Putaran Roda
Kehidupan
Oleh : Tha Artha
Oleh : Tha Artha
Katanya,
hidup itu susah. Apalagi bila hidup pas-pasan. Kurang terpenuhinya kebutuhan
hidup menyebabkan sering menyesali nyawa yang Tuhan berikan. Tak jarang
mengeluh juga sampai hati menuduh Tuhan tidak sayang hambanya.
"Tuhan
hanya memihak para jutawan!" seruan itu terdengar lagi manakala
disadarinya persedian beras di bilik semakin menipis.
Anaknya
yang bertubuh kurus tetapi berperut buncit, mendekati lelaki di hadapanku. Ia
merengek minta dibelikan mainan, tapi ayahnya menolak. Dipukulnya pantat
putranya hingga menangis kencang. Aku tak tega menatap pemandangan miris
tersebut, lalu kurogoh saku, mengeluarkan lembaran lima ribuan. Tangis anak itu berubah menjadi
tawa saat menerimanya. Ia lalu berlari ke arah sebuah toko, membeli barang
impian.
Lelaki
di hadapanku tertunduk malu. Disruputnya kopi panas yang masih mengepulkan
asapnya. Aku berusaha mencairkan suasana kembali. Tugasku tak kan usai jika dia berhenti beragumen. Maka
segera kulontarkan candaan, berharap rona kusutnya segera menghilang.
Setelah
kondisi membaik, kumulai lagi tugasku, "Lalu menurut Anda, bagaimana
seharusnya sikap pemerintah pada rakyat kecil seperti bapak?"
kusodorkan tape recorder mini di dekat bibirnya, menunggunya
bicara.
"Ya
tolong jangan semakin memberatkan. Hidup kami sudah susah, semakin susah jika
dikekang dengan aturan yang tidak penting. Masa subsidi untuk solar kapal
nelayan dibatasi lagi? Lha bagaimana caranya kami melaut bila membeli
bahan bakarnya saja tidak mampu?"
Aku
terhenyak, sebuah ironi baru kutemui. "Saya baru tahu mengenai hal itu,
Pak."
Seulas
senyum terbias di wajah lelaki bernama Untung itu. Tak seperti namanya,
hidupnya kurang beruntung akibat kebangkrutan yang dideritanya tiga tahun lalu.
Memang, sebelumnya dia adalah juragan tersohor di daerahnya. Puluhan kapal
nelayan miliknya, dia sewakan pada penduduk sekitarnya yang juga ingin meraih
rejeki dari hasil laut.
Namun,
yang namanya kehidupan pastilah tak selamanya mulus. Roda pun berputar. Ia yang
posisinya sedang di atas awan, perlahan-lahan bergerak ke bawah. Rekan kerjanya
berhasil menipunya, membuat lelaki berputra satu itu pun terseok-seok dalam
kerugian besar.
Sempat
dia sesali takdir Yang Maha Kuasa. Tapi disadarinya, hal ini merupakan
kesalahannya pula. Andai dulu dia lebih mampu me-manage bisnis yang dia
rintis dari nol, tidak memasrahkan sepenuhnya pada orang yang belum lama dia
kenal, pasti akhirnya tak begini. Pak Untung masih bersyukur karena disisakan
kediaman yang layak untuk istri dan anaknya. Berkat dorongan semangat sang
istri, dia pun memulai mencari nafkah kembali dengan menjadi nelayan, seperti
yang dijalaninya hingga kini.
Setelah
berbasa-basi sebentar, kuakhiri pertemuanku dengannya. Sebuah berita telah
tersusun rapi di otak, menunggu untuk kusalin di atas lembaran putih
menggunakan tinta hitam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa Sobat TERAS untuk berkomentar...