Beranda

Jumat, 20 Januari 2012

(Cerpen) Bernenek Satu

Bernenek Satu 

Oleh : Yanti Sipayung

“Bilangin Ray, dia tu bukan level ku. Dia gak akan bisa nyaingin aku. Belagu banget. Pake nyebarin selebaran mau jadi nomor satu segala. Gak nyadar ya jadi anak baru, segitu sok nya.”

Sabina geram. Bibirnya tak berhenti bergoyang sejak Vina, anggota ganknya melaporkan keberingasan Samikem, siswa baru di SMA Pelita Terang, sudah menggelar kampanye besar-besaran dalam pemilihan Ketua dan Wakil Ketua OSIS, yang kali ini akan digelar sedemokratis mungkin.

“Udah deh, kamu nggak usah sampe murka gitu. Bersaing secara jantanlah.” Ray menjawab keluhan sahabatya. “Ups, salah. Kok jantan, kamu-kamu kan, betina semua,ya.” Ray mengikik.

“Kamu sendiri pilih siapa? Aku, atau malah si Samikem jadul itu?”

Ray cengar cengir. “Non blok.”

“Hu kamu tu ya, giliran ada perlunya aja mau deket sama aku.” Tukas Sabina dengan bibir yang maju sekian cm.

Benar Bin, nggak salah. Aku ngotot pengin dekat sama kamu, emang punya tujuan. Pengin ngambil ilmu dari otak encer kamu, Ray cekikikan dalam hati.

 

Mendapatkan ilmu itu memang butuh pengorbanan. Seperti yang dilakukan Ray sekarang, rela mendengar ocehan dan keluhan yang menyembur dari mulut Sabina sampai telinganya terasa mual mau muntah. Tak apalah, asal setelah Sabina capek ber-rap di telinga Ray, si judes itu mau mengajarkan Ray pelajaran Fisika yang tadi siang diulas Bu Wike.

Sabina memang terkenal berbibir panjang. Bukan karna giginya tonggos atau bibirnya dower, tapi karna memang orangnya galak. Tak ada yang memungkiri kenyataan itu. Andai saja dia berotak pas-pasan, berasal dari keluarga yang kurang mampu, rupa tak membawa keberuntungan, bisa dipastikan dia minus teman. Tak mungkin ada yang mau berteman dekat dengan dia.

***

“Ray, pasti tau banyak tentang  si Sabina, kan? Sabina yang kelas XI IA5”

Ami, panggilan kerennya Samikem, menanyakan keberadaan salah satu saingannya di Pemilihan Ketua OSIS kepada Ray.

“Emang kenapa?”

“Seingat Ami, Ami gak pernah buat yang nggak-nggak sama dia, tapi kok dia suka jutek gitu ya, kalo lagi berpapasan sama Ami?

Ray mandangin wajah lugu Ami. Ada rasa iba muncul di dasar hatinya.

“Emang kamu diperlakukan kaya’ gimana sama dia?”

Ami mengedikkan bahunya.

“Gak gimana-gimana, sih. Cuma kan nggak enak kalo tiap ketemu bawaannya ribut melulu, sindir-sindiran, pake ejek-ejekan nama segala. Karena… katanya namaku jadul banget, tradisionil, gak up to date gitu.”

“Kamu ngelawan?”

“Ya, Ami kan manusia biasa yang punya batas kesabaran, nggak bisa diem and ngalah aja. Ya Ami lawan lah sebisa mungkin.”

Ray tersenyum mendengar penuturannya.

“Apa salah kalau Ami juga berambisi jadi ketua? Nggak kan, Ray? Setiap orang punya hak untuk mencalonkan diri. Lagian, Ami juga pe-de karena didukung teman-teman. Mereka bilang Ami pasti bisa. Dan ketika Ami fikir-fikir dan konsultasi dengan keluarga, mereka juga mendukung. Menurut kamu sendiri, Ray?”

“Ya. Aku juga ndukung. Kamu bagus, Sabina juga. Begitupun dengan Oky, dan Candra. Tinggal lagi persetujuan dari anak-anak semua, pilih siapa. Pesanku, bersainglah dengan benar.”

