Beranda

Jumat, 20 Januari 2012

(Cerpen) Gamis Impian




Cerpen Ria
Perempuan Yang Selalu Memenuhi Ponselku
Oleh Fiyan Arjun

Sudahlah kau berhenti saja menggombaliku. Aku tahu watak asli kau dari sejak aku mengenal kau saat di coffe shop itu. Cukup kau gombali setiap perempuan yang kau temui di tempat  itu tetapi…Stop! Jangan diriku! Karena aku tahu kau itu memang lelaki otak bulus. Buaya darat. Kucing garong. Entahlah apalagi yang bisa aku katakan kembali kepada kau. Karena aku sudah habis berkata-kata.

Bila aku ingat pesan singkat itu di ponsel...hmm, rasanya aku jadi malu sendiri bila mengingatnya kembali. Pesan singkat yang begitu membuatku terkejut. Tak menyangka bila ia mengirim pesan singkat seperti itu di ponselku. Entah, darimana ia mempunyai keberanian untuk mengirimnya membuat aku makin menjadi penasaran dibuatnya. Ingin sekali aku mendengarnya dari bibirnya yang merekah dan selalu basah itu.Ingin...

***

Kini sudah berpuluh-puluh pesan singkat perempuan itu mengirimkan pesan singkatnya ke ponselku. Oh, bukan! Ternyata sudah beratus pesan singkat yang ia kirimkan untukku. Itu pun  jika aku tak menghapusnya. Men-delete-nya. Coba kalau aku tak berbuat seperti itu mana mungkin aku bisa membaca pesannya lagi. Terlebih pesan singkat yang aku terima bukan saja darinya. Masih banyak lagi. Entah, itu dari atasanku, rekan kerjaku maupun dari Roban kawan mengopiku saat aku sedang memerlukan angin segar. Aku selalu mengirimkan pesan kepadanya agar ia bisa mau menemaniku walau hanya sekedar tersaji secangkir kopi dan beberapa kretek di coffe shop tempat langgananku.

”Sudahlah kau beli saja, Ben! Kalau bisa kau beli selusin ponsel untuk bisa puas membaca pesan dari perempuan itu. Jadi kau tidak perlu lagi susah-susah menghapus apalagi memenuhi ponsel butut kau itu. Ingat ini zaman online. Produk ponsel selalu berganti-ganti. Coba saja kau lihat rekan kerja kita Calvin, ia sudah memiliki Baby [baca: Black Berry] keluaran terbaru. Dan kamu Ben masih itu-itu saja ponsel yang aku lihat di tangan kau. Ayolah, Ben maju sedikit aku yakin kau mampu kok membelinya. Hanya Baby saja masa sih kau tak mampu membelinya.”

Begitulah suatu hari Bandi kawan mengopiku memberitahukanku sebuah solusi dari masalah yang sering aku hadapi. Masalah yang sering timbul dari pesan singkat yang dikirimkan oleh perempuan itu. Selalu saja begitu. Selalu memenuhi ponselku. Hingga membuat aku risau jika aku ingin menanti pesan masuk dari atasanku. Menghapusnya atau tidak!

Entahlah, itu sebuah solusi atau malah mencekik leherku aku tak begitu yakin. Apakah aku bisa membelinya atau tidak. Padahal kerperluanku bukan hanya soal ponsel saja tetapi masih banyak lagi hal yang terpenting aku dahulukan. Tetapi kalau aku tak berbuat begitu aku selalu sering kehilangan pesan. Baik dari atasanku, rekan kerjaku tapi kalau soal pesan dari Bandi kawan mengopiku itu aku tak begitu mengkhawatirkannya. Hanya satu yang membuat aku selalu risau ketika pesan singkat perempuan itu jika sudah memenuhi ponselku. Ah, kau perempuan membuat aku menjadi serba salah.

”Sudahlah kau Ben tak usah berpikir lagi. Lagi pula reputasi kau di tempat kerja tak begitu buruk. Kau ini salah satu pegawai yang selalu diperhitungkan oleh Pak Saleh atasan kita. Ingat tidak kau, Ben? Kau itu sudah beberapa kali mendapatkan promosi jabatan yang membuat setiap orang melihatnya seringkali gelap mata. Ayolah Ben kau optimis sajalah aku yakin kau pasti mampu kok membelinya,” lanjut Bandi sekali lagi memberitahukan aku jalan terbaik mana yang akan aku tempuh. Dan itu berbalik pada diriku sendiri.

