selesai bicara, pak Baron memberikan bu Anne pilihan yang sulit.
“Sudah bu, lebih baik aku saja yang tinggal di rumah nenek.” Imey menerobos masuk dan memberikan jawaban atas pertanyaan pak Baron pada bu Anne.
“Tapi, Mey.” naluri keibuan bu Anne tersentuh. Bu Anne berat bila harus terpisah dari anaknya.
“Tak mengapa, bu. Aku kan tinggal di rumah nenek. Percaya sama aku, bu. Aku akan baik-baik saja.” Imey mencoba menenangkan ke gundahan ibunya.
Pak Baron hanya terdiam mendengar semua itu. 
Semenjak kejadian itu Imey mengurusi kepindahan sekolahnya dari Jakarta ke kota tempat tinggal neneknya di Padang.\

Imey merasa senang tinggal di Padang. Sekolahnya tak jauh dari rumah neneknya. SMU Bakti Kencana, tempatnya menimba ilmu kini. Teman-teman barunya pun sangat ramah padanya. Di rumah neneknya, dia hanya tinggal berdua di rumah neneknya. Saudar-saudara ibunya sudah punya tempat tinggal masing-masing. Imey jadi lebih fokus menulis. Tak ada yang akan memarahinya. Neneknya, nenek Atik amat sayang padanya.
Sebulan telah berjalan. Pengumuman lomba menulis yang beberapa waktu lalu di ikutinya di umumkan hari ini. Di bukanya layar laptopnya. Di ejanya satu persatu nama yang tertera di note penyelenggara lomba. Ada sebuah nama yang membuatnya bahagia.
Imey Priscillia. Ya, itu namanya. Imey berlonjak kegirangan. Namanya masuk ke dalam daftar para pemenang yang naskahnya akan di bukukan. Itu berarti pundi-pundi uang akan mengalir ke kantongnya. Walau tak seberapa, lumayanlah, untuk ukuran kantong anak seusianya.
“Yii haa!” tak sadar Imey melompat sambil mengacungkan telunjuk ke udara. Kelakuan Imey membuat nenek Atik geleng-geleng kepala.
Ada apa Mey?” tanya nenek Atik heran melihat tingkah cucunya.
“Eh nenek, ini naskahku lolos lomba nek.” tersipu Imey menjelaskannya.
“Alhamdulillah dong. Masa yii haa!” saran nenek Atik.
“Hehehe.. Iya, nek.” sahut Imey.
Mulai saat itu Imey jadi tertantang untuk lebih giat menulis dan mengirimkan naskah-naskah tulisan ke redaksi, atau pun ajang lomba. Sayangnya keberuntungan belum berpihak lagi padanya. Puluhan naskah yang di kirimnya tak ada satu pun yang di terima media.
“Apa yang salah ya?” pikir Imey. Di putar otaknya mencari jawab. Imey membuka layar laptopnya googling mencari jawab. Tapi hasilnya? Tak memuaskan!
Terlempar Imey pada nasihat ibunya beberapa waktu lalu.
“Asal semangat yang tak boleh hilang dari dirimu.”
“Ya, semangat! Semangat belajar, belajar, dan belajar! Mencari pengetahuan tentang menulis dari siapa pun. Demi perbaikan tulisanku di masa mendatang.” Tekad Imey dalam hati.
“Penulis yang tenar sekarang, entah sudah berapa kali, bahkan ratusan kali mengalami penolakkan sebelumnya. Tapi mereka tetap semangat, hingga mereka dapat menuai hasil kerja keras mereka sekarang.” Sebuah paragraph dalam artikel kepenulisan, menyihir perhatiannya.
“Mengapa mereka bisa, aku tidak bisa? Semangat!!” teriak hati Imey. Dibukanya layar MS Word, dan mulai menuangkan ide yang tiba-tiba hadir.

***


Catatan: Diangkat dari penggalan naskah novelet duetku bersama Uchi Yukito Charcit. Telah mengalami revisi, disesuaikan dengan bentuk FF.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa Sobat TERAS untuk berkomentar...