Cerpen Ria
Perempuan Yang Selalu Memenuhi
Ponselku
Oleh Fiyan Arjun
Sudahlah
kau berhenti saja menggombaliku. Aku tahu watak asli kau dari sejak aku
mengenal kau saat di coffe shop itu. Cukup kau gombali setiap perempuan yang
kau temui di tempat itu tetapi…Stop! Jangan diriku! Karena aku tahu
kau itu memang lelaki otak bulus. Buaya darat. Kucing garong. Entahlah apalagi
yang bisa aku katakan kembali kepada kau. Karena aku sudah habis berkata-kata.
Bila
aku ingat pesan singkat itu di ponsel...hmm, rasanya aku jadi malu sendiri bila
mengingatnya kembali. Pesan singkat yang begitu membuatku terkejut. Tak menyangka
bila ia mengirim pesan singkat seperti itu di ponselku. Entah, darimana ia
mempunyai keberanian untuk mengirimnya membuat aku makin menjadi penasaran
dibuatnya. Ingin sekali aku mendengarnya dari bibirnya yang merekah dan selalu
basah itu.Ingin...
***
Kini
sudah berpuluh-puluh pesan singkat perempuan itu mengirimkan pesan singkatnya
ke ponselku. Oh, bukan! Ternyata sudah beratus pesan singkat yang ia kirimkan
untukku. Itu pun jika aku tak menghapusnya. Men-delete-nya. Coba kalau
aku tak berbuat seperti itu mana mungkin aku bisa membaca pesannya lagi.
Terlebih pesan singkat yang aku terima bukan saja darinya. Masih banyak lagi.
Entah, itu dari atasanku, rekan kerjaku maupun dari Roban kawan mengopiku saat
aku sedang memerlukan angin segar. Aku selalu mengirimkan pesan kepadanya agar
ia bisa mau menemaniku walau hanya sekedar tersaji secangkir kopi dan beberapa
kretek di coffe shop tempat langgananku.
”Sudahlah
kau beli saja, Ben! Kalau bisa kau beli selusin ponsel untuk bisa puas membaca
pesan dari perempuan itu. Jadi kau tidak perlu lagi susah-susah menghapus
apalagi memenuhi ponsel butut kau itu. Ingat ini zaman online. Produk
ponsel selalu berganti-ganti. Coba saja kau lihat rekan kerja kita Calvin, ia
sudah memiliki Baby [baca: Black Berry] keluaran terbaru. Dan kamu
Ben masih itu-itu saja ponsel yang aku lihat di tangan kau. Ayolah, Ben maju
sedikit aku yakin kau mampu kok membelinya. Hanya Baby saja masa sih
kau tak mampu membelinya.”
Begitulah
suatu hari Bandi kawan mengopiku memberitahukanku sebuah solusi dari masalah
yang sering aku hadapi. Masalah yang sering timbul dari pesan singkat yang
dikirimkan oleh perempuan itu. Selalu saja begitu. Selalu memenuhi ponselku.
Hingga membuat aku risau jika aku ingin menanti pesan masuk dari atasanku. Menghapusnya
atau tidak!
Entahlah,
itu sebuah solusi atau malah mencekik leherku aku tak begitu yakin. Apakah aku
bisa membelinya atau tidak. Padahal kerperluanku bukan hanya soal ponsel saja
tetapi masih banyak lagi hal yang terpenting aku dahulukan. Tetapi kalau aku
tak berbuat begitu aku selalu sering kehilangan pesan. Baik dari atasanku,
rekan kerjaku tapi kalau soal pesan dari Bandi kawan mengopiku itu aku tak
begitu mengkhawatirkannya. Hanya satu yang membuat aku selalu risau ketika
pesan singkat perempuan itu jika sudah memenuhi ponselku. Ah, kau
perempuan membuat aku menjadi serba salah.
”Sudahlah
kau Ben tak usah berpikir lagi. Lagi pula reputasi kau di tempat kerja tak
begitu buruk. Kau ini salah satu pegawai yang selalu diperhitungkan oleh Pak Saleh
atasan kita. Ingat tidak kau, Ben? Kau itu sudah beberapa kali mendapatkan
promosi jabatan yang membuat setiap orang melihatnya seringkali gelap mata.
Ayolah Ben kau optimis sajalah aku yakin kau pasti mampu kok membelinya,”
lanjut Bandi sekali lagi memberitahukan aku jalan terbaik mana yang akan aku
tempuh. Dan itu berbalik pada diriku sendiri.
Aku
hanya diam. Tak berkata lagi. Hanya bisa mendengarkan saja ucapan dari
kawan mengopiku itu walau di hadapanku secangkir kopi tak lagi menghamburkan
aroma yang menyengat indera penciumanku. Ternyata benar kopi yang sudah tersaji
di meja bulatku itu sudah tak menghamburkan aroma lagi. Dingin. Halnya saat
diluar sana
ketika mata minusku melihat rinai hujan mulai membasahi pelataran coffe shop
dengan derasnya menambah suasana menjadi beku. Aku hanya bisa mematung.
”Ma’af
Di sepertinya hari sudah petang. Lagi pula hujan di luar sana sudah mulai reda. Aku balik pamit dulu,”
ujarku saat matahari terus merambat mendaki kaki langit disebelah barat,
mengintip dari balik gedung pencakar langit. Ternyata senja telah
memberhentikanku untuk berlanjut bercakap-cakap kepada kawan mengopiku itu
untuk berlama-lama.
Kulihat
arlojiku ternyata sudah menunjukan pukul setengah enam sore. Ternyata aku sudah
lama berpijak di coffe shop itu bersama Bandi kawan mengopiku sekaligus rekan
kerjaku yang paling setia untuk mendengar ceritaku tentang perempuan itu.
Perempuan yang selalu memenuhi ponselku. Ah, perempuan membuat lelaki
menjadi serba salah melangkah....
***
Ternyata
salah langkahku terbaca oleh perempuan itu. Ketika aku tak menuruti perkataan
kawan mengopiku itu. Aku tak berani mengambil keputusan untuk hanya sekedar
membeli ponsel terbaru saja. Padahal itu berguna juga untuk diriku. Entahlah.
Tapi...yang aku herankan bagaimana mungkin bisa perempuan itu tahu kalau aku
sedang dilema. Antara aku harus menuruti perkataan kawan mengopiku itu atau
tidak? Aku benar-benar terkejut dengan apa yang sudah perempuan itu
sampaikan ke ponselku.
Kok
begitu saja bingung! Mana Beno yang dulu aku temui di caffe shop
itu. Selalu percaya diri. Selalu yakin pada keputusannya tetapi nol besar.
Kalau aku tahu kau lelaki semacam itu lebih baik aku dulu tak ingin berkenalan
dan menjalin hubungan ini. Karena aku tak mau berhubungan dengan lelaki
macam kau itu.
Bagaikan
tertusuk sembilu aku merasakan pesan singkat yang sampai di ponselku. Masih
tetap memakai ponsel lama.
Pesan
singkat itu aku terima saat jam makan siangku hampir usai. Saat raja siang
benar-benar hampir memakan kepalaku. Panas membuat kulit terasa hampir
terbakar. Tetapi bersyukur kantin tempat aku makan siang saat itu tak terlalu
jauh dari tempat kerjaku. Jadi panas dari raja siang tak begitu aku rasakan.
Namun yang aku rasakan panas—sekarang di telingaku adalah pesan singkat dari
perempuan itu dari ponselku.
”Kenapa?
Perempuan itu mengirimkan pesan singkat lagi kepada kau, Ben? Sudahlah turuti
saja kataku. Gantilah ponsel lama itu daripada kau nanti selalu dipermalukan
oleh perempuan itu melalui pesan singkatnya. Mana Beno yang aku kenal dulu.
Beno yang selalu tak mau di permalukan oleh perempuan!” Tiba-tiba Bandi
mengejutkan aku dari arah belakangku. Mengejutkan aku atas lamunanku terhadap
pesan yang dikirimkan oleh perempuan itu.
Aku
mendengus,” kau tahu darimana kalau aku sedang suntuk hari ini,” jawabku pada
Bandi yang sejak tadi hanya tersenyum-senyum melihat penampilanku saat itu.
”Ben...Ben...Aku
ini bukan anak kecil lagi. Aku ini mengenal kau bukan hanya sehari dua hari
tetapi banyak tahu tentang kau. Untuk apa kau mengundangku terus-terusan untuk
sekedar mengopi jika kau butuh aku sebagai teman pendengar cerita sentimentil
kau terhadap perempuan itu. Nah, sekarang kau baru tahukan bagaimana sifat
perempuan sesungguhnya. Ia tak mau dengan lelaki plin-plan seperti kau, Ben.
Lihatlah kau ini tampan tapi ketika melihat ponsel yang kau pegang itu pun
perempuan yang melihatnya jadi tak berselera terhadap kau. Ayolah, mana Beno
yang dulu...”
Akhirnya
aku pun goyah juga terhadap perkataan Bandi saat itu. Tapi aku ingatkan
(lagi-lagi) ini bukan lantaran perkataan kawan mengopiku itu lho? Ini
sebenarnya karena perempuan itu yang sudah membuat aku sebagai lelaki merasa
dipermalukan olehnya walau hanya berkata-kata melalui pesan singkat saja. Aku
benar-benar dipermalukannya!
”Okelah
kalau begitu, Di. Ternyata apa yang kau katakan ada benar juga. Siapa tahu jika
aku nanti mengganti ponsel lamaku dengan ponsel keluaran terbaru
sekelas Baby aku bisa menggombali kembali perempuan-perempuan yang
setiap kali melewati meja pesananku di coffe shop langganan kita.”
Bandi
hanya bisa terkekeh saat mata minusku melihatnya saat itu. Mungkin ia setuju
dengan apa yang aku ajukan itu. Hmm...ternyata memang perlu pengorbanan
juga jika harga diri tidak ingin di permalukan, gumamku membatin. Bila
mengingat pesan singkat perempuan itu terus-terusan dikirimkan ke ponselku.
***
Akhirnya
pengorbananku mengalahkan segalanya. Kini sekarang aku sudah memiliki ponsel
keluaran terbaru. Sekelas Baby bahkan lebih. Ini pun aku lakukan
untuk menjaga kehormatanku sebagai lelaki terhadap perempuan itu. Aku tak mau
ia selalu mengejekku dengan apa yang aku miliki. Tak lain ponsel bututku.
Ponsel lamaku itu. Dan kini aku sudah membuktikannya.
”Begitu
dong! Itu baru Beno yang aku kenal. Masa sih pegawai yang memiliki repurasi
bagus di tempat kerja membeli ponsel terbaru saja tak mampu. Nah, sekarang
terbuktikan kau semakin percaya diri, Ben.” Bandi beberapa kali memujiku saat
aku baru menginjakan ke ruang tempat kerjaku. Ternyata kawan mengopiku itu sudah
menunggu sejak tadi.
”Kau,
itu Di bisa saja membuat aku jadi salah tingkah. Hmm...tapi bagaimana ya kau
bisa tahu bahwa aku sudah memiliki ponsel terbaru,” jawabku.
”Ben...Ben...Aku
ini bukan anak kecil lagi. Aku ini mengenal kau bukan hanya sehari dua hari
tetapi banyak tahu tentang kau. Untuk apa kau mengundangku terus-terus untuk
sekedar mengopi jika kau butuh aku sebagai teman pendengar cerita sentimentil
kau terhadap perempuan itu.”
Selalu
begitu. Entahlah mungkin itu sudah menjadi kartu matiku agar aku tak mampu
balik menjawab pertanyaan kawan mengopiku itu. Aku dibuatnya mati kutu atas
ucapannya.
Nah,
begitu dong itu namanya lelaki yang tahu tekhnlogi. Tahu kemajuan zaman. Masa
zaman online begini masih memakai ponsel keluaran primitif. Dan jadi aku bisa
kembali memenuhi ponsel kau lagi. Benarkan sayang....
Mata
minusku naik beberapa derajat saat tiba-tiba tak aku sadari pesan singkat dari
perempuan itu sudah kembali memenuhi ponsel keluaran terbaruku kembali.[]
Catatan:
Cerpen
ini ada di Buku Kumpulan Cerpen "Neraka di Mulut Ibu" karya Fiyan
Arjun. Terbitan: Leutika Prio. Tahun: 2011
CERPEN RIA - DIPENGHUJUNG GELISAH - DEA
PUTRI
DIPENGHUJUNG GELISAH
karya : Dhea Putri Vibria
Rasa
itu entah apa sebabnya tiba-tiba saja menyergap Tito dalam kesendiriannya.