Aku hanya diam. Tak berkata lagi. Hanya bisa mendengarkan saja  ucapan dari kawan mengopiku itu walau di hadapanku secangkir kopi tak lagi menghamburkan aroma yang menyengat indera penciumanku. Ternyata benar kopi yang sudah tersaji di meja bulatku itu sudah tak menghamburkan aroma lagi. Dingin. Halnya saat diluar sana ketika mata minusku melihat rinai hujan mulai membasahi pelataran coffe shop dengan derasnya menambah suasana menjadi beku. Aku hanya bisa mematung.

”Ma’af Di sepertinya hari sudah petang. Lagi pula hujan di luar sana sudah mulai reda. Aku balik pamit dulu,” ujarku saat matahari terus merambat mendaki kaki langit disebelah barat, mengintip dari balik gedung pencakar langit. Ternyata senja telah memberhentikanku untuk berlanjut bercakap-cakap kepada kawan mengopiku itu untuk berlama-lama.

Kulihat arlojiku ternyata sudah menunjukan pukul setengah enam sore. Ternyata aku sudah lama berpijak di coffe shop itu bersama Bandi kawan mengopiku sekaligus rekan kerjaku yang paling setia untuk mendengar ceritaku tentang perempuan itu. Perempuan yang selalu memenuhi ponselku. Ah, perempuan membuat lelaki menjadi serba salah melangkah....

***

Ternyata salah langkahku terbaca oleh perempuan itu. Ketika aku tak menuruti perkataan kawan mengopiku itu. Aku tak berani mengambil keputusan untuk hanya sekedar membeli ponsel terbaru saja. Padahal itu berguna juga untuk diriku. Entahlah. Tapi...yang aku herankan bagaimana mungkin bisa perempuan itu tahu kalau aku sedang dilema. Antara aku harus menuruti perkataan kawan mengopiku itu atau tidak? Aku benar-benar terkejut   dengan apa yang sudah perempuan itu sampaikan ke ponselku.

Kok begitu saja bingung! Mana Beno yang dulu aku temui di caffe shop itu. Selalu percaya diri. Selalu yakin pada keputusannya tetapi nol besar. Kalau aku tahu kau lelaki semacam itu lebih baik aku dulu tak ingin berkenalan dan menjalin hubungan ini. Karena aku tak mau berhubungan dengan lelaki macam kau itu.

Bagaikan tertusuk sembilu aku merasakan pesan singkat yang sampai di ponselku. Masih tetap memakai ponsel lama.

Pesan singkat itu aku terima saat jam makan siangku hampir usai. Saat raja siang benar-benar hampir memakan kepalaku. Panas membuat kulit terasa hampir terbakar. Tetapi bersyukur kantin tempat aku makan siang saat itu tak terlalu jauh dari tempat kerjaku. Jadi panas dari raja siang tak begitu aku rasakan. Namun yang aku rasakan panas—sekarang di telingaku adalah pesan singkat dari perempuan itu dari ponselku.

”Kenapa? Perempuan itu mengirimkan pesan singkat lagi kepada kau, Ben? Sudahlah turuti saja kataku. Gantilah ponsel lama itu daripada kau nanti selalu dipermalukan oleh perempuan itu melalui pesan singkatnya. Mana Beno yang aku kenal dulu. Beno yang selalu tak mau di permalukan oleh perempuan!” Tiba-tiba Bandi mengejutkan aku dari arah belakangku. Mengejutkan aku atas lamunanku terhadap pesan yang dikirimkan oleh perempuan itu.

Aku mendengus,” kau tahu darimana kalau aku sedang suntuk hari ini,” jawabku pada Bandi yang sejak tadi hanya tersenyum-senyum melihat penampilanku saat itu.

”Ben...Ben...Aku ini bukan anak kecil lagi. Aku ini mengenal kau bukan hanya sehari dua hari tetapi banyak tahu tentang kau. Untuk apa kau mengundangku terus-terusan untuk sekedar mengopi jika kau butuh aku sebagai teman pendengar cerita sentimentil kau terhadap perempuan itu. Nah, sekarang kau baru tahukan bagaimana sifat perempuan sesungguhnya. Ia tak mau dengan lelaki plin-plan seperti kau, Ben. Lihatlah kau ini tampan tapi ketika melihat ponsel yang kau pegang itu pun perempuan yang melihatnya jadi tak berselera terhadap kau. Ayolah, mana Beno yang dulu...”

