Beranda

Selasa, 24 Januari 2012

(Flash Fiction) Kami Bukan Teroris (Flash Fiction) Kami Bukan Teroris Oleh: Budi Windekind



                                                                                           
            Dedaunan yang berguguran, dingin yang mulai mencekap dan mentari yang semakin malu-malu menampakkan diri,memberitahukan bahwa inilah musim gugur keempatku dan istriku, di Minnesota, semenjak meninggalkan Indonesia.

            Tinggal di negeri orang, tidaklah mudah. Terlebih di Amerika dan kau seorang muslim. Karena semenjak tragedi 11/09/01, stereotip sebagai teroris, lekat dalam pandangan orang barat terhadap kaum muslim. Aku ingin sekali mengubah stigma itu.

            Dua tahun lalu, saat aku membawa istriku yang akan melahirkan putra pertama kami ke rumah sakit, tak satupun dokter maupun perawat yang segera menolong kami karena mengetahui kami beragama Islam. Sungguh aku muak dengan situasi itu. Aku pun tak ragu untuk berteriak-teriak, tak peduli walau petugas keamanan akan menangkapku. Karena ini mengenai dua nyawa manusia yang kucintai.

Sampai akhirnya seorang dokter senior bersama perawatnya datang menolong kami. Alhamdulillah, putraku, Muhammad Haidar, lahir dengan selamat dan sehat. Begitu pula istriku, ia baik-baik saja.

            Sungguh, aku merasa sangat muak dengan pandangan orang Amerika bahwa Kaum Muslim adalah teroris. Walau sulit, aku ingin mengubah pandangan itu. Aku ingin memberitahukan kepada mereka bahwa Islam adalah agama yang mencintai kedamaian.

Sebuah momen besar bagi Kaum Muslim pun tiba, Idul Adha.

“Insya Allah ini akan jadi awal yang baik”, batinku.

Akupun mengirim undangan kepada beberapa orang tetanggaku, yang bahkan tak mengenalku secara intens. Selain karena sikap individualis mereka yang besar, juga karena stigma, bahwa kami adalah teroris. Aku dan istriku, adalah umat Allah yang cinta kedamaian, seperti yang diajarkan junjungan kami, Muhammad SAW.

            Tepat pukul delapan malam, para tetanggaku datang bersama keluarganya. Ada yang tersenyum, namun banyak juga yang tetap bersikap dingin.

            “Tak masalah”, batinku.

            Kami menjamu mereka dengan makanan khas Idul Adha. Aku ingin menciptakan suasana yang senyaman mungkin bagi mereka.

            Semua tetanggaku menikmati hidangan yang ada. Bahkan, sambal goreng hati buatan istriku ludes. Akupun tak kebagian. Anak-anak kami bermain di salah satu sudut rumah, bergembira bersama.

            “Terima kasih atas kedatangan kalian semua. Sungguh menyenangkan bisa berbagi kebahagiaan bersama kalian”, kataku.

            “Mengapa kalian mengundang kami?”, tanya salah seorang tetanggaku.

            “Agama kami mengajarkan tentang indahnya berbagi kebahagiaan dengan sesama dan kami ingin melakukan itu. Karena sungguh, agama kami adalah agama yang cinta kedamaian. Selama ini, kita berbagi hangatnya mentari yang sama, berbagi bulan yang sama bundarnya. Mengapa kita tak berbagi kebahagiaan dan kedamaian yang sama?”

            Awalnya alis tetanggaku berkerut hingga perlahan-lahan, mereka saling memandang dan tersenyum. Semoga ini adalah awal yang baik. Karena sekali lagi ingin kutegaskan, kami bukan teroris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa Sobat TERAS untuk berkomentar...