Beranda

Selasa, 24 Januari 2012

(Flash Fiction) Sangkaan


Sangkaan

 Oleh : Dee Ann Rose



“Yuhuu... nih diamond ring-nya sama kayak Jeng Afriyani!” seru teman arisanku memamerkan kilau yang melingkari jari manisnya. Persis dengan apa yang kupakai.  

Dasar panasan! Lihat saja, aku akan beli lagi yang lebih luxurious!  Obrolan kamipun menjalar ke segala penjuru. Semua terbahak-bahak memberangus kesunyian khas malam. Aku ikut-ikutan tertawa, mencoba agar tirai kecemasanku tak tersingkap.
***

00.00 WIB
Setelah membaluti diri dengan gaun malam merah maroon,  kulumuri tubuh dengan romantic pink yang semerbak.

“Siapa tahu ini malam terakhir bagi kita, Mas!” gumamku sembari melirik laci, tempatku menggeletakkan sebuah map. Lalu kupeluk selimut bludru dan membaringkan diri senyaman mungkin.

Klik!

Sebuah layar datar segera menyuguhkan sajian audio visualnya. Namun channel yang kupijit kurang tepat. Acaranya kembali mendatangkan kecemasan. Semakin menambah kebimbangan yang menjalariku akhir-akhir ini.

 “Besok KPK akan memeriksa salah satu anggota Banggar DPR, Ega Aditio, terkait proyek properti gedung yang mencapai milyaran rupiah...”

Kata-kata pembawa berita itu terus mendengungkan denyut-denyut menyesakkan. Meski aku berulangkali menarik nafas dan menghembuskannya dengan puas, tetap saja perasaanku tak lega.

 “Mas Ega, keadaan begitu kontras sewaktu Mas masih menjadi aktifis LSM...” Aku membatin,

“Sekarang saja Mas belum pulang... Apa Mas tengah menyusun rencana korupsi? Atau konspirasi sama KPK? Atau jangan-jangan... Mas selingkuh? Ah, pekerjaanmu telah memenggal kebersamaan keluarga kita, Mas. Aku dalam dilema yang begitu sulit!”  gerutuku sendiri, mengundang riak mungil dan hangat dari penjuru mata.

Tak lama kemudian pintu terbuka. Seketika jantungku memompa darah tak karuan. Bibirku menggigil untuk menyapa lelaki yang begitu aku cintai. Rencananya aku akan langsung saja menyodorkan map di laci. Aku ingin tanda tangannya agar status perceraian bisa kurenggut. Namun, urung. Guratan wajahnya melukiskan rasa lelah yang tak terkira. Aku tak sampai hati.

Segera kudekati dan kubantu dia melonggarkan dasi. Aku ingin memberi kesan yang baik,
“Capek, Mas?”

“Iya.”

“Air hangatnya udah siap, Mas.”

“Iya.”

“Semenjak jadi anggota dewan, kamu telah berubah, Mas!” Aku naik pitam ditanggapi dengan begitu datar. Tapi... Oh, dia hanya tersenyum!

“Dengan uang Mas yang banyak, Mas bisa lakukan apa saja dan lupa sama keluarga!” tambahku.

Mas Ega menoleh,
“Kamupun ikut-ikutan berubah, menjadi penghambur uang...” jawabnya dingin sambil melingkarkan handuk, masuk ke kamar mandi. Mulutku terkunci. Aku membaringkan diri kembali dan terpejam ayam.

Setelah beberapa menit, Mas Ega keluar dan mencium keningku. Tentu aku belum tertidur. Kuintip dia menggelar sajadah. Aku memperhatikannya sampai selesai mengucap salam dan berdoa. Ada bagian yang teramat mengiris dinding hatiku,

“Lindungi keluargaku dari semua fitnah keji ini, Ya Robbii...”
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa Sobat TERAS untuk berkomentar...