Rindu bercampur gelisah, begitu menggebu. Dua minggu sudah lamanya ia
kehilangan berita, yang biasanyadengan mudah ia dapati dari status-status
Facebook milik Anggia. Seseorang yang pernah menjadi Ratu hatinya, yang
hari-harinya begitu akrab meng-update status di fb.
Tapi
kini sudah hampir lewat dua minggu kolom itu sepi dari status-status sang
pemilik. Status terakhirnya berbunyi,
"ssorg
terus m'perhatikan ak dari jauh, ak tau. utk itu kuucapkan terima kasih, jg
permintaan maafku utk stap untai kt kasar yg pernah terlontar, yg tentu
tdk berkenan di hati. Kelak suatu saat Qt ketemu lagi, km akan liat ak tlah
berbeda, semakin dekat dengan mimpi2 yang pernah ku ceritakan. pada
akhirnya there's nothing happened in our life but for some reason"
Status yang Tito yakini sekali ditujukan untuk dirinya.Karena
betapapun ia telah memblokir akses yang Anggia miliki untuk melihat profile fb
miliknya, ia sendiri masih memiliki akses untuk terus memantau mantan kekasihnya
itu melalui fb teman-temannya yang juga berteman dengan Anggia.
Dan ia yakin sekali Anggia mengetahui hal itu.
Malam itu pukul 00.15, suasana di warnet milik Tito lumayan sepi.
Hanya beberapa kawan akrabnya yang duduk di balik bilik-bilik warnet, bermain
poker seperti biasa.
“Woi, keock, fb lo gue pinjem dulu dong, bentaran.” Seru Tito dari balik meja operator pada Adie,
yang biasa dipanggil Keock.
“Mo ngapain lo?? Tanggung neh gue lagi menang banyak,” Seru Adie balik.
“Bentar doang, buru dah. Lo maen pake punya gue ajah, chip gue juga lagi banyak tuh, abisin-abisin dah,’ Tito bersikeras.
Segera setelah tampilan monitor miliknya berubah tampilan menjadi “beranda” facebook milik Adie,
Tito mengetik sebuah nama pada kolom pencarian. Sebuah akun facebook dengan
foto profile seorang gadis manis berjilbab yang tersenyum ceria muncul dari
daftar pencarian. "Princess Anggia".
Lagi-lagi kosong dari aktifitas sang pemilik.
Ada beberapa
kiriman dinding yang menanyakan kabar tapi tak terjawab. Diarahkannya kursor ke
simbol foto, kemudian dikliknya album dengan judul "I love my hijab and
i'm proud of it" yang berisikan foto-foto Anggia.Puluhan jumlahnya,
mungkin malah mencapai ratusan, dengan berbagai pose yang menunjukkan betapa
narsisnya sang mantan.
Lama Tito terdiam menatapi foto-foto tersebut.
Berusaha mengobati kerinduannya sendiri, pada betapa cerianya gadis dalam
foto-foto tersebut. Kangen pada joke-joke yang dilontarkan, cerita-cerita yang
dulu hampir setiap hari ia dengar tentang hari-hari yang Anggia lalui.
Hampir semua foto yang terpampang selalu dalam pose tersenyum sumringah,
seolah hidup gadis dijalani tanpa rintangan dan beban. Padahal Tito tahu pasti
kedulitan dan beratnya terpaan hidup yang berkali-kali menghantam kehidupan
gadis berusia 20 tahun ini.
Anggia
tetap tegar berdiri, kadang memang ada kalanya terpaan tersebut memancing
emosinya dan Anggia lontarkan begitu saja melalui statusnya yang lantas
memancing komentar-komentar tentang betapa pentingnya bersabar. Namun Tito tahu
pasti, emosi itu hanya sesaat itu saja. Anggia selalu dengan cepat melupakan
masalah yang dianggapnya menyita emosi dan tenaga.
Ahh, Tito mendesah panjang. Mengenyakkan diri lebih dalam lagi ke kursi.
"Mbem, aku kangen banget sama kamu." Batinnya lirih.
#
# #
“Si Anggia emang sakit apa, To??”
Tito menoleh ke asal suara.
Petang itu Ia baru saja pulang dari kampus saat sahabatnya yang lain,
Juna melpontarkan pertanyaan tersebut. Ia bahkan belum sempat melepas helm yang
dikenakannya. "Sakit? Sakit apa, ya mana gue tau. Emang gue bokapnya?"
Jawab Tito asal, meski dalam hatinya langsung saja timbul begitu banyak
tanya.Anggia sakit? Sakit apa? Apa itu sebabnya fbnya sepi?
“Tau darimana lo?”
“Tadi si gue liat di fb nya tuh ada…”
Belum lagi Juna menyelesaikan kalimatnya, Tito langsung menghambur masuk ke dalam warnet.
"Cepet sembuh ya, mba…buka matanya, kita semua kangen mba ada di tengah2 kami.
Terus berjuang ya melawan semuanya, kita percaya mba bisa dan kami mendo'akan
mba. Peluk cium dari seluruh keluarga, we love you and keep fight!"
Begitu bunyi kiriman di dinding fb Anggia dari adiknya, Merpati.
Baru saja dikirim sejam yang lalu dan langsung mendapat puluhan komentar yang
menanyakan keadaan Anggia. Sakit apa? Sejak kapan? Dirawat di rumah sakit atau
di rumah? Dan beberapa komentar berisikan do'a-do'a yang berasal dari
teman-teman sekampus Anggia.
Tak satu pun tanya terjawab.
Seolah kehilangan kekuatan di seluruh persendiannya, Tito luruh begitu saja.
Terduduk di kursi dengan bola mata menatap nanar ke arah layar monitor.
Tentu saja, seharusnya gue tau ada yang nggak beres, batinnya berbisik.
Anggia yang hampir selalu nggak pernah absen meng-update status tiba-tiba
menghilang dari peredaran. Tapi sakit? Kenapa hal itu sama sekali nggak
terpikir? Bahkan ketika terpaksa harus terbaring lemah karena maag-nya kumat
pun Anggia tetap eksis!! Sakit apa yang sampai membuatnya nggak sadarkan
diri???
“Kemana?? Kemana harus gue cari tau…” Tito berpikir keras.
Di ponselnya ada nomor beberapa kerabat Anggia, tapi rasanya ia tidak mempunyai
cukup keberanian untuk bertanya pada mereka. "Teman! Siapa? Siapa? Ayo
mikir...!!" Tito memejamkan kedua matanya. Anggia tipe yang ekstrovert. Ia
cerdas, supel dan mudah masuk dalam lingkungan apa saja. Bebrapa nama teman
Anggia sempat nyangkut di kepala Tito tapi Tito butuh seseorang yang ia juga
kenal baik. Febri! Otaknya berseru keras, menyebutkan nama seseorang yang
dirinya dan Anggia kenal cukup baik. Meskipun perkenalan mereka berawal dari fb
tapi Anggia sempat beberapa kali kopi darat dengan Febri dan bahkan bisa
dibilang sahabatan. Apalagi Febri tak lain adalah tetangga rumahnya yang pernah
memiliki hubungan dekat dengan Juna.
Segera setelah nama itu muncul, Tito langsung menghambur keluar mencari Juna.
"Woi, cuy. Pinjem hape lo dong!" pintanya langsung pada Juna yang
sedang asik duduk-duduk di warung di seberang warnet.
“Mo ngapain lo? Miskin amat juragan warnet hari gini sampe ga punya pulsa,” seloroh Juna
sambil tetap menyerahkan ponselnya.
Tito tidak menghiraukan guyonan tersebut, matanya sibuk menelusuri daftar kontak di ponsel Juna.
Sering adu komen dengan Febri di fb tidak lantas membuat Tito memiliki nomor
kontak Febri dalam phone book-nya.
“Halo, buu. Ni gue Tito.”
“Ooh, iya kenapa, to?
“Ga, gue Cuma mo nanya, si Anggia emang sakit apaan? Lo tau ga?”
“Sakit? Emang sakit apa? Gue ga tau malah, emang dia sakit? Gue dah lama nggak ada kontak ma doi.
Kenapa lo tiba-tiba nanyain doi, kangen? Bukannya lo udah punya yang
baru..."
“Hahaha, bisa aja lo. Yaudah thanks yah.” Klik.
Nihil.
“Lo kuatir?” Juna yang entah kapan berdiri di sisinya berbisik lirih.
Mereka berada jauh dari keramaian, di ruangtamu rumah Tito. tempat yang bisa
menyembunyikan segala raut wajah gelisah yang dapat jelas terbaca anak-anak
satu tongkrongan mereka. Seluruh isi rumah sudah terlelap. Jarum jam
menunjukkan hampir tengah malam.
"Gue
tau lo kuatir, ga usah terus-terusan membohongi diri, bro. Mungkin satu-satunya
cara untuk cari tau ya lo datengin rumahnya.
Dengan begitu lo tau bisa tau pasti.”
Ide tersebut bukannya nggak pernah melintas, hanya saja Tito merasa dirinya
tidak memiliki record yang baik dimata keluarga besar Anggia. Bukan dalam hal
tingkah laku, tapi penampilannya yang bikin para calon mertua di seantero dunia
bakal ilfil. Rambut ikal gondrong sebahu, yang lebih sering
acak-acakannya ketimbang rapinya. Badannya yang tinggi besar
sering di-cover jeans belel dan kaos oblong. Singkat kata Tito itu : preman
banget, lah!
Mungkin
sebab itu, sang mantan calon ayah mertua jarang sekali berlama-lama mengajak ia
berbasa-basi. Malah oernah suatu kali dirinya diajak sowan ke tempat salah
seorang budhenya Anggia, sang budhe dengan terang-terangan
menyarankan Anggia buat nyari cowok lain.
Dulu sih Tito nyantai aja karena Anggia nggak pernah mempersoalkan penampilan luarnya,
makanya ia tetap PD bolak-balik ke rumah sang mantan biarpun selalu dikacangin
sang ayah. Dan sekarang, ia disuruh datang ke sana seorang diri tanpa Anggia ada di rumah?
Jujur saja Tito hopeless. Ngeri. Jangan-jangan daun pintunya bakalan reflek
langsung ditutup lagi begitu tahu ia yang datang.
Hmpft… Tito mendesah
#
# #
Silakan kalau ada yang mau bilang dirinya pengecut. Karena meskipun sudah hampir tiga hari
mengetahui bahwa Anggia sakit, Tito tetap bertahan untuk tidak mencari tahu
langsung ke rumah cewek itu. Ditekannya kuat-kuat rasa ingin tahu yang
sebenarnya begitu menuntut untuk dituntaskan. Sebenarnya bukan semata karena
takut dijutekin. Tapi lebih kepada perasaan bersalahnya pada Anggia yang
mengekangnya.
Setahun lebih menggantung hubungan mereka tanpa kepastian,
namun hubungan mereka tetap seperti layaknya orang berpacaran. Dimana ada Tito
di situ ada Anggia, dan sebaliknya. Tapi lalu tiba-tiba ia berpaling pada
wanita lain seperti antara dirinya dan Anggia murni hanya ada pertemanan sejak
awal. Pertemanan yang mesra, yang membawa serta segenap rasa sayang dan juga
asa pada diri Anggia.
Lamunan Tito pada perasaan bersalahnya terinterupsi oleh dering ponselnya yang menyalak nyaring.
Lagu Scatzhi yang dinyanyikan Slank mengalun, menambah goresan perih. Karena
lagu itu pernah ia persembahkan untuk Anggia.
“Assalamu’alaikum,” suara perempuan muda di seberang sambungan telepon. “Mas Tito?”
“Ya, ini Tito.”
“Mas, ini Merpati, adiknya Mba Anggia…”
#
# #
Merpati menyambut kedatangan Tito di ambang pintu kamar pasien tempat kakaknya di rawat.
Sebelum mengajak Tito masuk, Merpati memberi penjelasan singkat tentang keadaan
kakaknya.