Akhirnya aku pun goyah juga terhadap perkataan Bandi saat itu. Tapi aku ingatkan (lagi-lagi) ini bukan lantaran perkataan kawan mengopiku itu lho? Ini sebenarnya karena perempuan itu yang sudah membuat aku sebagai lelaki merasa dipermalukan olehnya walau hanya berkata-kata melalui pesan singkat saja. Aku benar-benar dipermalukannya!

”Okelah kalau begitu, Di. Ternyata apa yang kau katakan ada benar juga. Siapa tahu jika aku nanti mengganti ponsel lamaku dengan ponsel keluaran terbaru sekelas Baby aku bisa menggombali kembali perempuan-perempuan yang setiap kali melewati meja pesananku di coffe shop langganan kita.”

Bandi hanya bisa terkekeh saat mata minusku melihatnya saat itu. Mungkin ia setuju dengan apa yang aku ajukan itu. Hmm...ternyata memang perlu pengorbanan juga jika harga diri tidak ingin di permalukan, gumamku membatin. Bila mengingat pesan singkat perempuan itu terus-terusan dikirimkan ke ponselku.

***

Akhirnya pengorbananku mengalahkan segalanya. Kini sekarang aku sudah memiliki ponsel keluaran terbaru. Sekelas Baby bahkan lebih. Ini pun aku lakukan untuk menjaga kehormatanku sebagai lelaki terhadap perempuan itu. Aku tak mau ia selalu mengejekku dengan apa yang aku miliki. Tak lain ponsel bututku. Ponsel lamaku itu. Dan kini aku sudah membuktikannya.

”Begitu dong! Itu baru Beno yang aku kenal. Masa sih pegawai yang memiliki repurasi bagus di tempat kerja membeli ponsel terbaru saja tak mampu. Nah, sekarang terbuktikan kau semakin percaya diri, Ben.” Bandi beberapa kali memujiku saat aku baru menginjakan ke ruang tempat kerjaku. Ternyata kawan mengopiku itu sudah menunggu sejak tadi.

”Kau, itu Di bisa saja membuat aku jadi salah tingkah. Hmm...tapi bagaimana ya kau bisa tahu bahwa aku sudah memiliki ponsel terbaru,” jawabku.

”Ben...Ben...Aku ini bukan anak kecil lagi. Aku ini mengenal kau bukan hanya sehari dua hari tetapi banyak tahu tentang kau. Untuk apa kau mengundangku terus-terus untuk sekedar mengopi jika kau butuh aku sebagai teman pendengar cerita sentimentil kau terhadap perempuan itu.”
Selalu begitu. Entahlah mungkin itu sudah menjadi kartu matiku agar aku tak mampu balik menjawab pertanyaan kawan mengopiku itu. Aku dibuatnya mati kutu atas ucapannya.

Nah, begitu dong itu namanya lelaki yang tahu tekhnlogi. Tahu kemajuan zaman. Masa zaman online begini masih memakai ponsel keluaran primitif. Dan jadi aku bisa kembali memenuhi ponsel kau lagi. Benarkan sayang....

Mata minusku naik beberapa derajat saat tiba-tiba tak aku sadari pesan singkat dari perempuan itu sudah kembali memenuhi ponsel keluaran terbaruku kembali.[]

Catatan:

Cerpen ini ada di Buku Kumpulan Cerpen "Neraka di Mulut Ibu" karya Fiyan Arjun. Terbitan: Leutika Prio. Tahun: 2011


CERPEN RIA - DIPENGHUJUNG GELISAH - DEA PUTRI
DIPENGHUJUNG GELISAH
karya : Dhea Putri Vibria

Rasa itu entah apa sebabnya tiba-tiba saja menyergap Tito dalam kesendiriannya. Rindu bercampur gelisah, begitu menggebu. Dua minggu sudah lamanya ia kehilangan berita, yang biasanyadengan mudah ia dapati dari status-status Facebook milik Anggia. Seseorang yang pernah menjadi Ratu hatinya, yang hari-harinya begitu akrab meng-update status di fb.