Ami menghela nafas menyimpan ketidakpuasan dengan jawaban sahabatnya Ray. Kenapa Ray yang selalu mengemis minta diajarkan pelajaran MM gak membelaku, fikirnya.

***

Ray memang tak akan pernah setuju dengan terpilihnya Sabina atau Ami kelak. Walau Ray berhutang banyak ilmu sama mereka, tapi Ray sangat berharap mereka kalah, dan lebih bersuka jika pemegang tampuk pimpinan organisasi terbesar di sekolah itu, adalah Oky. Selain terkenal disiplin, aktif, ia juga berjiwa pemimpin. Terbukti kepemimpinannya di Divisi Sport selama satu tahun ajaran ini yang begitu pesat berlari perkembangannya. Dan yang turut membuat Ray condong kepada Oky, tak luput dari calon wakil yang akan berpasangan dengannya. Lintang. Sama. Minus cacat alias aib. Beda dengan Sabina dan Ami. Keduanya memang bagus untuk jadi ketua, tapi ketika melihat bakal orang kedua di tampuk pimpinannya nanti, sepertinya Ray kurang sreg.

Keduanya sama-sama pintar, pun sama-sama keras kepala. Sabina, Ray sudah cukup tua mengenalnya. Mereka satu sekolah sejak SMP. Sedangkan Sabina, pindahan dari Wonogiri. Ray baru mengenalnya enam bulan lalu. Kebetulan dia ditempatkan sekelas dengan Ray. Karena daya tangkapnya yang luar biasa di semua mata pendidikan, Ray berusaha mendekati, menjadikannya sebagai sahabat. Sama dengan Sabina dan teman-teman lain yang berotak encer, Ray mengincar tertularnya virus IQ excellent mereka. Biar aku juga memiliki daya tangkap dan ingatan yang super, seperti Sabina dan Ami alias Samikem, fikir Ray.

***

“S A M I K E M. Saatnya Ami MemImpin, Kita Esok Maju.”

Ray tersenyum sambi menggeleng-gelengkan kepala dengan selebaran yang baru saja dibacanya. Terpampang wajah hitam manis memamerkan senyum khas ala tanah asalnya. Terukir dengan jelas rangkaian pandangan, visi dan misinya di organisasi yang akan diketuainya. Semua itu dibungkus dengan kalimat-kalimat yang rapi dan bijak. Sempurna.

Maju sekitar sepuluh langkah,

PILIH YANG BENAR-BENAR CAKAP DAN TELAH DIKENAL.

S A B I N A.

Smart, IQ diatas rata-rata, ulet, pekerja keras, berjiwa pantang menyerah, cantik, plus telah berstatus sebagai pelajar sekolah ini sejak TK.

Mana ada yang kaya’ dia. Siapa lagi kalau bukan SABINA.

So, jangan lupa, ya. Centang SABINA, jangan yang lain.

Kembali Ray tersenyum sendiri. Dalam hati, Ray hanya bisa berdo’a. Semoga jika memang Tuhan mentakdirkan salah satu sahabatnya itu jadi pemimpin, mereka benar-benar giat bekerja dan mampu membuktikan segala macam janji yang telah diumbar sepanjang masa kampanye.

***

Suasana masih tenang. Usai penghitungan suara pada pemilihan Ketua OSIS, hanya ada beberapa anak-anak di sepanjang koridor yang membicarakan kemenangan mutlak Oky dan Lintang. Semua heran, kenapa nyaris seluruh siswa memilih Oky, padahal kampanye Oky tidak segempar kandidat lain. Janji yang dilontarin tak semerdu janji saingan-saingannya. Tapi kenapa warga SMA Pelita Terang lebih menyokong Oky.

Mungkin semua siswa sudah paham betul bahwa memilih seorang pimpinan bisa dilihat dari kemampuan, sikap dan kebiasaanya selama ini, bukan dari janji manis yang disembur dan kebaikan yang biasa ditebar di masa kampanye. Lebih jauh mereka pasti sudah mericek semua kandidat yang ada dan memilih yang terbaik untuk dinobatkan menjadi ketua.

“Ray, Ray… Woi… Rayhana…”

Terlalu kencang suara itu. Tak perlu berteriak, Ray juga pasti bisa mendengarnya. Emang aku pekak apa, Ray menggeretu.