“Tiga minggu yang lalu Mba Anggia secara tiba-tiba pingsan di kampusnya sewaktu mengerjakan
soal-soal UAS. Dan sejak saat itu nggak sadarkan diri, tapi dua jam yang lalu
Mba Anggia sempat sadar setelah tiga minggu koma. Kedua matanya terbuka
sebentar memandangi saya, ibu dan ayah. Seperti hendak berpamitan. Lalu sebelum
hilang lagi kesadarannya, Mba Anggia sempat menyebut nama Mas Tito. Setelah itu
kondisinya makin nggak stabil..." Merpati membungkam mulutnya sendiri
dengan tangan kanannya. Perasaan pilu tentang gambaran akan kehilangan kakak
semata wayang benar-benar memporak-porandakan ketegaran yang sudah payah ia
kumpulkan sewaktu menelepon Tito tadi.
Langkah Tito terhenti di depan pintu kamar pasien. Matanya menatap nanar pada sesosok tubuh
yang terbaring tanpa daya, dua meter di depannya. Di dalam ruangan sudah
berkumpul keluarga besar dari kedua belah pihak orangtua Anggia yang telah
bercerai, keduanya didampingi pasangan masing-masing
Awan mendung menyelimuti setiap wajah yang berdiri memenuhi ruangan berukuran 4 x 4 meter
tempat Anggia di rawat.
Sangat berbeda ketika pertama kali keduanya bertemu dua tahun lalu.
Waktu itu Anggia masih gadis manja yang slebor dalam berpakaian,
Kadang kaos oblong segede gaban dipake. Kadang tank top super mini yang
meperlihatkan pusarnya kemana-mana.
Sekarang, bahkan dalam keadaan tidak sadarkan diri, tubuh mungil itu tertutup rapat dari ujung
ke ujung.
Merpati, adik Anggia, membisikan sesuatu pada kakak satu-satunya.
Sepeti seolah Anggia dapa mendengar ucapannya. Berharap penuh apa yang
disampaikannya dapat menambah semangat Anggia untuk berjuang melawan penyakit
yang menggerogotinya.
“Kemari, Mas…” Merpati berkata lirih, memberi isyarat pada Tito agar mendekat
Antara nggak tega tapi ingin…Tito mendekat. Duduk di kursi yang disediakan Merpati. “Merpati tinggal sebentar, Mas.” Merpati berkata sambil mengajak semua orang meninggalkan ruangan. Tito mengangguk mengiyakan.
Sekarang di ruangan berukuran 4 X 4 meter itu hanya tinggal dirinya sendiri, berdua dengan seseorang yang dikasihinya. Karena rasa itu tak pernah begitu saja pergi. Cewek yang terbaring tanpa daya di hadapannya adalah seseorang yang pernah begitu berarti, yang pernah meramaikan dunianya. Memberikan begitu banyak warna dengan pembawaannya yang ceria.
Siapa sangka dibalik semua tawa gembira dan senyum sumringah serta canda yang selalu menjadi ciri khasnya tersebut, Anggia menderita kanker otak stadium akhir. Seperti seolah masalah keluarganya masih belum cukup berat menjadi beban.
“Mbem…” Tito berbisik. Tangannya gatal ingin membelai, mengusap kepala Anggia. Tapi sesuatu mencegahnya melakukan itu. Ia merasa selama ini telah begitu banyak menyakiti Anggia. “Kenapa kamu nggak pernah cerita… hampir tentang semua hal kamu cerita ke aku. Tapi kenapa hal yang begitu penting kayak gini kamu simpan sendiri?”
Tito menundukkan kepalanya, bertumpu dengan kedua tangan terlipat pada bed tempat Anggia terbaring. Dadanya penuh sesak oleh rasa kangen, hasrat ingin membelai, menyalurkan segenap sayang dan kepedulian.
#
# #
Dengan kepala tertunduk Tito keluar dari ruangan tempat Anggia di rawat, bekas-bekas cucuran air mata masih nampak membekas di kedua pipi dan pelupuk matanya.
Seorang wanita berusia 40 an tahun langsung menjerit histeris dan menghambur begitu saja ke dalam ruangan, Ibu Anggia. Anggota keluarga yang lain menyusul di belakangnya dengan isak tertahan.
Merpati sendiri tetap bergeming di tempatnya berdiri. Tatapannya terpaku pada lantai rumah sakit, lalu perlahan ia memejamkan matanya dan menarik napas. Menekan dalam-dalam perasaan kehilangan yang menggerogotinya. Di dalam nanti ia harus terlihat tegar untuk menguatkan sang ibu.
“Mba Anggia menunggu Mas, ternyata…
Syukurlah kini penderitaannya telah berakhir.” Merpati berkata sebelum akhirnya hilang di balik pintu.
* THE END *
15.34 WIB
Cerpen
Ria_Sayatan-sayatan Mimpi_April May My
SAYATAN-SAYATAN
MIMPI
Senja
masih menggantung di lazuardi, menampakkan kilauan kemerahannya nan indah.
Namun, indahnya senja, tak seindah wajah Imey. Awan hitam menggantung, di
sudut mata gadis manis bermata jeli itu. Sebentar lagi, mata indahnya
menitikkan kristal-kristal yang berkilauan di terpa sinar mentari senja. Imey
sedang berduka.
“Buang
saja laptopmu itu. Bila itu menjadikanmu menjadi seorang pemalas!” hardik pak
Baron ayah Imey.
Kata-kata
pak Baron sangat menusuk hati Imey. Bagaimana ayahnya bisa berkata sekejam itu
padanya? Sedangkan laptop itu dia beli dari hasil uang sakunya. Saat jam
istirahat tiba, Imey rela menahan keinginan membelanjakan uang jajannya. Imey
hanya menelan ludah. Saat teman-temannya berhamburan ke kantin, membeli aneka
macam penganan. Untuk mengganjal perut menunggu jam pulang sekolah.
Angin
senja memainkan ujung jilbabnya. Membuat tepinya menari-nari di hadapannya.
“Sabar,
ya sayang.” Bu Anne, ibunya Imey mencoba menghiburnya. Namun kalimat penghibur
dari ibunya. Tak mampu menahan bendungan derasnya air mata yang mengalir.
“Tapi
bu. Mengapa ayah tak bisa mengerti keinginanku, bu?” tanya Imey pada ibunya.
“Bukan
tidak bisa. Tapi belum. Suatu saat nanti, ayahmu pasti mengerti.” ucap bu Anne
sambil mengelus kepala putri semata wayangnya.
“Sampai
kapan, bu? rasanya aku sudah sering menjelaskannya. Aku ingin menjadi seorang
penulis.”
“Semua
akan indah pada waktunya. Asal semangat yang tak boleh hilang dari dirimu,
Mey.” ucap bu Anne menyemangatinya.
“Semoga.
Aku pastikan tak akan pernah hilang, Bu.” ucap Imey meyakinkan ibunya.
“Apa
itu karena aku bukan anak ayah, Bu?” ucap Imey tiba-tiba.
“Bagaimana
kamu bisa beranggapan seperti itu?” tanya bu Anne. Bu Anne terkejut mendengar
pertanyaan Imey, dan malah balik bertanya.
“Ayah
yang berkata seperti itu padaku.” jelas Imey.
“Betul.
Memang kamu bukan anaknya. Ibu memilikimu sebelum menikah dengannya. Ayah
kandungmu sudah lama tiada. Walau begitu, ayah Baron amat menyayangimu, Nak.
Dia marah, bukan karena benci. Tapi karena dia sangat sayang padamu. Tak mau kamu
menyia-nyiakan waktumu, hanya di depan laptop-mu saja.” urai bu Anne panjang
lebar pada Imey.
“Benarkah
ayah sayang padaku? Ataukah aku yang tak bisa mengatur waktuku dengan baik?”
batin Imey bergejolak. Tarik-menarik antara membenarkan pernyataan ibunya
ataukah kenyataan perlakuan yang di terimanya? kenyataan perlakuan tidak
menyenangkan ayah Baron tadi siang.
“Ya,
sepertinya karena aku yang tidak bisa mengatur waktuku.” logika Imey
membenarkan pernyataan ibunya. Teringat Imey akan kebaikan-kebaikan ayah Baron
pada dirinya. Ayah Baron tidak pernah semarah ini sebelumnya.
“Ma’afkan
aku, Ayah.” ucap Imey lirih dalam diam.
Sesungging
senyum, Imey hadirkan di wajahnya. Bersama dengan indahnya ukiran senyum bu
Anne menyambutnya. Malam mulai merangkak. Senja telah sirna di ufuk sana .
“Aku
harus kuat demi impianku, harus!” teriak hati Imey.
Di
sambut suara desiran angin malam yang berhembus kencang. Dan lolongan
anjing liar. Seolah mereka turut meneriakkan semangat untuknya.
@@@
“Lomba
Menulis FF dengan tema: Perjalanan.
Dengan
syarat:
-
Di tulis menggunakan Ms. Word 2003/2007
-
TNR 12, spasi 1,5, 300-500 kata
-
Batas pengiriman 1 Desember-30 Desember 2011
-
Kirim ke email : apazah78@gmail.com dengan subjek : Perjalanan_Judul
naskah_Nama Penulis”
25
naskah terpilih akan di bukukan, royalti di bagi jumlah penulis.
Isi
Pengumuman di dinding Majalah Dinding sekolah, itu cukup singkat. Namun mampu
membangkitkan sel-sel semangat menulis Imey yang nyaris tertutup kabut
penolakan ayahnya.
“Hemm.
Tak ada salahnya ku coba.” pikir Imey. Segera Imey keluarkan pena dan buku
agendanya dari dalam tas. Dia salin isi pengumumun itu ke dalam buku agenda.
“Selesai!”
teriak Imey. Membuat berpasang mata teman-temannya yang melintas tertuju padanya.
Imey
hanya menyunggingkan senyum di wajahnya. Membalas tatapan heran berpasang mata
yang tertuju padanya.
“Kira-kira
apa ya, yang akan ku tulis?” pikir Imey mencari jawab.
“Aha!
Aku dapat!” ucapnya kemudian. Bergegas Imey melangkahkan kaki menuju rumahnya.
Tak sabar dia ingin segera menuangkan apa yang ada di kepalanya dalam lembaran
halaman MS Word laptop-nya.
Waktu
seakan merangkak lambat. Ketika perjalanan pulang ke rumahnya.
Setibanya
di rumah, Imey segera mencari laptopnya. Tapi alangkah terkejutnya dia, ketika
benda yang di carinya tidak di temukan.
“Bu...
Ibu lihat laptopku tidak?!” tanya Imey pada ibunya dari dalam kamar.
“Di
atas meja belajarmu.” sahut bu Anne dari dapur.
“Tidak
ada, Bu.” jawab Imey kemudian.
Bu
Anne pun bergegas menuju kamar Imey. Dan dilihatnya memang tidak ia temukan
benda yang di cari putrinya itu.
“Coba
kamu ingat-ingat, mungkin kamu lupa menaruhnya.” saran bu Anne.
“Tidak
bu, aku ingat betul laptop itu aku taruh di meja. Tidak aku pindahkan.” jawab
Imey.
“Heh,
bagaimana ini? batas waktu pengiriman tinggal hari ini. Sedangkan laptopku tak
tahu rimbanya.” batin Imey berkecamuk.
“Tenang
Imey, tenang… Panik tidak akan menyelesaikan masalah.” suara hati Imey yang
lain menenangkan.
“Hey,
mengapa aku tidak pergi ke warnet saja?” pikirnya tiba-tiba. Imey pun pamit
pada ibunya, dan melangkahkan kakinya menuju warnet.
Setibanya
di warnet di bukanya layar monitor di hadapannya. Dia mulai menuangkan isi yang
ada di kepalanya. Menekan tombol-tombol di papan keyboard dengan lincahnya.
“Selesai!”
teriak hatinya penuh kegembiraan.
“Sekarang
tinggal mengirimkannya.” lanjut hatinya kemudian.
Setelah
terkirim. Imey menutup layar monitornya, dan membayar biaya warnet. Imey pun
melangkahkan kakinya menuju rumahnya.
“Mengapa
harus bapak sembunyikan sih, pak?” suara bu Anne bertanya ke pada seseorang di
dalam rumah. Lirih suaranya terdengar pelan oleh Imey dari luar rumah.
Setiba
Imey di depan rumahnya. Sengaja Imey tak segera masuk, dia menghentikan
langkahnya di depan pintu rumahnya.