Tapi kini sudah hampir lewat dua minggu kolom itu sepi dari status-status sang pemilik. Status terakhirnya berbunyi,

"ssorg terus m'perhatikan ak dari jauh, ak tau. utk itu kuucapkan terima kasih, jg permintaan maafku  utk stap untai kt kasar yg pernah terlontar, yg tentu tdk berkenan di hati. Kelak suatu saat Qt ketemu lagi, km akan liat ak tlah berbeda, semakin dekat dengan mimpi2 yang pernah ku ceritakan. pada akhirnya there's nothing happened in our life but for some reason"

Status yang Tito yakini sekali ditujukan untuk dirinya.Karena betapapun ia telah memblokir akses yang Anggia miliki untuk melihat profile fb miliknya, ia sendiri  masih memiliki akses untuk terus memantau mantan kekasihnya itu melalui fb teman-temannya yang juga berteman dengan Anggia. Dan ia yakin sekali Anggia mengetahui hal itu.

Malam itu pukul 00.15, suasana di warnet milik Tito lumayan sepi. Hanya beberapa kawan akrabnya yang duduk di balik bilik-bilik warnet, bermain poker seperti biasa.

“Woi, keock, fb lo gue pinjem dulu dong,  bentaran.” Seru Tito dari balik meja operator pada Adie, yang biasa dipanggil Keock.

“Mo ngapain lo?? Tanggung neh gue lagi menang banyak,” Seru Adie balik.

“Bentar doang, buru dah. Lo maen pake punya gue ajah, chip gue juga lagi banyak tuh, abisin-abisin dah,’ Tito bersikeras.

Segera setelah tampilan monitor miliknya berubah tampilan menjadi “beranda” facebook milik Adie, Tito mengetik sebuah nama pada kolom pencarian. Sebuah akun facebook dengan foto profile seorang gadis manis berjilbab yang tersenyum ceria muncul dari daftar pencarian. "Princess Anggia".

Lagi-lagi kosong dari aktifitas sang pemilik. Ada beberapa kiriman dinding yang menanyakan kabar tapi tak terjawab. Diarahkannya kursor ke simbol foto, kemudian dikliknya album dengan judul "I love my hijab and i'm proud of it" yang berisikan foto-foto Anggia.Puluhan jumlahnya, mungkin malah mencapai ratusan, dengan berbagai pose yang menunjukkan betapa narsisnya sang mantan.

Lama Tito terdiam menatapi foto-foto tersebut. Berusaha mengobati kerinduannya sendiri, pada betapa cerianya gadis dalam foto-foto tersebut. Kangen pada joke-joke yang dilontarkan, cerita-cerita yang dulu hampir setiap hari ia dengar tentang hari-hari yang Anggia lalui.

Hampir semua foto yang terpampang selalu dalam pose tersenyum sumringah, seolah hidup gadis dijalani tanpa rintangan dan beban. Padahal Tito tahu pasti kedulitan dan beratnya terpaan hidup yang berkali-kali menghantam kehidupan gadis berusia 20 tahun ini.

Anggia tetap tegar berdiri, kadang memang ada kalanya terpaan tersebut memancing emosinya dan Anggia lontarkan begitu saja melalui statusnya yang lantas memancing komentar-komentar tentang betapa pentingnya bersabar. Namun Tito tahu pasti, emosi itu hanya sesaat itu saja. Anggia selalu dengan cepat melupakan masalah yang dianggapnya menyita emosi dan tenaga.

Ahh, Tito mendesah panjang. Mengenyakkan diri lebih dalam lagi ke kursi. "Mbem, aku kangen banget sama kamu." Batinnya lirih.

# # #
“Si Anggia emang sakit apa, To??” Tito menoleh ke asal suara.

Petang itu Ia baru saja pulang dari kampus saat sahabatnya yang lain, Juna melpontarkan pertanyaan tersebut. Ia bahkan belum sempat melepas helm yang dikenakannya. "Sakit? Sakit apa, ya mana gue tau. Emang gue bokapnya?" Jawab Tito asal, meski dalam hatinya langsung saja timbul begitu banyak tanya.Anggia sakit? Sakit apa? Apa itu sebabnya fbnya sepi?

“Tau darimana lo?”

“Tadi si gue liat di fb nya tuh ada…”

Belum lagi Juna menyelesaikan kalimatnya, Tito langsung menghambur masuk ke dalam warnet.

"Cepet sembuh ya, mba…buka matanya, kita semua kangen mba ada di tengah2 kami. Terus berjuang ya melawan semuanya, kita percaya mba bisa dan kami mendo'akan mba. Peluk cium dari seluruh keluarga, we love you and keep fight!"

