Beranda

Selasa, 24 Januari 2012

(Flash Fiction) Jalan Layang Oleh : Alin You


(Flash fiction) Jalan  Layang
Oleh : Alin You


Jalan layang di tengah kota merupakan hal menakjubkan yang pertama kali kulihat di Jakarta. Jalan layang yang begitu mulus dan bebas hambatan. Aku bebas menjalankan laju kendaraanku tanpa harus peduli pada pejalan kaki yang suka menyeberang seenaknya. Ya, jalan layang tak diperuntukkan untuk mereka–para pejalan kaki itu, apalagi yang menyeberang seenak udelnya. Makanya, aku begitu menikmati segala fasilitas dan kemudahan yang ada di kota ini.

Sungguh menakjubkan kota Jakarta. Pantas banyak orang menggantungkan hidupnya di kota ini. Lihat saja apa yang kuperoleh kini! Rumah di real estate, mobil mentereng, gaji menggiurkan, bukankah itu impian semua orang? Apalagi saat ini aku banyak menangani proyek-proyek besar yang memiliki nilai investasi yang tentunya besar pula. Aku memang pantas mendapatkannya.

Meskipun untuk meraih ini semua harus ada pengorbanan yang kuberikan. Kurangnya waktu kumpulku bersama keluarga, karena waktuku lebih banyak kuhabiskan di lapangan, bergelut dengan proyek-proyek. Dan akibat kesibukanku itu, aku tak menyadari kalau anak-anakku telah beranjak dewasa. Kini, mereka tak segan-segan lagi menggugatku.

“Tumben Ayah makan malam di rumah?” Begitu Indah berkomentar, saat melihatku hadir di tengah-tengah mereka. Suatu kegiatan yang sudah jarang kulakukan.

“Iya nih! Biasanya sibuuukkk… terus dengan proyek-proyeknya,” Galang ikut menimpali. Aku diam, pura-pura sibuk dengan makananku. Sinis terdengar di telingaku kata-kata yang keluar dari mulut sulungku.

Lastri? Mengapa ia membisu dan hanya menatapku dari tempat duduknya. Ia tak berkomentar apapun terhadap protes yang dilayangkan anak-anak. Padahal aku sangat membutuhkannya. Dan bisunya Lastri membuatku tersiksa.

Aku bukannya tak menyadari aksi diam yang dilakukan istriku itu. Aku tahu kalau diamnya Lastri sebagai bentuk protesnya kepadaku. Dan ini pasti gara-gara kemarin.

“Ayah gimana sih? Masa ndak mau datang ke rapat RT? Apa nanti kata mereka terhadap kita?” Lastri masih juga membahas soal itu. Aku gerah mendengarnya.

“Tolong mengerti toh Bu. Ayah bukannya ndak mau datang,” kataku seraya melonggarkan dasi yang seharian ini mencekik leherku. Lastri sendiri sibuk merapikan tas dan sepatuku.

“Terus apa alasan Ayah?”

“Ibu kan tahu sendiri. Ayah sudah capek bekerja seharian di kantor. Jadi, biar saja toh mereka yang mengurus semuanya.”

“Jadi, Ayah mau lepas tangan? Bukankah pembangunan mesjid itu atas usulan Ayah juga? Kok Ayah berubah sih?” Nada suara Lastri mulai meninggi.

“Siapa yang berubah? Ayah ndak paham maksud Ibu?” tanyaku heran.

“Sudahlah. Pokoknya Ibu kecewa sama Ayah. Kenapa sekarang Ayah lebih suka mengurusi proyek daripada bergaul dengan tetangga? Ke mana perginya suamiku yang dulu sangat konsen dan peduli dengan kemaslahatan umat?”

Hei, apa aku tak salah dengar? Batinku menjerit. Namun, belum sempat kutangkis ucapannya, Lastri memilih pergi meninggalkanku dalam kebingungan.

***

Karawang, 24 Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa Sobat TERAS untuk berkomentar...