“Aku
lelah Ann, menasehati anak itu. Bukannya belajar yang rajin malah berkhayal
terus kerjaannya! Kau uruslah anakmu itu!” lantang suara seorang laki-laki. Pak
Baron ternyata si pemilik suara itu.
“Lebih
baik kau titipkan anakmu itu di rumah ibumu di Padang sana.” lanjut pak Baron
kemudian.
“Tapi
pak..”
“Sudah
kau pilih aku, atau anakmu!” belum lagi bu Anne selesai bicara, pak Baron
memberikan bu Anne pilihan yang sulit.
“Sudah
bu, lebih baik aku saja yang tinggal di rumah nenek.” Imey menerobos masuk dan
memberikan jawaban atas pertanyaan pak Baron pada bu Anne.
“Tapi,
Mey.” naluri keibuan bu Anne tersentuh. Bu Anne berat bila harus terpisah dari
anaknya.
“Tak
mengapa, bu. Aku kan
tinggal di rumah nenek. Percaya sama aku, bu. Aku akan baik-baik saja.” Imey
mencoba menenangkan ke gundahan ibunya.
Pak
Baron hanya terdiam mendengar semua itu.
Semenjak
kejadian itu Imey mengurusi kepindahan sekolahnya dari Jakarta
ke kota tempat tinggal neneknya di Padang .
@@@
Imey
merasa senang tinggal di Padang .
Sekolahnya tak jauh dari rumah neneknya. SMU Bakti Kencana, tempatnya menimba
ilmu kini. Teman-teman barunya pun sangat ramah padanya. Di rumah neneknya, dia
hanya tinggal berdua di rumah neneknya. Saudar-saudara ibunya sudah punya
tempat tinggal masing-masing. Imey jadi lebih fokus menulis. Tak ada yang akan
memarahinya. Neneknya, nenek Atik amat sayang padanya.
Sebulan
telah berjalan. Pengumuman lomba menulis yang beberapa waktu lalu di ikutinya
di umumkan hari ini. Di bukanya layar laptopnya. Di ejanya satu persatu nama
yang tertera di note penyelenggara lomba. Ada
sebuah nama yang membuatnya bahagia.
Imey
Priscillia. Ya, itu namanya. Imey berlonjak kegirangan. Namanya masuk ke dalam
daftar para pemenang yang naskahnya akan di bukukan. Itu berarti pundi-pundi
uang akan mengalir ke kantongnya. Walau tak seberapa, lumayanlah, untuk ukuran
kantong anak seusianya.
“Yii
haa!” tak sadar Imey melompat sambil mengacungkan telunjuk ke udara. Kelakuan
Imey membuat nenek Atik geleng-geleng kepala.
“Ada apa Mey?” tanya nenek
Atik heran melihat tingkah cucunya.
“Eh
nenek, ini naskahku lolos lomba nek.” tersipu Imey menjelaskannya.
“Alhamdulillah
dong. Masa yii haa!” saran nenek Atik.
“Hehehe..
Iya, nek.” sahut Imey.
Mulai
saat itu Imey jadi tertantang untuk lebih giat menulis dan mengirimkan
naskah-naskah tulisan ke redaksi, atau pun ajang lomba. Sayangnya keberuntungan
belum berpihak lagi padanya. Puluhan naskah yang di kirimnya tak ada satu pun
yang di terima media.
“Apa
yang salah ya?” pikir Imey. Di putar otaknya mencari jawab. Imey membuka layar
laptopnya googling mencari jawab. Tapi hasilnya? Tak memuaskan!
Terlempar
Imey pada nasihat ibunya beberapa waktu lalu.
“Asal
semangat yang tak boleh hilang dari dirimu.”
“Ya,
semangat! Semangat belajar, belajar, dan belajar! Mencari pengetahuan tentang
menulis dari siapa pun. Demi perbaikan tulisanku di masa mendatang.” Tekad Imey
dalam hati.
“Penulis
yang tenar sekarang, entah sudah berapa kali, bahkan ratusan kali mengalami
penolakkan sebelumnya. Tapi mereka tetap semangat, hingga mereka dapat menuai
hasil kerja keras mereka sekarang.” Sebuah paragraph dalam artikel kepenulisan,
menyihir perhatiannya.
“Mengapa
mereka bisa, aku tidak bisa? Semangat!!” teriak hati Imey. Dibukanya layar MS
Word, dan mulai menuangkan ide yang tiba-tiba hadir.
***
Catatan:
Diangkat dari penggalan naskah novelet duetku bersama Uchi Yukito Charcit.
Telah mengalami revisi, disesuaikan dengan bentuk FF.
Cerpen Ria -
Ber Nenek Satu - Yanti Sipayung
Ber Nenek
Satu
“Bilangin
Ray, dia tu bukan level ku. Dia gak akan bisa nyaingin aku. Belagu banget. Pake
nyebarin selebaran mau jadi nomor satu segala. Gak nyadar ya jadi anak baru,
segitu sok nya.”
Sabina
geram. Bibirnya tak berhenti bergoyang sejak Vina, anggota ganknya melaporkan
keberingasan Samikem, siswa baru di SMA Pelita Terang, sudah menggelar kampanye
besar-besaran dalam pemilihan Ketua dan Wakil Ketua OSIS, yang kali ini akan
digelar sedemokratis mungkin..
“Udah
deh, kamu nggak usah sampe murka gitu. Bersaing secara jantanlah.” Ray menjawab
keluhan sahabatya. “Ups, salah. Kok jantan, kamu-kamu kan , betina semua,ya.” Ray mengikik.
“Kamu
sendiri pilih siapa? Aku, atau malah si Samikem jadul itu?”
Ray
cengar cengir. “Non blok.”
“Hu
kamu tu ya, giliran ada perlunya aja mau deket sama aku.” Tukas Sabina dengan bibir
yang maju sekian cm..
Benar
Bin, nggak salah. Aku ngotot pengin dekat sama kamu, emang punya tujuan. Pengin
ngambil ilmu dari otak encer kamu, Ray cekikikan dalam hati.
Mendapatkan
ilmu itu memang butuh pengorbanan. Seperti yang dilakukan Ray sekarang, rela
mendengar ocehan dan keluhan yang menyembur dari mulut Sabina sampai telinganya
terasa mual mau muntah. Tak apalah, asal setelah Sabina capek ber-rap di
telinga Ray, si judes itu mau mengajarkan Ray pelajaran Fisika yang tadi siang
diulas Bu Wike.
Sabina
memang terkenal berbibir panjang. Bukan karna giginya tonggos atau bibirnya
dower, tapi karna memang orangnya galak. Tak ada yang memungkiri kenyataan itu.
Andai saja dia berotak pas-pasan, berasal dari keluarga yang kurang mampu, rupa
tak membawa keberuntungan, bisa dipastikan dia minus teman. Tak mungkin ada
yang mau berteman dekat dengan dia.
***
“Ray,
pasti tau banyak tentang si Sabina, kan ? Sabina yang kelas XI IA5”
Ami,
panggilan kerennya Samikem, menanyakan keberadaan salah satu saingannya di Pemilihan
Ketua OSIS kepada Ray.
“Emang
kenapa?”
“Seingat
Ami, Ami gak pernah buat yang nggak-nggak sama dia, tapi kok dia suka jutek
gitu ya, kalo lagi berpapasan sama Ami?
Ray
mandangin wajah lugu Ami. Ada
rasa iba muncul di dasar hatinya.
“Emang
kamu diperlakukan kaya’ gimana sama dia?”
Ami
mengedikkan bahunya.
“Gak
gimana-gimana, sih. Cuma kan
nggak enak kalo tiap ketemu bawaannya ribut melulu, sindir-sindiran, pake
ejek-ejekan nama segala. Karena… katanya namaku jadul banget, tradisionil, gak
up to date gitu.”
“Kamu
ngelawan?”
“Ya,
Ami kan
manusia biasa yang punya batas kesabaran, nggak bisa diem and ngalah aja. Ya
Ami lawan lah sebisa mungkin.”
Ray
tersenyum mendengar penuturannya.
“Apa
salah kalau Ami juga berambisi jadi ketua? Nggak kan , Ray? Setiap orang punya hak untuk
mencalonkan diri. Lagian, Ami juga pe-de karena didukung teman-teman. Mereka
bilang Ami pasti bisa. Dan ketika Ami fikir-fikir dan konsultasi dengan
keluarga, mereka juga mendukung. Menurut kamu sendiri, Ray?”
“Ya.
Aku juga ndukung. Kamu bagus, Sabina juga. Begitupun dengan Oky, dan Candra.
Tinggal lagi persetujuan dari anak-anak semua, pilih siapa. Pesanku,
bersainglah dengan benar.”
Ami
menghela nafas menyimpan ketidakpuasan dengan jawaban sahabatnya Ray. Kenapa
Ray yang selalu mengemis minta diajarkan pelajaran MM gak membelaku, fikirnya.
***
Ray
memang tak akan pernah setuju dengan terpilihnya Sabina atau Ami kelak. Walau
Ray berhutang banyak ilmu sama mereka, tapi Ray sangat berharap mereka kalah,
dan lebih bersuka jika pemegang tampuk pimpinan organisasi terbesar di sekolah
itu, adalah Oky. Selain terkenal disiplin, aktif, ia juga berjiwa pemimpin.
Terbukti kepemimpinannya di Divisi Sport selama satu tahun ajaran ini yang
begitu pesat berlari perkembangannya. Dan yang turut membuat Ray condong kepada
Oky, tak luput dari calon wakil yang akan berpasangan dengannya. Lintang. Sama.
Minus cacat alias aib. Beda dengan Sabina dan Ami. Keduanya memang bagus untuk
jadi ketua, tapi ketika melihat bakal orang kedua di tampuk pimpinannya nanti,
sepertinya Ray kurang sreg.
Keduanya
sama-sama pintar, pun sama-sama keras kepala. Sabina, Ray sudah cukup tua
mengenalnya. Mereka satu sekolah sejak SMP. Sedangkan Sabina, pindahan dari
Wonogiri. Ray baru mengenalnya enam bulan lalu. Kebetulan dia ditempatkan
sekelas dengan Ray. Karena daya tangkapnya yang luar biasa di semua mata
pendidikan, Ray berusaha mendekati, menjadikannya sebagai sahabat. Sama dengan
Sabina dan teman-teman lain yang berotak encer, Ray mengincar tertularnya virus
IQ excellent mereka. Biar aku juga memiliki daya tangkap dan ingatan yang
super, seperti Sabina dan Ami alias Samikem, fikir Ray.
***
“S
A M I K E M. Saatnya Ami MemImpin, Kita Esok Maju.”
Ray
tersenyum sambi menggeleng-gelengkan kepala dengan selebaran yang baru saja dibacanya.
Terpampang wajah hitam manis memamerkan senyum khas ala tanah asalnya. Terukir
dengan jelas rangkaian pandangan, visi dan misinya di organisasi yang akan
diketuainya. Semua itu dibungkus dengan kalimat-kalimat yang rapi dan bijak.
Sempurna.
Maju
sekitar sepuluh langkah,
PILIH YANG
BENAR-BENAR CAKAP DAN TELAH DIKENAL.
S A B I N A.
Smart,
IQ diatas rata-rata, ulet, pekerja keras, berjiwa pantang menyerah, cantik,
plus telah berstatus sebagai pelajar sekolah ini sejak TK.
Mana
ada yang kaya’ dia. Siapa lagi kalau bukan SABINA.
So,
jangan lupa, ya. Centang SABINA, jangan yang lain.
Kembali
Ray tersenyum sendiri. Dalam hati, Ray hanya bisa berdo’a. Semoga jika memang
Tuhan mentakdirkan salah satu sahabatnya itu jadi pemimpin, mereka benar-benar
giat bekerja dan mampu membuktikan segala macam janji yang telah diumbar
sepanjang masa kampanye.
***
Suasana
masih tenang. Usai penghitungan suara pada pemilihan Ketua OSIS, hanya ada
beberapa anak-anak di sepanjang koridor yang membicarakan kemenangan mutlak Oky
dan Lintang. Semua heran, kenapa nyaris seluruh siswa memilih Oky, padahal
kampanye Oky tidak segempar kandidat lain. Janji yang dilontarin tak semerdu
janji saingan-saingannya. Tapi kenapa warga SMA Pelita Terang lebih menyokong
Oky.