Linda berlari-lari memegangi dadanya.

“Dua sobat kamu lagi berantem tuh di jalan.”

“Ha?” Mulut Ray menganga. Untung jadwal penerbangan semua jenis lalat sedang kosong di dekat Ray. Kalo tidak, bisa kehilangan kontak tuh lalat.

“Ya. Ami ama Sabina udah mau ngeluarin jurusnya masing-masing di depan gerbang. Mana Satpam gak tau kemana lagi rimbanya. Kalo bisa kamu kesana deh, Ray. Dua-duanya kan sobat kamu, kali aja mereka mau ndengerin kamu. Nih aku mau ngelaporin tragedi yang mencekam ini sama guru.”

Ray berlari sekencang jetsky.

“Gawat… gawat… Bawa ke Klinik! Cepat!”

Ray mendengar suara itu sangat jelas. Menoleh ke arah asal suara, kedua wanita yang menjadi bandar pemasok ilmu gratisannya itu telah dibopong menuju UKS.

“Bukannya tadi mereka baik-baik aja usai penghitungan suara?”

“Ya. Keduanya kelihatan sportif mengakui kekalahan. Tapi gitu nyampe di luar, kok pada jontok-jontokan.” Lily yang menjawab.

“Si jadul tu yang duluan, pake lirak lirik Sabina, muke diperungutin kaya’ jeruk purut.” Rere, sahabat Sabina yang jawab.

“Huuu, Sabina tu yang pake nyamber Ami duluan. Mana…”

“Husssh… Udah… Gak usah pake nyalah-nyalahin segala. Ntar malah makin ribut. Kalian pada bonyok-bonyokan juga.” Ray membentak semua orang di hadapannya.

“Panggil orangtuanya!” Bu Mimi, guru BP memerintahkan asistennya dengan wajah sedikit panik.

Ray mandangin sekujur tubuh mereka yang terhampar keletihan. Mereka pingsan setelah adu mulut berlanjut adu otot.

“Sabina…”

Seorang wanita paruh baya lari dan menjerit ingin segera memeluk tubuh yang masih tak berkutik itu. Bu Tini, Mamanya Sabina.

“Sabina, bangun… “ Jeritnya pilu. “Kenapa bisa jadi gini, Bu?”

Bu Tini mencari jawaban perihal pingsannya buah hatinya kepada Bu Mimi tanpa berhenti mengguncang tubuh anaknya yang belum sadarkan diri.

“Ami….”

Satu suara cempreng menyembul kian membuat onar ruangan sempit itu.

“Ami, ada apa to, nduk? Kenapa sampe lebam-lebam gini wajah ayu kamu?”

Bu Tina, Ibunya Ami menyeruak dari keramaian langsung menciumi anaknya.

Semarak. Seperti ada festival menangis paling merdu di ruangan itu. Kedua wanita itu seolah tak peduli sedang ada dimana, tengah ditonton massa.

Tapi ada hikmahnya juga, teriakan dan tangis dua Ibu yang menyesakkan telinga itu akhirnya membangunkan Sabina, juga Ami. Kompak mereka terbangun dari pingsannya yang cukup menggemparkan seisi sekolah.

“Tuh, Ma orangnya yang buat Sabina jadi gini.”

Sabina mengarahkan telunjuknya tepat ke wajah Ami yang ada di pelukan Ibunya.

Tanpa dikomando, langsung saja Bu Tini beringsut hendak meminta pertanggung jawaban Ami.

“Hey.. Kaaa…mu???”

Semburan dari mulut yang sudah siap dimuntahkan tiba-tiba ditelan lagi.
“Yu’ Tina…”

“Tini?”

 Seisi ruangan ditambah penonton yang mengintip dari luar ruangan yang sudah siap sedia melihat pertunjukan yang menghebohkan dibuat terpana oleh dua pasang anak beranak disana. Bagaimana tidak, wajah yang tadinya dipenuhi api kemarahan, spontan hilang berganti peluk mesra dan tangis penuh rindu yang mengharukan.

Ami dan Sabina saling pandang tak mengerti. Keduanya baru paham setelah kedua Ibu itu saling melepas pelukan.