Begitu bunyi kiriman di dinding fb Anggia dari adiknya, Merpati. Baru saja dikirim sejam yang lalu dan langsung mendapat puluhan komentar yang menanyakan keadaan Anggia. Sakit apa? Sejak kapan? Dirawat di rumah sakit atau di rumah? Dan beberapa komentar berisikan do'a-do'a yang berasal dari teman-teman sekampus Anggia.

Tak satu pun tanya terjawab.

Seolah kehilangan kekuatan di seluruh persendiannya, Tito luruh begitu saja. Terduduk di kursi dengan bola mata menatap nanar ke arah layar monitor.

Tentu saja, seharusnya gue tau ada yang nggak beres, batinnya berbisik. Anggia yang hampir selalu nggak pernah absen meng-update status tiba-tiba menghilang dari peredaran. Tapi sakit? Kenapa hal itu sama sekali nggak terpikir? Bahkan ketika terpaksa harus terbaring lemah karena maag-nya kumat pun Anggia tetap eksis!! Sakit apa yang sampai membuatnya nggak sadarkan diri???

“Kemana?? Kemana harus gue cari tau…” Tito berpikir keras. Di ponselnya ada nomor beberapa kerabat Anggia, tapi rasanya ia tidak mempunyai cukup keberanian untuk bertanya pada mereka. "Teman! Siapa? Siapa? Ayo mikir...!!" Tito memejamkan kedua matanya. Anggia tipe yang ekstrovert. Ia cerdas, supel dan mudah masuk dalam lingkungan apa saja. Bebrapa nama teman Anggia sempat nyangkut di kepala Tito tapi Tito butuh seseorang yang ia juga kenal baik. Febri! Otaknya berseru keras, menyebutkan nama seseorang yang dirinya dan Anggia kenal cukup baik. Meskipun perkenalan mereka berawal dari fb tapi Anggia sempat beberapa kali kopi darat dengan Febri dan bahkan bisa dibilang sahabatan. Apalagi Febri tak lain adalah tetangga rumahnya yang pernah memiliki hubungan dekat dengan Juna.

Segera setelah nama itu muncul, Tito langsung menghambur keluar mencari Juna. "Woi, cuy. Pinjem hape lo dong!" pintanya langsung pada Juna yang sedang asik duduk-duduk di warung di seberang warnet.

“Mo ngapain lo? Miskin amat juragan warnet hari gini sampe ga punya pulsa,” seloroh Juna sambil tetap menyerahkan ponselnya.

Tito tidak menghiraukan guyonan tersebut, matanya sibuk menelusuri daftar kontak di ponsel Juna. Sering adu komen dengan Febri di fb tidak lantas membuat Tito memiliki nomor kontak Febri dalam phone book-nya. 
“Halo, buu. Ni gue Tito.” 
“Ooh, iya kenapa, to?
“Ga, gue Cuma mo nanya, si Anggia emang sakit apaan? Lo tau ga?”
“Sakit? Emang sakit apa? Gue ga tau malah, emang dia sakit? Gue dah lama nggak ada kontak ma doi. Kenapa lo tiba-tiba nanyain doi, kangen? Bukannya lo udah punya yang baru..."
“Hahaha, bisa aja lo. Yaudah thanks yah.” Klik.
Nihil.
“Lo kuatir?” Juna yang entah kapan berdiri di sisinya berbisik lirih. Mereka berada jauh dari keramaian, di ruangtamu rumah Tito. tempat yang bisa menyembunyikan segala raut wajah gelisah yang dapat jelas terbaca anak-anak satu tongkrongan mereka. Seluruh isi rumah sudah terlelap. Jarum jam menunjukkan hampir tengah malam.
"Gue tau lo kuatir, ga usah terus-terusan membohongi diri, bro. Mungkin satu-satunya cara untuk cari tau ya lo datengin rumahnya.  Dengan begitu lo tau bisa tau pasti.”
Ide tersebut bukannya nggak pernah melintas, hanya saja Tito merasa dirinya tidak memiliki record yang baik dimata keluarga besar Anggia. Bukan dalam hal tingkah laku, tapi penampilannya yang bikin para calon mertua di seantero dunia bakal ilfil. Rambut ikal gondrong sebahu, yang lebih sering acak-acakannya ketimbang rapinya. Badannya yang tinggi besar sering di-cover jeans belel dan kaos oblong. Singkat kata Tito itu : preman banget, lah!
Mungkin sebab itu, sang mantan calon ayah mertua jarang sekali berlama-lama mengajak ia berbasa-basi. Malah oernah suatu kali dirinya diajak sowan ke tempat salah seorang budhenya Anggia, sang budhe dengan terang-terangan menyarankan Anggia buat nyari cowok lain.
Dulu sih Tito nyantai aja karena Anggia nggak pernah mempersoalkan penampilan luarnya, makanya ia tetap PD bolak-balik ke rumah sang mantan biarpun selalu dikacangin sang ayah. Dan sekarang, ia disuruh datang ke sana seorang diri tanpa Anggia ada di rumah? Jujur saja Tito hopeless. Ngeri. Jangan-jangan daun pintunya bakalan reflek langsung ditutup lagi begitu tahu ia yang datang.
Hmpft… Tito mendesah