Mungkin
semua siswa sudah paham betul bahwa memilih seorang pimpinan bisa dilihat dari
kemampuan, sikap dan kebiasaanya selama ini, bukan dari janji manis yang
disembur dan kebaikan yang biasa ditebar di masa kampanye. Lebih jauh mereka
pasti sudah mericek semua kandidat yang ada dan memilih yang terbaik untuk
dinobatkan menjadi ketua.
“Ray,
Ray… Woi… Rayhana…”
Terlalu
kencang suara itu. Tak perlu berteriak, Ray juga pasti bisa mendengarnya. Emang
aku pekak apa, Ray menggeretu.
Linda
berlari-lari memegangi dadanya.
“Dua
sobat kamu lagi berantem tuh di jalan.”
“Ha?”
Mulut Ray menganga. Untung jadwal penerbangan semua jenis lalat sedang kosong
di dekat Ray. Kalo tidak, bisa kehilangan kontak tuh lalat.
“Ya.
Ami ama Sabina udah mau ngeluarin jurusnya masing-masing di depan gerbang. Mana
Satpam gak tau kemana lagi rimbanya. Kalo bisa kamu kesana deh, Ray. Dua-duanya
kan sobat
kamu, kali aja mereka mau ndengerin kamu. Nih aku mau ngelaporin tragedi yang
mencekam ini sama guru.”
Ray
berlari sekencang jetsky.
“Gawat…
gawat… Bawa ke Klinik! Cepat!”
Ray
mendengar suara itu sangat jelas. Menoleh ke arah asal suara, kedua wanita yang
menjadi bandar pemasok ilmu gratisannya itu telah dibopong menuju UKS.
“Bukannya
tadi mereka baik-baik aja usai penghitungan suara?”
“Ya.
Keduanya kelihatan sportif mengakui kekalahan. Tapi gitu nyampe di luar, kok
pada jontok-jontokan.” Lily yang menjawab.
“Si
jadul tu yang duluan, pake lirak lirik Sabina, muke diperungutin kaya’ jeruk
purut.” Rere, sahabat Sabina yang jawab.
“Huuu,
Sabina tu yang pake nyamber Ami duluan. Mana…”
“Husssh…
Udah… Gak usah pake nyalah-nyalahin segala. Ntar malah makin ribut. Kalian pada
bonyok-bonyokan juga.” Ray membentak semua orang di hadapannya.
“Panggil
orangtuanya!” Bu Mimi, guru BP memerintahkan asistennya dengan wajah sedikit
panik.
Ray
mandangin sekujur tubuh mereka yang terhampar keletihan. Mereka pingsan setelah
adu mulut berlanjut adu otot.
“Sabina…”
Seorang
wanita paruh baya lari dan menjerit ingin segera memeluk tubuh yang masih tak
berkutik itu. Bu Tini, Mamanya Sabina.
“Sabina,
bangun… “ Jeritnya pilu. “Kenapa bisa jadi gini, Bu?”
Bu
Tini mencari jawaban perihal pingsannya buah hatinya kepada Bu Mimi tanpa
berhenti mengguncang tubuh anaknya yang belum sadarkan diri.
“Ami….”
Satu
suara cempreng menyembul kian membuat onar ruangan sempit itu.
“Ami,
ada apa to, nduk? Kenapa sampe lebam-lebam gini wajah ayu kamu?”
Bu
Tina, Ibunya Ami menyeruak dari keramaian langsung menciumi anaknya.
Semarak.
Seperti ada festival menangis paling merdu di ruangan itu. Kedua wanita itu
seolah tak peduli sedang ada dimana, tengah ditonton massa .
Tapi
ada hikmahnya juga, teriakan dan tangis dua Ibu yang menyesakkan telinga itu
akhirnya membangunkan Sabina, juga Ami. Kompak mereka terbangun dari pingsannya
yang cukup menggemparkan seisi sekolah.
“Tuh,
Ma orangnya yang buat Sabina jadi gini.”
Sabina
mengarahkan telunjuknya tepat ke wajah Ami yang ada di pelukan Ibunya.
Tanpa
dikomando, langsung saja Bu Tini beringsut hendak meminta pertanggung jawaban
Ami.
“Hey..
Kaaa…mu???”
Semburan
dari mulut yang sudah siap dimuntahkan tiba-tiba ditelan lagi.
“Yu’
Tina…”
“Tini?”
Seisi
ruangan ditambah penonton yang mengintip dari luar ruangan yang sudah siap
sedia melihat pertunjukan yang menghebohkan dibuat terpana oleh dua pasang anak
beranak disana. Bagaimana tidak, wajah yang tadinya dipenuhi api kemarahan,
spontan hilang berganti peluk mesra dan tangis penuh rindu yang mengharukan.
Ami
dan Sabina saling pandang tak mengerti. Keduanya baru paham setelah kedua Ibu
itu saling melepas pelukan.
“Sabina,
ni kakak kandung Mama. Bude kamu. Namanya Ngatina.”
“Bener,
Mi. Ini Bule’ kamu, Bule’ Ngatini.”
Seribu
tawa membahana diantara sejuta malu yang kini menempel di diri Ami dan Sabina.
Bu
Tina dan Bu Tini, kakak beradik yang sudah lama terpisah oleh gempa yang
terjadi 20 tahun silam. Keduanya lama tak mendengar kabar berita. Bu Tina
diadopsi sebuah keluarga di luar ke daerah karena orang tua mereka menjadi
korban keganasan gempa. Enam bulan lalu suaminya mengajak pindah ke Jakarta untuk
mengembangkan usaha.
Sedang
Bu Tini, karena luka-luka yang sangat parah dievakuasi ke Jakarta . Begitu keadaannya pulih, dia kembali
ke kampung halamannya. Namun begitu pilu rasa hatinya ketika dia tiba di tanah
kelahirannya, tak ada seorangpun yang ia jumpai yang bisa memberikan kabar
perihal keluarganya berdomisili kini. Karena tak menemukan sisa-sisa
keluarganya, diapun kembali memutuskan kembali ke Jakarta
dan bertemu jodoh di kota
yang terkenal dengan kemacetannya itu.
“Bilangin
donk, Bule’ sama dia, jangan suka ngejekin nama Ami.”
Ami
masih terlihat sewot walau mereka telah saling berjabat tangan atas perintah Bu
Tini dan Bu Tina.
“Eh,
kamu kok ndak jalanin wasiat Mbok to, dek?”
Bu
Tina memandangi serius wajah adiknya.
“Emang
wasiat Mbah apaan, Bu?”
Ami
tak kalah serius pengin tahu.
“Mbah
kamu berwasiat, anak perempuan sulung Ibu dan bule’ kamu harus dinamain sama
dengan nama si Mbah, Samikem. Biar keturunan-keturuannya Mbah tetap inget sama
Mbah.”
Bu
Tini senyum mengulum tawa. Malu.
“Ndak
Yu’. Aku tetep njalanin wasiatnya Mbok kok. Nama anakku memang Sabina, tapi itu
kependekan dari Samikem binti Nardi. Maksudnya, biar keren gitu, Yu’.”
Beberapa
orang yang masih setia dengan drama komedi gratisan itu tak sanggup menahan
tawa sambil mengelengkan kepala.
***
Ray
kini berada diantara dua wanita yang membuatnya bingung. Saling berdebat dengan
rumus dan teori yang mereka analisa. Sungguh mengagumkan kemampuan keduanya.
Sekonyong-konyong Ray menjadi kecil dan merasa tak ada apa-apanya dibanding
kepiawaian otak jenius mereka.
“Hei,
udah nyampe mana sih? Aku nggak ngerti tau’?”
“Ih
ni anak, orang tu udah nyampe di bulan, kamu masih mandangin aja dari bumi.”
Ray
tak tersinggung dengan ejekan Sabina. Semua sudah hafal dengan tingkah bibirnya
yang suka asal bicara.
“Eh,
Bina. Allah tu nggak Maha Kuasa kalo semua ciptaannya pintar-pintar. Ada yang pintar atau sebaliknya itu membuktikan Maha
Kuasanya Dia. Tul, kan
Ray?”
Ray
tersenyum kecut. Syukurlah Ami masih mau membela.
“Eh,
tapi aku terkesan lo Ray, sama omongan kamu kemarin tentang kita.”
Sabina
merapatkan duduknya dengan Ray sahabatnya dan Ami yang ternyata adalah
sepupunya.
“Kemarin
kamu bilang, seandainya aku dan Ami berpasangan di pemilihan Ketua OSIS dan
wakilnya, bisa jadi kita pemenangnya. Tapi karena kita ngerasa paling mampu…”
“Iya,
Ray bener.” Ami menyambung. “Seandainya dari awal kita sadar, bahwa kita semua
saudara, berasal dari nenek dan kakek yang satu, kita nggak akan pernah
berantem dan saling memburukkan. Pake saling ngejek asal usul segala lagi,
padahal ternyata… kita…ber nenek satu.”
###
CERPEN RIA-
GAMIS IMPIA N
- Viona
Novelia
Gamis itu terpajang di manekin-manekin pusat pembelanjaan. Zafi tak henti
memandangi gamis itu. Ia sangat ingin memakai gamis, namun postur tubuhnya yang
gemuk dan pendek, membuatnya kurang percaya diri memakai gamis, karena akan
terlihat seperti ibu-ibu. Beragam mode gamis tersebar di pasaran,.Program
dietpun sudah dicobanya, agar tubuhnya proposional, namun entah kenapa tidak
berhasil juga. Kebiasaan Zafi yang suka ngemil hanya bisa dihentikan
untuk beberapa hari, entar kalau sudah stess lagi, pola makannya akan
meningkat, dan faktanya Zafi keseringan dilanda stess dari pada diet.
Suatu malam di kost, para penghuni pada ribut menyambut kehadiran Yenni yang
baru pulang dari Jakarta .
Suasana lebaran masih terasa, kue-kue dari kampung bertumpuk di toples
besar, Yenni membawa oleh-oleh dari kampungnya, kampung Yenni di Jakarta, di
daerah Tanah Abang, toko grosir terbesar di Indonesia.
“Akhwat
afwan ya…Yeyen hanya bisa bawa ini” Yenni membuka kardus yang belum diketahui
isinya.
“Uwaah….gamis…ini
buat kita Yen” Pekik Farah langsung memungut salah satu gamis bermotif bunga,
ia meraba dan meremas gamis tersebut, merasakan dengan jiwa, begitu pendapat
Farah sebagai orang yang mengaku bertipe kinestetis.
“Dingin
dasarnya Yen, bagus” Celetuknya kemudian. Yeyen tersenyum senang, hatinya
merasa sejuk, karena barang yang dibawanya disukai saudarannya itu.
“Silahkan
di pilih aja Wat, tapi jangan rebutan ya..” Ujar Yeyen berlalu ke belakang, ia
kehausan, karena tidak ada akhwat yang tanggap, ia pun harus mencari
pelepas dahaganya sendiri.
Kost
Zafi dihuni oleh sepuluh orang gadis berjilbab lebar, yang biasa di panggil
akhwat, Yeyen adalah salah satu akhwat yang selalu pakai gamis ke kampus,
katanya lebih nyaman, dan lebih tertutup. Pada masa saat ini, telah berkembang
berbagai mode busana muslimah, salah satunya model gamis yang telah trend, kaum
wanita saat ini telah kembali mempopulerkan gamis. Zafi juga merasakan aura
ketertarikannnya pada gamis, namun ia tidak PD, karena ia tak terlihat anggun
dengan bergamis, bahkan ibunya sendiri menertawakannya ketika Zafi iseng
mencoba gamis kakak iparnya. Zafi mengambil sembarang gamis yang di
hadiahkan Yeyen , ia tidak tertarik, namun untuk menjaga perasaan Yeyen iapun
tersenyum menerima Gamis orange itu.
“Hm…kenapa sich…aku harus bertubuh gemuk kayak gini” Sesal Zafi menatap dirinya
di dalam kaca. Zafi mengambil gamis orange yang tergeletak berantakan di atas
kasurnya, ia mencoba memakainya. Buntelan lemak diperut , dan di pangkal
lengan, serta pinggulnya yang lebar, benar-benar membuatnya tak enak di pandang
kalau memakai gamis itu. Zafi merasa iri pada wanita-wanita berjilbab, yang
tampak anggun mengenakan gamis. Ia ingin suatu hari ia akan bisa tampak anggun
juga dengan gamis impiannya. Zafi menghempaskan tubuhnya di kasur, ia
menerawang, membayangkan dirinya tampak anggun memakai gamis kehijauan.
