Cerpen Ria
Perempuan Yang Selalu Memenuhi
Ponselku
Oleh Fiyan Arjun
Sudahlah
kau berhenti saja menggombaliku. Aku tahu watak asli kau dari sejak aku
mengenal kau saat di coffe shop itu. Cukup kau gombali setiap perempuan yang
kau temui di tempat itu tetapi…Stop! Jangan diriku! Karena aku tahu
kau itu memang lelaki otak bulus. Buaya darat. Kucing garong. Entahlah apalagi
yang bisa aku katakan kembali kepada kau. Karena aku sudah habis berkata-kata.
Bila
aku ingat pesan singkat itu di ponsel...hmm, rasanya aku jadi malu sendiri bila
mengingatnya kembali. Pesan singkat yang begitu membuatku terkejut. Tak menyangka
bila ia mengirim pesan singkat seperti itu di ponselku. Entah, darimana ia
mempunyai keberanian untuk mengirimnya membuat aku makin menjadi penasaran
dibuatnya. Ingin sekali aku mendengarnya dari bibirnya yang merekah dan selalu
basah itu.Ingin...
***
Kini
sudah berpuluh-puluh pesan singkat perempuan itu mengirimkan pesan singkatnya
ke ponselku. Oh, bukan! Ternyata sudah beratus pesan singkat yang ia kirimkan
untukku. Itu pun jika aku tak menghapusnya. Men-delete-nya. Coba kalau
aku tak berbuat seperti itu mana mungkin aku bisa membaca pesannya lagi.
Terlebih pesan singkat yang aku terima bukan saja darinya. Masih banyak lagi.
Entah, itu dari atasanku, rekan kerjaku maupun dari Roban kawan mengopiku saat
aku sedang memerlukan angin segar. Aku selalu mengirimkan pesan kepadanya agar
ia bisa mau menemaniku walau hanya sekedar tersaji secangkir kopi dan beberapa
kretek di coffe shop tempat langgananku.
”Sudahlah
kau beli saja, Ben! Kalau bisa kau beli selusin ponsel untuk bisa puas membaca
pesan dari perempuan itu. Jadi kau tidak perlu lagi susah-susah menghapus
apalagi memenuhi ponsel butut kau itu. Ingat ini zaman online. Produk
ponsel selalu berganti-ganti. Coba saja kau lihat rekan kerja kita Calvin, ia
sudah memiliki Baby [baca: Black Berry] keluaran terbaru. Dan kamu
Ben masih itu-itu saja ponsel yang aku lihat di tangan kau. Ayolah, Ben maju
sedikit aku yakin kau mampu kok membelinya. Hanya Baby saja masa sih
kau tak mampu membelinya.”
Begitulah
suatu hari Bandi kawan mengopiku memberitahukanku sebuah solusi dari masalah
yang sering aku hadapi. Masalah yang sering timbul dari pesan singkat yang
dikirimkan oleh perempuan itu. Selalu saja begitu. Selalu memenuhi ponselku.
Hingga membuat aku risau jika aku ingin menanti pesan masuk dari atasanku. Menghapusnya
atau tidak!
Entahlah,
itu sebuah solusi atau malah mencekik leherku aku tak begitu yakin. Apakah aku
bisa membelinya atau tidak. Padahal kerperluanku bukan hanya soal ponsel saja
tetapi masih banyak lagi hal yang terpenting aku dahulukan. Tetapi kalau aku
tak berbuat begitu aku selalu sering kehilangan pesan. Baik dari atasanku,
rekan kerjaku tapi kalau soal pesan dari Bandi kawan mengopiku itu aku tak
begitu mengkhawatirkannya. Hanya satu yang membuat aku selalu risau ketika
pesan singkat perempuan itu jika sudah memenuhi ponselku. Ah, kau
perempuan membuat aku menjadi serba salah.
”Sudahlah
kau Ben tak usah berpikir lagi. Lagi pula reputasi kau di tempat kerja tak
begitu buruk. Kau ini salah satu pegawai yang selalu diperhitungkan oleh Pak Saleh
atasan kita. Ingat tidak kau, Ben? Kau itu sudah beberapa kali mendapatkan
promosi jabatan yang membuat setiap orang melihatnya seringkali gelap mata.