“Sabina, ni kakak kandung Mama. Bude kamu. Namanya Ngatina.”

“Bener, Mi. Ini Bule’ kamu, Bule’ Ngatini.”

Seribu tawa membahana diantara sejuta malu yang kini menempel di diri Ami dan Sabina.
Bu Tina dan Bu Tini, kakak beradik yang sudah lama terpisah oleh gempa yang terjadi 20 tahun silam. Keduanya lama tak mendengar kabar berita. Bu Tina diadopsi sebuah keluarga di luar ke daerah karena orang tua mereka menjadi korban keganasan gempa. Enam bulan lalu suaminya mengajak pindah ke Jakarta untuk mengembangkan usaha.

Sedang Bu Tini, karena luka-luka yang sangat parah dievakuasi ke Jakarta. Begitu keadaannya pulih, dia kembali ke kampung halamannya. Namun begitu pilu rasa hatinya ketika dia tiba di tanah kelahirannya, tak ada seorangpun yang ia jumpai yang bisa memberikan kabar perihal keluarganya berdomisili kini. Karena tak menemukan sisa-sisa keluarganya, diapun kembali memutuskan kembali ke Jakarta dan bertemu jodoh di kota yang terkenal dengan kemacetannya itu.

“Bilangin donk, Bule’ sama dia, jangan suka ngejekin nama Ami.”

Ami masih terlihat sewot walau mereka telah saling berjabat tangan atas perintah Bu Tini dan Bu Tina.

“Eh, kamu kok ndak jalanin wasiat Mbok to, dek?”

Bu Tina memandangi serius wajah adiknya.

“Emang wasiat Mbah apaan, Bu?”

Ami tak kalah serius pengin tahu.

“Mbah kamu berwasiat, anak perempuan sulung Ibu dan bule’ kamu harus dinamain sama dengan nama si Mbah, Samikem. Biar keturunan-keturuannya Mbah tetap inget sama Mbah.”
Bu Tini senyum mengulum tawa. Malu.

“Ndak Yu’. Aku tetep njalanin wasiatnya Mbok kok. Nama anakku memang Sabina, tapi itu kependekan dari Samikem binti Nardi. Maksudnya, biar keren gitu, Yu’.”

Beberapa orang yang masih setia dengan drama komedi gratisan itu tak sanggup menahan tawa sambil mengelengkan kepala.

***

Ray kini berada diantara dua wanita yang membuatnya bingung. Saling berdebat dengan rumus dan teori yang mereka analisa. Sungguh mengagumkan kemampuan keduanya. Sekonyong-konyong Ray menjadi kecil dan merasa tak ada apa-apanya dibanding kepiawaian otak jenius mereka.

“Hei, udah nyampe mana sih? Aku nggak ngerti tau’?”

“Ih ni anak, orang tu udah nyampe di bulan, kamu masih mandangin aja dari bumi.”
Ray tak tersinggung dengan ejekan Sabina. Semua sudah hafal dengan tingkah bibirnya yang suka asal bicara.

“Eh, Bina. Allah tu nggak Maha Kuasa kalo semua ciptaannya pintar-pintar. Ada yang pintar atau sebaliknya itu membuktikan Maha Kuasanya Dia. Tul, kan Ray?”
Ray tersenyum kecut. Syukurlah Ami masih mau membela.

“Eh, tapi aku terkesan lo Ray, sama omongan kamu kemarin tentang kita.”

Sabina merapatkan duduknya dengan Ray sahabatnya dan Ami yang ternyata adalah sepupunya.

“Kemarin kamu bilang, seandainya aku dan Ami berpasangan di pemilihan Ketua OSIS dan wakilnya, bisa jadi kita pemenangnya. Tapi karena kita ngerasa paling mampu…”
“Iya, Ray bener.” Ami menyambung. “Seandainya dari awal kita sadar, bahwa kita semua saudara, berasal dari nenek dan kakek yang satu, kita nggak akan pernah berantem dan saling memburukkan. Pake saling ngejek asal usul segala lagi, padahal ternyata… kita…ber nenek satu.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa Sobat TERAS untuk berkomentar...