“Hey….lagi berkhayal ya? ayo lagi khayalin siapa?” Kehadiran Farah membuyarkan
imajinasi Zafi, Zafi bersungut jengkel. “Ciee..Zafi pandai ngambek juga
ternyata” Canda Farah mencubit pipi Zafi yang cubby. “Ada apa sich, sakit tahu ” Cetus zafi
mengelus-ngelus pipinya, emang dasar Farah nggak ngerti sikon ia malah makin
menjahili Zafi.
“Eh…kamu
pake gamis??” Celetuk Farah sadar Zafi terbaring dengan gamis orangenya. “Aku
cuma coba aja tadi, siapa tahu muat” ujar Zafi lemah. Farah tahu apa yang
sedang dipikirkan Zafi, rona wajah yang tiba-tiba murung menggambarkan
suasana hati Zafi saat ini.
“
Coba aku lihat…..ayo berdiri…..” Tukas Farah membantu Zafi yang masih enggan
berdiri.
“Ayo…!
kamu cantik kok, pakai gamis” Lanjutnya, membuat Zafi tersenyum cuek, meskipun
Farah sering menyebalkan, ia juga senang membuat Zafi besar kepala, dengan
ucapan lembutnya yang tak sesuai fakta.
Zafi pun berdiri dengan malas, Farah menilai layaknya seorang juri busana, ia
mengangguk-angguk. “Bentar ya….” Lanjutnya sambil berlalu. Zafi tak
menghiraukannya.
“Nah….ini
pasti cocok buat kamu, mungkin gamis orange ini hanya kekecilan, jadi
kelihatannya badan kamu nggak proposional, coba yang ini dech, ini ukurannya
lumayan besar” Ujar farah menyodorkan gamis bewarna merah tua. Kalau soal
paduan warna, Zafi tak perlu khawatir, kulit kuning langsatnya cocok dengan
warna apa saja. Zafi menuruti pinta Farah, ia memakai gamis yang di sodorkan
Farah.
“Nah…ini kan
pas, ayo pake jilbabnya, pasti tampak serasi” Ujar Farah bersemangat. Suasana
hati Zafi berangsur-angsur pulih, ia merasa nyaman dengan pujian Farah, ia
merasa di perhatikan, Farah mendandandaninya, ia terus memuji Zafi, farah juga
memberikan masukan saran, agar Zafi lebih mengatur pola makan dan olahraga.
“Hm…apakah Farah nggak bohong, aku juga cantik kalau pakai gamis?’ bathin Zafi
merenung ketika Farah tidak mendandaninya lagi, ia mengamati dirinya yang
memakai gamis merah tua itu,memang tampak lebih kurus, buntelan yang tadi
terlihat jelas, tertutup oleh warna gelap gamis. Zafi tersenyum, ia telah tahu
bagaimana mensiasati dalam memakai gamis, bila tak ingin tampak gemuk.
Kesokan harinya ia kembali menjalani aktivitas kampus yang menunggu di
selesaikan. Ia menikmati pemandangan langkah akhwat yang tampak anggun memakai
gamis dan jilbab lebarnya. Hari ini Zafi berencana untuk mencari gamis yang di
inginkannya, dengan senyuman besar harapan, ia tak sabar untuk segera pergi ke
pusat pembelanjaan, danm membeli gamis yang hanya bisa dipandanginya beberapa
waktu yang lalu. Sekarang hatinya sudah mantap untuk segera memmbeli gamis.
Jam kuliah usai, Zafi merapikan buku-bukunya, seorang wanita berjilbab
menghampirinya. “Hai…Fi, kita ke perpustakaan Yuk…” Ajaknya lembut penuh harap.
“Hah???,
afwan Tri aku ada agenda mau ke pasar hari ini” Ujar Zafi menolak halus.
“Harus
setelah ini perginya Fi, sebentar aja kita ke perpustakaannya, Cuma ngembaliin
buku aja Kok, mau ya…!” Bujuk Tria merajuk. Sebenarnya bukan hanya semangat
besarnya untuk segera sampai di pasar yang membuat Zafi enggan menemani Tria,
tapi letak perpustakaan yang sudah jauh, dilantai tiga pula, Zafi sering
kehabisan nafas setelah tangga terakhir.
“Hm..maaf
Tria sayang, aku harus segera ke pasar, karena ini menyangkut harapan
seseorang, aku pergi ya…” Ujar Zafi berjalan meninggalkan Tria yang hanya
melongo bingung dengan sikap zafi yang tak seperti biasanya. Zafi menghirup
nafas lega, pikirannya seakan sudah membawaanya ketempat pusat perbelanjaan
itu, ia menyetop angkot, di atas angkot Zafi senyum-senyum sendiri, ia
membayangkan dirinya berjalan anggun di koridor kampus, memakai gamis ungu
polos, berbordir di pinggir lengan, plus jilbab ungu muda yang mencerahkan
wajahnya. Ia membayangkan semua mata tertuju padanya, parahnya ia
mengimajinasikan para mahasiswa akan terjatuh karena matanya pada meleng ke
Zafi, dengan iseng Zafi membayangkan ikhwan yang di kagumi akan terpesona
memandangnya.
Setengah jam angkot tiba di Pasar Raya, Zafi telah tahu tempat yang akan
dituju, sebuah pusat perbelanjaan yang ada di kota itu. Zafi menuju sebuah toko yang khusus
menjual busana Muslimah yang sedang trend.
“Ada yang bisa dibantu
Mbak, coba liat kedalam dulu Mbak, barangnya baru datang tadi, apalagi gamisnya
sudah bervariasi, sedang trend lho Mbak…..ba..bi..bu….”
“Apa
yang dicari kak, liat dulu, mana tahu ada yang Kak cari bla..bla…” Celoteh para
penjual membuat Zafi hanya melempar senyum maklum, ia terus menuju toko yang
dicarinya, toko busana muslimah yang dicarinya adalah milik kakak sepupunya,
letaknya memang agak jauh kebelakang, namun itu bukan kendala baginya untuk
bisa mendapatkan gamis impiannya.
Akhirnya
ia sampai di toko yang ditujunya, toko itu sedang ramai sekali, Zafi paham
karena toko itu memang selalu ramai pengunjung, karena di toko ini tidak ada
tawar menawar, kualitas barang dan kualitas harga telah terpercaya, apalagi
barang-barang itu di jual dengan harga yang pas dan terjangkau, tidak perlu
tawar menawar yang ribet dan memusingkan.
“Hai
Fi, baru datang, silahkan di lihat-lihat mana yang disuka” Sambut seorang
pegawai toko itu tersenyum dengan manis. Zafi membalas senyum itu, matanya
sibuk meraba-raba gamis-gamis yang terpajang pada patung manekin di toko itu.
Tiba-tiba matanya tertumbuk pada gamis yang terpajang di ujung toko. Gamis
bewarna hijau zamrut, dengan sulaman benang sutra di pinggir tepi bawahnya.
Zafi merabanya, ia kembali berkhayal membayangkan dirinya sedang memakai gamis
hijau itu. Ia tersenyum-senyum sendiri.
“Hm….maaf Mbak…gamis ini sudah ada yang pesan” Tiba-tiba sebuah suara
mengejutkan Zafi, wajahnya tiba-tiba memerah ketika melihat sosok yang
membuyarkan khayalannya. Seorang lelaki yang amat di kenalnya, teman
sejurusannya, walau tidak pernah sekelas, Zafi hanya tahu wajah yang didepannya
pernah dilihatnya di jurusan, itulah yang membuatnya beranggapan lelaki itu
sejurusan dengannya.
“Hah….sudah
ada yang pesan???” tanya Zafi kecewa, mukanya berlipat bibirnya manyun.
“Kok bisa???” Seru Zafi terus memegang gamis yang telah mencuri hatinya. Lelaki
itu hanya memandang zafi dengan tatapan bingung, karena ia juga di suruh
kakaknya untuk mengambil gamis hijau itu, kakaknya telah memesan terlebih
dahulu, tapi lewat telphon saja. Lagipula ia juga juga nggak minat bercerewet
ria meladeni gadis yang didepannya.
“Hm…tapi ini sudah dipesan kakak saya kemaren” Ujar lelaki itu.
“Hah??
Kemaren? kalau udah dipesan kemaren kenapa masih di pajang disini, lagipula
mungkin kamu salah gamis kali, mungkin saja pesanan kakak kamu udah di sediakan
toko, coba tanya dulu pada pegawai tokonya” Celoteh zafi memberikan beberapa
pandangan agar lelaki itu secara halus, ia sudah sangat tertarik dengan gamis
itu, ia ingin memilikinya. Lelaki itu tampak berpikir, sepertinya ia tipikal
yang tidak suka konflik, iapun mmenanyakan pada salah satu pegawai toko, dan
merekapun tampak berbincang, di akhir obrolan terlihat pegawai itu memberikan
sebuah bungkusan, dan lelaki itu menyodorkan dua lembar seratus ribuan. Zafi
mengambil nafas lega. Ia pun mengambil gamis itu dan membayar pada kasir.
Kebahagiaan tak bisa dituliskan dengan kata-kata, Zafi tampak sangat bahagia,
ia tidak sabar ingin memakai gamis, dan memperlihatkan pada teman-temannya di
kampus.
Keesokan paginya, Zafi sengaja mandi pagi-pagi, ia ingin menciptakan model
jilbab, sesuai dengan model jilbab yang dilihatnya di majalah kemaren. Ia
tersenyum di kaca, memperhatikan penampilannya dari ujung kaki sampai ujung
rambut, ia tak lagi melihat buntelan lemak diperutnya, warna gelap menyamarkan
kegemukannnya. “Subhanallah Fi, kamu cantik banget…” Teriak Farah terbelalak,
ia melihat zafi dengan penampilan berbeda pada pagi ini. Mendengar pujian itu
Zafi serasa melambung tinggi ke awan, percaya dirinya muncul dengan berapi-api,
mengambang. Ia pun melangkah keluar rumah, di jalan ia tak henti-hentinya
menebar senyum pada orang lewat, kecuali pada mahasiswa yang juga sedang
memakai jalan. Zafi hanya menunduk menyimpan senyum, harapan dilirik muncul di
hatinya. Setiba di kampus ia bergabung dengan teman-temannya. Kesibukan membuat
PR dari dosen membuat Zafi harus menelan ludah karena tidak ada yang
komentar dengan penampilannya hari ini. Hal aneh terjadi ketika didalam kelas,
teman-temanya melirik Zafi, kemudian melempar senyum aneh adanya, awalnya zafi
tak peduli, karena ia kira teman-temannya sedang menikmati pesonanya bergamis
hari ini, alias kagum.
“Hm….tahu
nggak, tadi Zafi pakai gamis lho, tapi aku segan juga” Ujar salah seorang
mahasiswi di dalam kamar mandi.
“ Segan kenapa??” Tanya Saira penasaran.
“Hm…ya
segan aja, kalau Zafi itu nggak cocok pakai Gamis, tubuhnya yang gemuk akan
membuatnya seperti ibuk-ibuk rumah tangga saja” Tukas Sasya berbisik.
“Husss…kamu
jangan bicara begitu, nanti kalau orangnya dengar gimana??” Tanggap Saira
menasehati. “Yuks…kita ke kantin, aku udah lapar nich…” Ujar Saira ketika
mereka sudah selesai.
Zafi
menahan sesak didadanya, kalimat itu terngiang-ngiang berulang dalam benaknya,
ia mendengar semua ucapan Saira dan Syasa, ia sedang didalam toilet, ia kecewa
dan benci pada teman-temannya, kenapa begitu tega membicarakannya dibelakang.
Zafi lebih sedih lagi ketika mendengar tanggapan mereka tentang gamisnya. Ia
kehilangan rasa percaya diri yang beberapa hari ini membuat hari-harinya serasa
berarti, rasa sesal memenuhi fikirannya, ia menyayangkan Allah, kenapa harus
menciptakannya dengan tubuh seperti ini, ia menangis menyesali dirinya sendiri.
Ia tak sanggup kuliah, ia tak kuat jika harus melihat wajah teman-temannya yang
melongo heran melihat penampilannya, ia benar mati gaya .