Ayolah Ben kau optimis sajalah aku yakin kau pasti mampu kok membelinya,”
lanjut Bandi sekali lagi memberitahukan aku jalan terbaik mana yang akan aku
tempuh. Dan itu berbalik pada diriku sendiri.
Aku
hanya diam. Tak berkata lagi. Hanya bisa mendengarkan saja ucapan dari
kawan mengopiku itu walau di hadapanku secangkir kopi tak lagi menghamburkan
aroma yang menyengat indera penciumanku. Ternyata benar kopi yang sudah tersaji
di meja bulatku itu sudah tak menghamburkan aroma lagi. Dingin. Halnya saat
diluar sana
ketika mata minusku melihat rinai hujan mulai membasahi pelataran coffe shop
dengan derasnya menambah suasana menjadi beku. Aku hanya bisa mematung.
”Ma’af
Di sepertinya hari sudah petang. Lagi pula hujan di luar sana sudah mulai reda. Aku balik pamit dulu,”
ujarku saat matahari terus merambat mendaki kaki langit disebelah barat,
mengintip dari balik gedung pencakar langit. Ternyata senja telah
memberhentikanku untuk berlanjut bercakap-cakap kepada kawan mengopiku itu
untuk berlama-lama.
Kulihat
arlojiku ternyata sudah menunjukan pukul setengah enam sore. Ternyata aku sudah
lama berpijak di coffe shop itu bersama Bandi kawan mengopiku sekaligus rekan
kerjaku yang paling setia untuk mendengar ceritaku tentang perempuan itu.
Perempuan yang selalu memenuhi ponselku. Ah, perempuan membuat lelaki
menjadi serba salah melangkah....
***
Ternyata
salah langkahku terbaca oleh perempuan itu. Ketika aku tak menuruti perkataan
kawan mengopiku itu. Aku tak berani mengambil keputusan untuk hanya sekedar
membeli ponsel terbaru saja. Padahal itu berguna juga untuk diriku. Entahlah.
Tapi...yang aku herankan bagaimana mungkin bisa perempuan itu tahu kalau aku
sedang dilema. Antara aku harus menuruti perkataan kawan mengopiku itu atau
tidak? Aku benar-benar terkejut dengan apa yang sudah perempuan itu
sampaikan ke ponselku.
Kok
begitu saja bingung! Mana Beno yang dulu aku temui di caffe shop
itu. Selalu percaya diri. Selalu yakin pada keputusannya tetapi nol besar.
Kalau aku tahu kau lelaki semacam itu lebih baik aku dulu tak ingin berkenalan
dan menjalin hubungan ini. Karena aku tak mau berhubungan dengan lelaki
macam kau itu.
Bagaikan
tertusuk sembilu aku merasakan pesan singkat yang sampai di ponselku. Masih
tetap memakai ponsel lama.
Pesan
singkat itu aku terima saat jam makan siangku hampir usai. Saat raja siang
benar-benar hampir memakan kepalaku. Panas membuat kulit terasa hampir
terbakar. Tetapi bersyukur kantin tempat aku makan siang saat itu tak terlalu
jauh dari tempat kerjaku. Jadi panas dari raja siang tak begitu aku rasakan.
Namun yang aku rasakan panas—sekarang di telingaku adalah pesan singkat dari
perempuan itu dari ponselku.
”Kenapa?
Perempuan itu mengirimkan pesan singkat lagi kepada kau, Ben? Sudahlah turuti
saja kataku. Gantilah ponsel lama itu daripada kau nanti selalu dipermalukan
oleh perempuan itu melalui pesan singkatnya. Mana Beno yang aku kenal dulu.
Beno yang selalu tak mau di permalukan oleh perempuan!” Tiba-tiba Bandi
mengejutkan aku dari arah belakangku. Mengejutkan aku atas lamunanku terhadap
pesan yang dikirimkan oleh perempuan itu.
Aku
mendengus,” kau tahu darimana kalau aku sedang suntuk hari ini,” jawabku pada
Bandi yang sejak tadi hanya tersenyum-senyum melihat penampilanku saat itu.