# # #

Silakan kalau ada yang mau bilang dirinya pengecut. Karena meskipun sudah hampir tiga hari mengetahui bahwa Anggia sakit, Tito tetap bertahan untuk tidak mencari tahu langsung ke rumah cewek itu. Ditekannya kuat-kuat rasa ingin tahu yang sebenarnya begitu menuntut untuk dituntaskan. Sebenarnya bukan semata karena takut dijutekin. Tapi lebih kepada perasaan bersalahnya pada Anggia yang mengekangnya.
Setahun lebih menggantung hubungan mereka tanpa kepastian, namun hubungan mereka tetap seperti layaknya orang berpacaran. Dimana ada Tito di situ ada Anggia, dan sebaliknya. Tapi lalu tiba-tiba ia berpaling pada wanita lain seperti antara dirinya dan Anggia murni hanya ada pertemanan sejak awal. Pertemanan yang mesra, yang membawa serta segenap rasa sayang dan juga asa pada diri Anggia.

Lamunan Tito pada perasaan bersalahnya terinterupsi oleh dering ponselnya yang menyalak nyaring.  Lagu Scatzhi yang dinyanyikan Slank mengalun, menambah goresan perih. Karena lagu itu pernah ia persembahkan untuk Anggia.
“Assalamu’alaikum,” suara perempuan muda di seberang sambungan telepon. “Mas Tito?”
“Ya, ini Tito.”
“Mas, ini Merpati, adiknya Mba Anggia…”
# # #