Setiba di kost, ia langsung masuk kamar, badannya panas, hatinya bercampur
aduk, ucapan Sasya dan Saira yang tak sengaja didengarnya tadi, kembali
terngiang di telingannya, ia mencaci maki diri sendiri. :Hm…aku memang bodoh,
udah jelas badan bongsor, masih PD ingin tampil cantik pakai gamis, aduh Fi,
seharusnya kamu kubur aja dalam-dalam impian kamu untuk bisa pakai gamis itu”
Bisikan syetan membuatnya bertambah rendah diri.
bIa
membuka gamis itu, ia lempar sembarang tempat. “Hah..kenapa aku harus
menpermalukan diriku seperti ini, Dasar gamis sialan, aku nggak mau lagi pakai
gamis…Ya..Allah aku nggak mau punya tubuh besar kayak gini, aku mau mati
aja…aku malu….” Teriak zafi nggak jelas, ia menangis tersedu-sedu. Farah yang
sedang lewat didepan kamar Zafi merasa heran, ia pun masuk menghampiri zafi
yang menangis ditutup bantal.
“Fi,,,kamu kenapa..” tanya Farah lembut. Tangis Zafi makin menjadi, ia
sesegukan menahan tangis.
“Fi….ada apa….kamu bisa cerita ama aku, jangan pendam sendiri, entar kamu sakit
Fi” Bujuk Farah mengelus pundak Zafi, tiba-tiba Zafi bangun dari tangisnya,
rambutnya acak-acakan.
“Hug….kenapa kamu bohong sama aku Ra..kenapa???” Tukas Zafi membuat Farah
bingung, matanya merah menyulut kemarahan.
“Apa maksud kamu Fi, bohong kenapa???” Kata Farah menanggapi. Zafi tampak
kusut, pikirannya telah dipengaruhi asutan syetan, masalahnya sedang mencari
mangsa pelampiasan, dan Farah menjadi sasarannya.
“Kamu
bohongi aku, kalau aku cantik pakai Gamis, tapi apa?? itu hanya mempemalukan
aku didepan teman-temanku, aku malu Ra, mereka bilang dibelakang aku kalau aku
kayak ibuk-ibuk, badan bongsor nggak cocok pakai gamis, aku nggak sanggup
lagi rasanya kuliah, aku benci diriku ini, kenapa aku nggak bisa nahan hasratku
untuk pakai gamis, kenapa aku harus punya impian yang ntah kapan aku wujudkan,
aku benar-benar bodoh…bodoh….hggg….” Zafi menceracau, ia makin merintih lirih,
Farah mengerti bagaimana perasaan Zafi sekarang , perasaan yang terluka karena
harapannya tak sesuai dengan asumsinya, kecewa karena teman-temannya bicara
dibelakangnya, Farah menatap Zafi dengan kasihan.
“Aku
nggak bohong bilang kamu cantik Fi, siapa bilang gamis membuat kamu seperti
anggapan mereka, mereka hanya mengerti mode, dan menelan lumat-lumat mode yang
hanya mengagunkan keindahan luar , tapi nggak mengerti mamfaatnya, makanya
mereka hanya menilai kamu dari segi luarnya aja, apa kamu nggak buang-buang
waktu aja termakan omongan mereka, tujuan kita pakai gamis adalah untuk menutup
aurat, agar terhindar dari dosa, bukan untuk pamer tubuh kan? bukan untuk
perlihatkan ke orang wah..aku anggun lho pakai gamis, kalau kayak gitu sama
saja kita tabaruj, tujuan agar dipuji oleh orang…itu adalah salah satu dosa
besar Fi” Ujar Farah menasehati dengan lembut. Zafi terdiam, ia merenung
kembali apa yang telah dilakukannya, apa tujuannya pakai gamis, ia menyesal
telah kecewa pada Allah, ia merasa berdosa karena telah menghujat tuhannya.
“Ya…Allah
betapa aku telah membuatmu marah, aku begitu bodoh teracuni oleh pikiran hanya
ingin di puji orang,Ya Allah ampuni aku, aku akan pakai gamis, terserah mereka
mau bilang apa, aku akan pakai gamis impianku, karena aku ingin keliahatan baik
di matamu ya Rabb” Desah Zafi memeluk Farah, ia terisak di pangkuan
Farah, ia berusaha melupakan ocehan teman-teman yang menyakiti hatinya, ia
sangat terluka, kegundahan membuatnya hanya ingin sendiri sekarang..untuk
selanjutnya ia belum tahu akan lakukan apa.
By
Viona Novelia
in
Inspiring Room, Oktober 2011 at 23.55 WIB
Gamis Impian
Oleh : Viona Novelia
Gamis itu terpajang di manekin-manekin pusat
pembelanjaan. Zafi tak henti memandangi gamis itu. Ia sangat ingin
memakai gamis, namun postur tubuhnya yang gemuk dan pendek, membuatnya
kurang percaya diri memakai gamis, karena akan terlihat seperti ibu-ibu.
Beragam mode gamis tersebar di pasaran,.Program dietpun sudah
dicobanya, agar tubuhnya proposional, namun entah kenapa tidak berhasil
juga. Kebiasaan Zafi yang suka ngemil hanya bisa dihentikan untuk
beberapa hari, entar kalau sudah stess lagi, pola makannya akan
meningkat, dan faktanya Zafi keseringan dilanda stess dari pada diet.
Suatu malam di kost, para penghuni pada ribut menyambut
kehadiran Yenni yang baru pulang dari Jakarta. Suasana lebaran masih
terasa, kue-kue dari kampung bertumpuk di toples besar, Yenni membawa
oleh-oleh dari kampungnya, kampung Yenni di Jakarta, di daerah Tanah
Abang, toko grosir terbesar di Indonesia.
“Akhwat afwan ya…Yeyen hanya bisa bawa ini” Yenni membuka kardus yang belum diketahui isinya.
“Uwaah….gamis…ini buat kita Yen” Pekik Farah langsung memungut salah
satu gamis bermotif bunga, ia meraba dan meremas gamis tersebut,
merasakan dengan jiwa, begitu pendapat Farah sebagai orang yang mengaku
bertipe kinestetis.
“Dingin dasarnya Yen, bagus” Celetuknya kemudian. Yeyen tersenyum
senang, hatinya merasa sejuk, karena barang yang dibawanya disukai
saudarannya itu.
“Silahkan di pilih aja Wat, tapi jangan rebutan ya..” Ujar Yeyen
berlalu ke belakang, ia kehausan, karena tidak ada akhwat yang tanggap,
ia pun harus mencari pelepas dahaganya sendiri.
Kost Zafi dihuni oleh sepuluh orang gadis berjilbab lebar, yang biasa
di panggil akhwat, Yeyen adalah salah satu akhwat yang selalu pakai
gamis ke kampus, katanya lebih nyaman, dan lebih tertutup. Pada masa
saat ini, telah berkembang berbagai mode busana muslimah, salah satunya
model gamis yang telah trend, kaum wanita saat ini telah kembali
mempopulerkan gamis. Zafi juga merasakan aura ketertarikannnya pada
gamis, namun ia tidak PD, karena ia tak terlihat anggun dengan bergamis,
bahkan ibunya sendiri menertawakannya ketika Zafi iseng mencoba gamis
kakak iparnya. Zafi mengambil sembarang gamis yang di hadiahkan Yeyen ,
ia tidak tertarik, namun untuk menjaga perasaan Yeyen iapun tersenyum
menerima Gamis orange itu.
“Hm…kenapa sich…aku harus bertubuh gemuk kayak gini”
Sesal Zafi menatap dirinya di dalam kaca. Zafi mengambil gamis orange
yang tergeletak berantakan di atas kasurnya, ia mencoba memakainya.
Buntelan lemak diperut , dan di pangkal lengan, serta pinggulnya yang
lebar, benar-benar membuatnya tak enak di pandang kalau memakai gamis
itu. Zafi merasa iri pada wanita-wanita berjilbab, yang tampak anggun
mengenakan gamis. Ia ingin suatu hari ia akan bisa tampak anggun juga
dengan gamis impiannya. Zafi menghempaskan tubuhnya di kasur, ia
menerawang, membayangkan dirinya tampak anggun memakai gamis kehijauan.
“Hey….lagi berkhayal ya? ayo lagi khayalin siapa?”
Kehadiran Farah membuyarkan imajinasi Zafi, Zafi bersungut jengkel.
“Ciee..Zafi pandai ngambek juga ternyata” Canda Farah mencubit pipi Zafi
yang cubby. “Ada apa sich, sakit tahu ” Cetus zafi mengelus-ngelus
pipinya, emang dasar Farah nggak ngerti sikon ia malah makin menjahili
Zafi.
“Eh…kamu pake gamis??” Celetuk Farah sadar Zafi terbaring dengan
gamis orangenya. “Aku cuma coba aja tadi, siapa tahu muat” ujar Zafi
lemah. Farah tahu apa yang sedang dipikirkan Zafi, rona wajah yang
tiba-tiba murung menggambarkan suasana hati Zafi saat ini.
“ Coba aku lihat…..ayo berdiri…..” Tukas Farah membantu Zafi yang masih enggan berdiri.
“Ayo…! kamu cantik kok, pakai gamis” Lanjutnya, membuat Zafi
tersenyum cuek, meskipun Farah sering menyebalkan, ia juga senang
membuat Zafi besar kepala, dengan ucapan lembutnya yang tak sesuai
fakta.
Zafi pun berdiri dengan malas, Farah menilai layaknya
seorang juri busana, ia mengangguk-angguk. “Bentar ya….” Lanjutnya
sambil berlalu. Zafi tak menghiraukannya.
“Nah….ini pasti cocok buat kamu, mungkin gamis orange ini hanya
kekecilan, jadi kelihatannya badan kamu nggak proposional, coba yang ini
dech, ini ukurannya lumayan besar” Ujar farah menyodorkan gamis bewarna
merah tua. Kalau soal paduan warna, Zafi tak perlu khawatir, kulit
kuning langsatnya cocok dengan warna apa saja. Zafi menuruti pinta
Farah, ia memakai gamis yang di sodorkan Farah.
“Nah…ini kan pas, ayo pake jilbabnya, pasti tampak
serasi” Ujar Farah bersemangat. Suasana hati Zafi berangsur-angsur
pulih, ia merasa nyaman dengan pujian Farah, ia merasa di perhatikan,
Farah mendandandaninya, ia terus memuji Zafi, farah juga memberikan
masukan saran, agar Zafi lebih mengatur pola makan dan olahraga.
“Hm…apakah Farah nggak bohong, aku juga cantik kalau pakai gamis?’
bathin Zafi merenung ketika Farah tidak mendandaninya lagi, ia mengamati
dirinya yang memakai gamis merah tua itu,memang tampak lebih kurus,
buntelan yang tadi terlihat jelas, tertutup oleh warna gelap gamis. Zafi
tersenyum, ia telah tahu bagaimana mensiasati dalam memakai gamis, bila
tak ingin tampak gemuk.
Kesokan harinya ia kembali menjalani aktivitas kampus
yang menunggu di selesaikan. Ia menikmati pemandangan langkah akhwat
yang tampak anggun memakai gamis dan jilbab lebarnya. Hari ini Zafi
berencana untuk mencari gamis yang di inginkannya, dengan senyuman besar
harapan, ia tak sabar untuk segera pergi ke pusat pembelanjaan, danm
membeli gamis yang hanya bisa dipandanginya beberapa waktu yang lalu.
Sekarang hatinya sudah mantap untuk segera memmbeli gamis.
Jam kuliah usai, Zafi merapikan buku-bukunya, seorang
wanita berjilbab menghampirinya.
“Hai…Fi, kita ke perpustakaan Yuk…”
Ajaknya lembut penuh harap.
“Hah???, afwan Tri aku ada agenda mau ke pasar hari ini” Ujar Zafi menolak halus.
“Harus setelah ini perginya Fi, sebentar aja kita ke perpustakaannya,
Cuma ngembaliin buku aja Kok, mau ya…!” Bujuk Tria merajuk. Sebenarnya
bukan hanya semangat besarnya untuk segera sampai di pasar yang membuat
Zafi enggan menemani Tria, tapi letak perpustakaan yang sudah jauh,
dilantai tiga pula, Zafi sering kehabisan nafas setelah tangga terakhir.