”Ben...Ben...Aku
ini bukan anak kecil lagi. Aku ini mengenal kau bukan hanya sehari dua hari
tetapi banyak tahu tentang kau. Untuk apa kau mengundangku terus-terusan untuk
sekedar mengopi jika kau butuh aku sebagai teman pendengar cerita sentimentil
kau terhadap perempuan itu. Nah, sekarang kau baru tahukan bagaimana sifat
perempuan sesungguhnya. Ia tak mau dengan lelaki plin-plan seperti kau, Ben.
Lihatlah kau ini tampan tapi ketika melihat ponsel yang kau pegang itu pun
perempuan yang melihatnya jadi tak berselera terhadap kau. Ayolah, mana Beno
yang dulu...”
Akhirnya
aku pun goyah juga terhadap perkataan Bandi saat itu. Tapi aku ingatkan
(lagi-lagi) ini bukan lantaran perkataan kawan mengopiku itu lho? Ini
sebenarnya karena perempuan itu yang sudah membuat aku sebagai lelaki merasa
dipermalukan olehnya walau hanya berkata-kata melalui pesan singkat saja. Aku
benar-benar dipermalukannya!
”Okelah
kalau begitu, Di. Ternyata apa yang kau katakan ada benar juga. Siapa tahu jika
aku nanti mengganti ponsel lamaku dengan ponsel keluaran terbaru
sekelas Baby aku bisa menggombali kembali perempuan-perempuan yang
setiap kali melewati meja pesananku di coffe shop langganan kita.”
Bandi
hanya bisa terkekeh saat mata minusku melihatnya saat itu. Mungkin ia setuju
dengan apa yang aku ajukan itu. Hmm...ternyata memang perlu pengorbanan
juga jika harga diri tidak ingin di permalukan, gumamku membatin. Bila
mengingat pesan singkat perempuan itu terus-terusan dikirimkan ke ponselku.
***
Akhirnya
pengorbananku mengalahkan segalanya. Kini sekarang aku sudah memiliki ponsel
keluaran terbaru. Sekelas Baby bahkan lebih. Ini pun aku lakukan
untuk menjaga kehormatanku sebagai lelaki terhadap perempuan itu. Aku tak mau
ia selalu mengejekku dengan apa yang aku miliki. Tak lain ponsel bututku.
Ponsel lamaku itu. Dan kini aku sudah membuktikannya.
”Begitu
dong! Itu baru Beno yang aku kenal. Masa sih pegawai yang memiliki repurasi
bagus di tempat kerja membeli ponsel terbaru saja tak mampu. Nah, sekarang
terbuktikan kau semakin percaya diri, Ben.” Bandi beberapa kali memujiku saat
aku baru menginjakan ke ruang tempat kerjaku. Ternyata kawan mengopiku itu sudah
menunggu sejak tadi.
”Kau,
itu Di bisa saja membuat aku jadi salah tingkah. Hmm...tapi bagaimana ya kau
bisa tahu bahwa aku sudah memiliki ponsel terbaru,” jawabku.
”Ben...Ben...Aku
ini bukan anak kecil lagi. Aku ini mengenal kau bukan hanya sehari dua hari
tetapi banyak tahu tentang kau. Untuk apa kau mengundangku terus-terus untuk
sekedar mengopi jika kau butuh aku sebagai teman pendengar cerita sentimentil
kau terhadap perempuan itu.”
Selalu
begitu. Entahlah mungkin itu sudah menjadi kartu matiku agar aku tak mampu
balik menjawab pertanyaan kawan mengopiku itu. Aku dibuatnya mati kutu atas
ucapannya.
Nah,
begitu dong itu namanya lelaki yang tahu tekhnlogi. Tahu kemajuan zaman. Masa
zaman online begini masih memakai ponsel keluaran primitif. Dan jadi aku bisa
kembali memenuhi ponsel kau lagi. Benarkan sayang....
Mata
minusku naik beberapa derajat saat tiba-tiba tak aku sadari pesan singkat dari
perempuan itu sudah kembali memenuhi ponsel keluaran terbaruku kembali.[]
Catatan:
Cerpen
ini ada di Buku Kumpulan Cerpen "Neraka di Mulut Ibu" karya Fiyan
Arjun. Terbitan: Leutika Prio. Tahun: 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa Sobat TERAS untuk berkomentar...