Merpati menyambut kedatangan Tito di ambang pintu kamar pasien tempat kakaknya di rawat. Sebelum mengajak Tito masuk, Merpati memberi penjelasan singkat tentang keadaan kakaknya.
“Tiga minggu yang lalu Mba Anggia secara tiba-tiba pingsan di kampusnya sewaktu mengerjakan soal-soal UAS. Dan sejak saat itu nggak sadarkan diri, tapi dua jam yang lalu Mba Anggia sempat sadar setelah tiga minggu koma. Kedua matanya terbuka sebentar memandangi saya, ibu dan ayah. Seperti hendak berpamitan. Lalu sebelum hilang lagi kesadarannya, Mba Anggia sempat menyebut nama Mas Tito. Setelah itu kondisinya makin nggak stabil..." Merpati membungkam mulutnya sendiri dengan tangan kanannya. Perasaan pilu tentang gambaran akan kehilangan kakak semata wayang benar-benar memporak-porandakan ketegaran yang sudah payah ia kumpulkan sewaktu menelepon Tito tadi.
Langkah Tito terhenti di depan pintu kamar pasien. Matanya menatap nanar pada sesosok tubuh yang terbaring tanpa daya, dua meter di depannya. Di dalam ruangan sudah berkumpul keluarga besar dari kedua belah pihak orangtua Anggia yang telah bercerai, keduanya didampingi pasangan masing-masing 
Awan mendung menyelimuti setiap wajah yang berdiri memenuhi ruangan berukuran 4 x 4 meter tempat Anggia di rawat.
Sangat berbeda ketika pertama kali keduanya bertemu dua tahun lalu. 
Waktu itu Anggia masih gadis manja yang slebor dalam berpakaian, Kadang kaos oblong segede gaban dipake. Kadang tank top super mini yang meperlihatkan pusarnya kemana-mana.
Sekarang, bahkan dalam keadaan tidak sadarkan diri, tubuh mungil itu tertutup rapat dari ujung ke ujung.
Merpati, adik Anggia, membisikan sesuatu pada kakak satu-satunya. Sepeti seolah Anggia dapa mendengar ucapannya. Berharap penuh apa yang disampaikannya dapat menambah semangat Anggia untuk berjuang melawan penyakit yang menggerogotinya.
“Kemari, Mas…” Merpati berkata lirih, memberi isyarat pada Tito agar mendekat
Antara nggak tega tapi ingin…Tito mendekat. Duduk di kursi yang disediakan Merpati. “Merpati tinggal sebentar, Mas.”  Merpati berkata sambil mengajak semua orang meninggalkan ruangan. Tito mengangguk mengiyakan.
Sekarang di ruangan berukuran 4 X 4 meter itu hanya tinggal dirinya sendiri, berdua dengan seseorang yang dikasihinya. Karena rasa itu tak pernah begitu saja pergi. Cewek yang terbaring tanpa daya di hadapannya adalah seseorang yang pernah begitu berarti, yang pernah meramaikan dunianya. Memberikan begitu banyak warna dengan pembawaannya yang ceria.
Siapa sangka dibalik semua tawa gembira dan senyum sumringah serta canda yang selalu menjadi ciri khasnya tersebut, Anggia menderita kanker otak stadium akhir. Seperti seolah masalah keluarganya masih belum cukup berat menjadi beban.
“Mbem…” Tito berbisik. Tangannya gatal ingin membelai, mengusap kepala Anggia. Tapi sesuatu mencegahnya melakukan itu. Ia merasa selama ini telah begitu banyak menyakiti Anggia. “Kenapa kamu nggak pernah cerita… hampir tentang semua hal kamu cerita ke aku. Tapi kenapa hal yang begitu penting kayak gini kamu simpan sendiri?”
Tito menundukkan kepalanya, bertumpu dengan kedua tangan terlipat pada bed tempat Anggia terbaring. Dadanya penuh sesak oleh rasa kangen, hasrat ingin membelai, menyalurkan segenap sayang dan kepedulian.
# # #
Dengan kepala tertunduk Tito keluar dari ruangan tempat Anggia di rawat, bekas-bekas cucuran air mata masih nampak membekas di kedua pipi dan pelupuk matanya.
Seorang wanita berusia 40 an tahun langsung menjerit histeris dan menghambur begitu saja ke dalam ruangan, Ibu Anggia. Anggota keluarga yang lain menyusul di belakangnya dengan isak tertahan.
Merpati sendiri tetap bergeming di tempatnya berdiri. Tatapannya terpaku pada lantai rumah sakit, lalu perlahan ia memejamkan matanya dan menarik napas. Menekan dalam-dalam perasaan kehilangan yang menggerogotinya. Di dalam nanti ia harus terlihat tegar untuk menguatkan sang ibu.
“Mba Anggia menunggu Mas, ternyata…
Syukurlah kini penderitaannya telah berakhir.” Merpati berkata sebelum akhirnya hilang di balik pintu.