“Hm..maaf Tria sayang, aku harus segera ke pasar, karena ini
menyangkut harapan seseorang, aku pergi ya…” Ujar Zafi berjalan
meninggalkan Tria yang hanya melongo bingung dengan sikap zafi yang tak
seperti biasanya. Zafi menghirup nafas lega, pikirannya seakan sudah
membawaanya ketempat pusat perbelanjaan itu, ia menyetop angkot, di atas
angkot Zafi senyum-senyum sendiri, ia membayangkan dirinya berjalan
anggun di koridor kampus, memakai gamis ungu polos, berbordir di pinggir
lengan, plus jilbab ungu muda yang mencerahkan wajahnya. Ia
membayangkan semua mata tertuju padanya, parahnya ia mengimajinasikan
para mahasiswa akan terjatuh karena matanya pada meleng ke Zafi, dengan
iseng Zafi membayangkan ikhwan yang di kagumi akan terpesona
memandangnya.
Setengah jam angkot tiba di Pasar Raya, Zafi telah tahu
tempat yang akan dituju, sebuah pusat perbelanjaan yang ada di kota itu.
Zafi menuju sebuah toko yang khusus menjual busana Muslimah yang sedang
trend.
“Ada yang bisa dibantu Mbak, coba liat kedalam dulu Mbak, barangnya
baru datang tadi, apalagi gamisnya sudah bervariasi, sedang trend lho
Mbak…..ba..bi..bu….”
“Apa yang dicari kak, liat dulu, mana tahu ada yang Kak cari
bla..bla…” Celoteh para penjual membuat Zafi hanya melempar senyum
maklum, ia terus menuju toko yang dicarinya, toko busana muslimah yang
dicarinya adalah milik kakak sepupunya, letaknya memang agak jauh
kebelakang, namun itu bukan kendala baginya untuk bisa mendapatkan gamis
impiannya.
Akhirnya ia sampai di toko yang ditujunya, toko itu sedang ramai
sekali, Zafi paham karena toko itu memang selalu ramai pengunjung,
karena di toko ini tidak ada tawar menawar, kualitas barang dan kualitas
harga telah terpercaya, apalagi barang-barang itu di jual dengan harga
yang pas dan terjangkau, tidak perlu tawar menawar yang ribet dan
memusingkan.
“Hai Fi, baru datang, silahkan di lihat-lihat mana yang disuka”
Sambut seorang pegawai toko itu tersenyum dengan manis. Zafi membalas
senyum itu, matanya sibuk meraba-raba gamis-gamis yang terpajang pada
patung manekin di toko itu. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada gamis yang
terpajang di ujung toko. Gamis bewarna hijau zamrut, dengan sulaman
benang sutra di pinggir tepi bawahnya. Zafi merabanya, ia kembali
berkhayal membayangkan dirinya sedang memakai gamis hijau itu. Ia
tersenyum-senyum sendiri.
“Hm….maaf Mbak…gamis ini sudah ada yang pesan” Tiba-tiba
sebuah suara mengejutkan Zafi, wajahnya tiba-tiba memerah ketika melihat
sosok yang membuyarkan khayalannya. Seorang lelaki yang amat di
kenalnya, teman sejurusannya, walau tidak pernah sekelas, Zafi hanya
tahu wajah yang didepannya pernah dilihatnya di jurusan, itulah yang
membuatnya beranggapan lelaki itu sejurusan dengannya.
“Hah….sudah ada yang pesan???” tanya Zafi kecewa, mukanya berlipat bibirnya manyun.
“Kok bisa???” Seru Zafi terus memegang gamis yang telah
mencuri hatinya. Lelaki itu hanya memandang zafi dengan tatapan bingung,
karena ia juga di suruh kakaknya untuk mengambil gamis hijau itu,
kakaknya telah memesan terlebih dahulu, tapi lewat telphon saja.
Lagipula ia juga juga nggak minat bercerewet ria meladeni gadis yang
didepannya.
“Hm…tapi ini sudah dipesan kakak saya kemaren” Ujar lelaki itu.
“Hah?? Kemaren? kalau udah dipesan kemaren kenapa masih di pajang
disini, lagipula mungkin kamu salah gamis kali, mungkin saja pesanan
kakak kamu udah di sediakan toko, coba tanya dulu pada pegawai tokonya”
Celoteh zafi memberikan beberapa pandangan agar lelaki itu secara halus,
ia sudah sangat tertarik dengan gamis itu, ia ingin memilikinya. Lelaki
itu tampak berpikir, sepertinya ia tipikal yang tidak suka konflik,
iapun mmenanyakan pada salah satu pegawai toko, dan merekapun tampak
berbincang, di akhir obrolan terlihat pegawai itu memberikan sebuah
bungkusan, dan lelaki itu menyodorkan dua lembar seratus ribuan. Zafi
mengambil nafas lega. Ia pun mengambil gamis itu dan membayar pada
kasir. Kebahagiaan tak bisa dituliskan dengan kata-kata, Zafi tampak
sangat bahagia, ia tidak sabar ingin memakai gamis, dan memperlihatkan
pada teman-temannya di kampus.
Keesokan paginya, Zafi sengaja mandi pagi-pagi, ia ingin
menciptakan model jilbab, sesuai dengan model jilbab yang dilihatnya di
majalah kemaren. Ia tersenyum di kaca, memperhatikan penampilannya dari
ujung kaki sampai ujung rambut, ia tak lagi melihat buntelan lemak
diperutnya, warna gelap menyamarkan kegemukannnya. “Subhanallah Fi, kamu
cantik banget…” Teriak Farah terbelalak, ia melihat zafi dengan
penampilan berbeda pada pagi ini. Mendengar pujian itu Zafi serasa
melambung tinggi ke awan, percaya dirinya muncul dengan berapi-api,
mengambang. Ia pun melangkah keluar rumah, di jalan ia tak
henti-hentinya menebar senyum pada orang lewat, kecuali pada mahasiswa
yang juga sedang memakai jalan. Zafi hanya menunduk menyimpan senyum,
harapan dilirik muncul di hatinya. Setiba di kampus ia bergabung dengan
teman-temannya. Kesibukan membuat PR dari dosen membuat Zafi harus
menelan ludah karena tidak ada yang komentar dengan penampilannya hari
ini. Hal aneh terjadi ketika didalam kelas, teman-temanya melirik Zafi,
kemudian melempar senyum aneh adanya, awalnya zafi tak peduli, karena ia
kira teman-temannya sedang menikmati pesonanya bergamis hari ini, alias
kagum.
“Hm….tahu nggak, tadi Zafi pakai gamis lho, tapi aku segan juga” Ujar salah seorang mahasiswi di dalam kamar mandi.
“ Segan kenapa??” Tanya Saira penasaran.
“Hm…ya segan aja, kalau Zafi itu nggak cocok pakai Gamis, tubuhnya
yang gemuk akan membuatnya seperti ibuk-ibuk rumah tangga saja” Tukas
Sasya berbisik.
“Husss…kamu jangan bicara begitu, nanti kalau orangnya dengar
gimana??” Tanggap Saira menasehati. “Yuks…kita ke kantin, aku udah lapar
nich…” Ujar Saira ketika mereka sudah selesai.
Zafi menahan sesak didadanya, kalimat itu terngiang-ngiang berulang
dalam benaknya, ia mendengar semua ucapan Saira dan Syasa, ia sedang
didalam toilet, ia kecewa dan benci pada teman-temannya, kenapa begitu
tega membicarakannya dibelakang. Zafi lebih sedih lagi ketika mendengar
tanggapan mereka tentang gamisnya. Ia kehilangan rasa percaya diri yang
beberapa hari ini membuat hari-harinya serasa berarti, rasa sesal
memenuhi fikirannya, ia menyayangkan Allah, kenapa harus menciptakannya
dengan tubuh seperti ini, ia menangis menyesali dirinya sendiri. Ia tak
sanggup kuliah, ia tak kuat jika harus melihat wajah teman-temannya yang
melongo heran melihat penampilannya, ia benar mati gaya.
Setiba di kost, ia langsung masuk kamar, badannya panas,
hatinya bercampur aduk, ucapan Sasya dan Saira yang tak sengaja
didengarnya tadi, kembali terngiang di telingannya, ia mencaci maki diri
sendiri. :Hm…aku memang bodoh, udah jelas badan bongsor, masih PD ingin
tampil cantik pakai gamis, aduh Fi, seharusnya kamu kubur aja
dalam-dalam impian kamu untuk bisa pakai gamis itu” Bisikan syetan
membuatnya bertambah rendah diri.
bIa membuka gamis itu, ia lempar sembarang tempat. “Hah..kenapa aku
harus menpermalukan diriku seperti ini, Dasar gamis sialan, aku nggak
mau lagi pakai gamis…Ya..Allah aku nggak mau punya tubuh besar kayak
gini, aku mau mati aja…aku malu….” Teriak zafi nggak jelas, ia menangis
tersedu-sedu. Farah yang sedang lewat didepan kamar Zafi merasa heran,
ia pun masuk menghampiri zafi yang menangis ditutup bantal.
“Fi,,,kamu kenapa..” tanya Farah lembut. Tangis Zafi makin menjadi, ia sesegukan menahan tangis.
“Fi….ada apa….kamu bisa cerita ama aku, jangan pendam
sendiri, entar kamu sakit Fi” Bujuk Farah mengelus pundak Zafi,
tiba-tiba Zafi bangun dari tangisnya, rambutnya acak-acakan.
“Hug….kenapa kamu bohong sama aku Ra..kenapa???” Tukas Zafi membuat Farah bingung, matanya merah menyulut kemarahan.
“Apa maksud kamu Fi, bohong kenapa???” Kata Farah
menanggapi. Zafi tampak kusut, pikirannya telah dipengaruhi asutan
syetan, masalahnya sedang mencari mangsa pelampiasan, dan Farah menjadi
sasarannya.
“Kamu bohongi aku, kalau aku cantik pakai Gamis, tapi apa?? itu hanya
mempemalukan aku didepan teman-temanku, aku malu Ra, mereka bilang
dibelakang aku kalau aku kayak ibuk-ibuk, badan bongsor nggak cocok
pakai gamis, aku nggak sanggup lagi rasanya kuliah, aku benci diriku
ini, kenapa aku nggak bisa nahan hasratku untuk pakai gamis, kenapa aku
harus punya impian yang ntah kapan aku wujudkan, aku benar-benar
bodoh…bodoh….hggg….” Zafi menceracau, ia makin merintih lirih, Farah
mengerti bagaimana perasaan Zafi sekarang , perasaan yang terluka karena
harapannya tak sesuai dengan asumsinya, kecewa karena teman-temannya
bicara dibelakangnya, Farah menatap Zafi dengan kasihan.
“Aku nggak bohong bilang kamu cantik Fi, siapa bilang gamis membuat
kamu seperti anggapan mereka, mereka hanya mengerti mode, dan menelan
lumat-lumat mode yang hanya mengagunkan keindahan luar , tapi nggak
mengerti mamfaatnya, makanya mereka hanya menilai kamu dari segi luarnya
aja, apa kamu nggak buang-buang waktu aja termakan omongan mereka,
tujuan kita pakai gamis adalah untuk menutup aurat, agar terhindar dari
dosa, bukan untuk pamer tubuh kan? bukan untuk perlihatkan ke orang
wah..aku anggun lho pakai gamis, kalau kayak gitu sama saja kita
tabaruj, tujuan agar dipuji oleh orang…itu adalah salah satu dosa besar
Fi” Ujar Farah menasehati dengan lembut. Zafi terdiam, ia merenung
kembali apa yang telah dilakukannya, apa tujuannya pakai gamis, ia
menyesal telah kecewa pada Allah, ia merasa berdosa karena telah
menghujat tuhannya.
“Ya…Allah betapa aku telah membuatmu marah, aku begitu bodoh teracuni
oleh pikiran hanya ingin di puji orang,Ya Allah ampuni aku, aku akan
pakai gamis, terserah mereka mau bilang apa, aku akan pakai gamis
impianku, karena aku ingin keliahatan baik di matamu ya Rabb” Desah Zafi
memeluk Farah, ia terisak di pangkuan Farah, ia berusaha melupakan
ocehan teman-teman yang menyakiti hatinya, ia sangat terluka, kegundahan
membuatnya hanya ingin sendiri sekarang..untuk selanjutnya ia belum
tahu akan lakukan apa.
in Inspiring Room, Oktober 2011 at 23.55 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa Sobat TERAS untuk berkomentar...