Beranda

Sabtu, 21 Januari 2012

(Flash Fiction) Angka Keberuntungan


Angka Keberuntungan 
Oleh : Tha Artha

Kania membolak-balik kalender di hadapannya. Matanya menatap jeli setiap angka, lalu melingkari beberapa diantaranya dengan spidol merah.
"Apa yang kamu lakukan?" pertanyaan ibunya membuat gerakan tangannya berhenti.
Seketika dia membalikkan badan, menghadap wanita yang melahirkannya itu. Diambilnya dua piring berisi capcay dan gorengan ayam dari tangan sang ibu.
"Mencari tanggal baik untuk mengirim naskah, Bu," ujarnya seraya meletakkan piring-piring tersebut di atas meja. Ia pun lalu duduk di kursi, bersiap sarapan. "Habis, naskahku sering gagal masuk media sih. Sialnya mengekor, mungkin."

"Hush!" Ibu kemudian meminum seteguk teh hangat. "Kok jadi percaya begituan, sih?"
"Tapi kan kita orang Jawa."
"Tuhan yang mengatur takdir tiap ciptaanNya. Bukan perkara tanggal atau angka keberuntungan."
"Tapi..." 
Telunjuk sang Ibu mendekat pada bibirnya. Isyarat bagi Kania untuk menghentikan ucapannya dan segera menghabiskan sarapannya. Kania manyun. Dengan perlahan, gadis itu kemudian menyuap sesendok demi sesendok nasi, sayur serta lauk di piringnya.
Pikirannya melayang. Teringat kembali peristiwa beberapa minggu ini. Suatu kali, dia mengikuti lomba menulis cerita pendek di kampusnya. Dari ke-50 peserta, gadis berlesung pipit itu berada di daftar nomor 13. Melihat angka itu, Kania menjadi pesimis. Dan benar saja, dia gagal menjadi nominator sepuluh besar.
Lalu, pernah juga saat lomba menulis puisi bertema "Ibu" di suatu grup facebook, dia mengirim naskah beberapa hari sebelum dateline, yaitu tanggal tujuh. Setelah dicek, ternyata dia berada di urutan peserta nomor tujuh pula. Kania berdecak girang. Ia yakin akan lolos nantinya. 
Dewi Fortuna memihaknya. Dewan juri di grup tersebut memilihnya menjadi pemenang. Hati gadis 17 tahun itu berbunga-bunga. Untuk pertama kali dalam sejarah hidupnya, naskahnya berhasil memikat hati dewan juri. Padahal sebelumnya, telah berpuluh kali naskah dikirimnya, tidak satu pun yang dilirik sasarannya. 
Kania semakin percaya bahwa hal demikian ditentukan oleh keberuntungan. Salah satu yang berperan adalah angka. Terlebih setelah peristiwa itu, yakni setelah dia tidak menggubris apa yang ramalan bintang katakan di suatu majalah. Beragam kesialan menerpa, selain pada tanggal yang sama dengan angka keberuntungannya.
"Itu namanya syirik!" sang Ibu mengingatkan. "Apa kamu tidak percaya padaNya? Jodoh, rejeki, mati, semua Tuhan yang mengatur."
"Nyatanya..."
"Itu kebetulan!" sela wanita setengah baya itu. Dituangnya lagi teh hangat pada gelas di hadapannya.
Kania terdiam lagi. Makanan yang dikunyahnya, semakin lama terasa hambar. Ia tak berselera lagi mengisi perutnya. Ingin rasanya merebahkan diri di ranjang yang empuk, melepas penat dengan merilekskan tubuhnya.
"Apa kamu lupa jika Ibu lahir di tanggal 13?" mata Kania refleks menatap sang Ibu. Ia baru teringat hal itu. "Toh, Ibu tak pernah sial. Apakah Ibu sial karena memiliki suami seperti Ayahmu, lelaki penuh tanggung jawab pada keluarga? Apa Ibu sial jika memiliki buah hati seperti dirimu, gadis Ibu yang manis?"
Kepala Kania menggeleng pelan. Matanya tidak berkedip menatap wanita yang sedang menghabiskan minumnya itu.
"Pernikahan Ayah dan Ibu terjadi pada tanggal sembilan April. Apa rumah tangga kami tidak pernah diterjang masalah sedikitpun? Jawabnya: tidak! Tiap bahtera rumah tangga pasti ada pahit-manisnya. Hal itu tergantung bagaimana pasangan menyiasatinya."
Kania hanya terdiam mencerna petuah Ibunya. Ia memandang sekitarnya, mengingat hal yang berhubungan dengan suatu angka. Memorinya bergulir pada nomor rumahnya. Ya, angka empat tercetak dengan indah di tembok pagar rumah.
Menurut mitologi Jepang, simbol angka empat berlambang kematian. Nomor yang kurang disukai untuk digunakan. Dalam perhitungan Jawa, angka empat juga berarti demikian. Namun faktanya, Tuhan masih melindungi keluarganya. Mereka selalu sehat dan harmonis.
"Iya, Kania mengerti." ia tertunduk. Nasi di piringnya yang sisa setengah porsi, harus segera dia habiskan sebelum amarah Ibu meledak. Ibu selalu berpesan untuk menghabiskan setiap bulir nasi di piring, tanda telah mensyukuri nikmatNya. "Rencana Tuhan yang indah, tidak tertebak oleh manusia."
Ibu Kania tersenyum. Dielusnya rambut sebahu gadis itu.
"Selalulah berpikir positif. Tuhan mengabulkan apa pun yang kau minta, walaupun itu masih terendap dalam hatimu. Kalau kau berpikir gagal, maka akan gagal. Sebaliknya, bila yakin bisa, maka Tuhan akan meridhoi. Bukan tergantung angka keberuntungan atau semacamnya."
Kania menggangguk-anggukkan kepala. Melihat aksi buah hatinya, sang Ibu terkekeh. Diambilnya sebuah kerupuk udang untuk Kania, menemani sarapan gadisnya agar semakin lahap. Lalu, dielusnya rambut Kania sekali lagi. Ia teringat pada masa lalunya yang terlalu percaya dengan mitos angka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa Sobat TERAS untuk berkomentar...