Angka Keberuntungan
Oleh : Tha Artha
Kania
membolak-balik kalender di hadapannya. Matanya menatap jeli setiap angka, lalu
melingkari beberapa diantaranya dengan spidol merah.
"Apa
yang kamu lakukan?" pertanyaan ibunya membuat gerakan tangannya berhenti.
Seketika
dia membalikkan badan, menghadap wanita yang melahirkannya itu. Diambilnya dua
piring berisi capcay dan gorengan ayam dari tangan sang ibu.
"Mencari
tanggal baik untuk mengirim naskah, Bu," ujarnya seraya meletakkan
piring-piring tersebut di atas meja. Ia pun lalu duduk di kursi, bersiap
sarapan. "Habis, naskahku sering gagal masuk media sih. Sialnya mengekor,
mungkin."
"Hush!"
Ibu kemudian meminum seteguk teh hangat. "Kok jadi percaya begituan,
sih?"
"Tapi
kan kita
orang Jawa."
"Tuhan
yang mengatur takdir tiap ciptaanNya. Bukan perkara tanggal atau angka
keberuntungan."
"Tapi..."
Telunjuk
sang Ibu mendekat pada bibirnya. Isyarat bagi Kania untuk menghentikan
ucapannya dan segera menghabiskan sarapannya. Kania manyun. Dengan perlahan,
gadis itu kemudian menyuap sesendok demi sesendok nasi, sayur serta lauk di
piringnya.
Pikirannya
melayang. Teringat kembali peristiwa beberapa minggu ini. Suatu kali, dia
mengikuti lomba menulis cerita pendek di kampusnya. Dari ke-50 peserta, gadis
berlesung pipit itu berada di daftar nomor 13. Melihat angka itu, Kania menjadi
pesimis. Dan benar saja, dia gagal menjadi nominator sepuluh besar.
Lalu,
pernah juga saat lomba menulis puisi bertema "Ibu" di suatu grup
facebook, dia mengirim naskah beberapa hari sebelum dateline, yaitu tanggal
tujuh. Setelah dicek, ternyata dia berada di urutan peserta nomor tujuh pula.
Kania berdecak girang. Ia yakin akan lolos nantinya.
Dewi
Fortuna memihaknya. Dewan juri di grup tersebut memilihnya menjadi pemenang.
Hati gadis 17 tahun itu berbunga-bunga. Untuk pertama kali dalam sejarah
hidupnya, naskahnya berhasil memikat hati dewan juri. Padahal sebelumnya, telah
berpuluh kali naskah dikirimnya, tidak satu pun yang dilirik sasarannya.
Kania
semakin percaya bahwa hal demikian ditentukan oleh keberuntungan. Salah satu
yang berperan adalah angka. Terlebih setelah peristiwa itu, yakni setelah dia
tidak menggubris apa yang ramalan bintang katakan di suatu majalah. Beragam
kesialan menerpa, selain pada tanggal yang sama dengan angka keberuntungannya.
"Itu
namanya syirik!" sang Ibu mengingatkan. "Apa kamu tidak percaya
padaNya? Jodoh, rejeki, mati, semua Tuhan yang mengatur."
"Nyatanya..."
"Itu
kebetulan!" sela wanita setengah baya itu. Dituangnya lagi teh hangat pada
gelas di hadapannya.
Kania
terdiam lagi. Makanan yang dikunyahnya, semakin lama terasa hambar. Ia tak
berselera lagi mengisi perutnya. Ingin rasanya merebahkan diri di ranjang yang
empuk, melepas penat dengan merilekskan tubuhnya.
"Apa
kamu lupa jika Ibu lahir di tanggal 13?" mata Kania refleks menatap sang
Ibu. Ia baru teringat hal itu. "Toh, Ibu tak pernah sial. Apakah Ibu sial
karena memiliki suami seperti Ayahmu, lelaki penuh tanggung jawab pada
keluarga? Apa Ibu sial jika memiliki buah hati seperti dirimu, gadis Ibu yang manis?"
Kepala
Kania menggeleng pelan. Matanya tidak berkedip menatap wanita yang sedang
menghabiskan minumnya itu.
"Pernikahan
Ayah dan Ibu terjadi pada tanggal sembilan April. Apa rumah tangga kami tidak
pernah diterjang masalah sedikitpun? Jawabnya: tidak! Tiap bahtera rumah tangga
pasti ada pahit-manisnya. Hal itu tergantung bagaimana pasangan
menyiasatinya."
Kania
hanya terdiam mencerna petuah Ibunya. Ia memandang sekitarnya, mengingat hal
yang berhubungan dengan suatu angka. Memorinya bergulir pada nomor rumahnya.
Ya, angka empat tercetak dengan indah di tembok pagar rumah.
Menurut
mitologi Jepang, simbol angka empat berlambang kematian. Nomor yang kurang
disukai untuk digunakan. Dalam perhitungan Jawa, angka empat juga berarti
demikian. Namun faktanya, Tuhan masih melindungi keluarganya. Mereka selalu
sehat dan harmonis.
"Iya,
Kania mengerti." ia tertunduk. Nasi di piringnya yang sisa setengah porsi,
harus segera dia habiskan sebelum amarah Ibu meledak. Ibu selalu berpesan untuk
menghabiskan setiap bulir nasi di piring, tanda telah mensyukuri nikmatNya.
"Rencana Tuhan yang indah, tidak tertebak oleh manusia."
Ibu
Kania tersenyum. Dielusnya rambut sebahu gadis itu.
"Selalulah
berpikir positif. Tuhan mengabulkan apa pun yang kau minta, walaupun itu masih
terendap dalam hatimu. Kalau kau berpikir gagal, maka akan gagal. Sebaliknya,
bila yakin bisa, maka Tuhan akan meridhoi. Bukan tergantung angka keberuntungan
atau semacamnya."
Kania
menggangguk-anggukkan kepala. Melihat aksi buah hatinya, sang Ibu terkekeh.
Diambilnya sebuah kerupuk udang untuk Kania, menemani sarapan gadisnya agar
semakin lahap. Lalu, dielusnya rambut Kania sekali lagi. Ia teringat pada masa
lalunya yang terlalu percaya dengan mitos angka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa Sobat TERAS untuk berkomentar...