* THE END *
Jakarta, 19 Januari 2012
15.34 WIB


Cerpen Ria_Sayatan-sayatan Mimpi_April May My
SAYATAN-SAYATAN MIMPI

 Senja masih menggantung di lazuardi, menampakkan kilauan kemerahannya nan indah. Namun, indahnya senja,  tak seindah wajah Imey. Awan hitam menggantung, di sudut mata gadis manis bermata jeli itu. Sebentar lagi, mata indahnya menitikkan kristal-kristal yang berkilauan di terpa sinar mentari senja. Imey sedang berduka.
“Buang saja laptopmu itu. Bila itu menjadikanmu menjadi seorang pemalas!” hardik pak Baron ayah Imey.
Kata-kata  pak Baron sangat menusuk hati Imey. Bagaimana ayahnya bisa berkata sekejam itu padanya? Sedangkan laptop itu dia beli dari hasil uang sakunya. Saat jam istirahat tiba, Imey rela menahan keinginan membelanjakan uang jajannya. Imey hanya menelan ludah. Saat teman-temannya berhamburan ke kantin, membeli aneka macam penganan. Untuk mengganjal perut menunggu jam pulang sekolah.
Angin senja memainkan ujung jilbabnya. Membuat tepinya menari-nari di hadapannya.
“Sabar, ya sayang.” Bu Anne, ibunya Imey mencoba menghiburnya. Namun kalimat penghibur dari ibunya. Tak mampu menahan bendungan derasnya air mata yang mengalir.
“Tapi bu. Mengapa ayah tak bisa mengerti keinginanku, bu?” tanya Imey pada ibunya.
“Bukan tidak bisa. Tapi belum. Suatu saat nanti, ayahmu pasti mengerti.” ucap bu Anne sambil mengelus kepala putri semata wayangnya.
“Sampai kapan, bu? rasanya aku sudah sering menjelaskannya. Aku ingin menjadi seorang penulis.”
“Semua akan indah pada waktunya. Asal semangat yang tak boleh hilang dari dirimu, Mey.” ucap bu Anne menyemangatinya.
“Semoga. Aku pastikan tak akan pernah hilang, Bu.” ucap Imey meyakinkan ibunya.
“Apa itu karena aku bukan anak ayah, Bu?” ucap Imey tiba-tiba.
“Bagaimana kamu bisa beranggapan seperti itu?” tanya bu Anne. Bu Anne terkejut mendengar pertanyaan Imey, dan malah balik bertanya.
“Ayah yang berkata seperti itu padaku.” jelas Imey.
“Betul. Memang kamu bukan anaknya. Ibu memilikimu sebelum menikah dengannya. Ayah kandungmu sudah lama tiada. Walau begitu, ayah Baron amat menyayangimu, Nak. Dia marah, bukan karena benci. Tapi karena dia sangat sayang padamu. Tak mau kamu menyia-nyiakan waktumu, hanya di depan laptop-mu saja.” urai bu Anne panjang lebar pada Imey.
“Benarkah ayah sayang padaku? Ataukah aku yang tak bisa mengatur waktuku dengan baik?” batin Imey bergejolak. Tarik-menarik antara membenarkan pernyataan ibunya ataukah kenyataan perlakuan yang di terimanya? kenyataan perlakuan tidak menyenangkan ayah Baron tadi siang.
“Ya, sepertinya karena aku yang tidak bisa mengatur waktuku.” logika Imey  membenarkan pernyataan ibunya. Teringat Imey akan kebaikan-kebaikan ayah Baron pada dirinya. Ayah Baron tidak pernah semarah ini sebelumnya.
“Ma’afkan aku, Ayah.” ucap Imey lirih dalam diam.
Sesungging senyum, Imey hadirkan di wajahnya. Bersama dengan indahnya ukiran senyum bu Anne menyambutnya. Malam mulai merangkak. Senja telah sirna di ufuk sana.
“Aku harus kuat demi impianku, harus!” teriak hati Imey.
Di sambut suara desiran angin malam  yang berhembus kencang. Dan lolongan anjing liar. Seolah mereka turut meneriakkan semangat untuknya.
@@@

“Lomba Menulis FF dengan tema: Perjalanan.
 Dengan syarat:
-          Di tulis menggunakan Ms. Word 2003/2007
-          TNR 12, spasi 1,5, 300-500 kata
-          Batas pengiriman 1 Desember-30 Desember 2011
-          Kirim ke email : apazah78@gmail.com dengan subjek : Perjalanan_Judul naskah_Nama Penulis”
25 naskah terpilih akan di bukukan, royalti di bagi jumlah penulis.
Isi Pengumuman di dinding Majalah Dinding sekolah, itu cukup singkat. Namun mampu membangkitkan sel-sel semangat menulis Imey yang nyaris tertutup kabut penolakan ayahnya.
“Hemm. Tak ada salahnya ku coba.” pikir Imey. Segera Imey keluarkan pena dan buku agendanya dari dalam tas. Dia salin isi pengumumun itu ke dalam buku agenda.
“Selesai!” teriak Imey. Membuat berpasang mata teman-temannya yang melintas tertuju padanya.
Imey hanya menyunggingkan senyum di wajahnya. Membalas tatapan heran berpasang mata yang tertuju padanya.
“Kira-kira apa ya, yang akan ku tulis?” pikir Imey mencari jawab.
“Aha! Aku dapat!” ucapnya kemudian. Bergegas Imey melangkahkan kaki menuju rumahnya. Tak sabar dia ingin segera menuangkan apa yang ada di kepalanya dalam lembaran halaman MS Word laptop-nya.
Waktu seakan merangkak lambat. Ketika perjalanan pulang ke rumahnya.
Setibanya di rumah, Imey segera mencari laptopnya. Tapi alangkah terkejutnya dia, ketika benda yang di carinya tidak di temukan.
“Bu... Ibu lihat laptopku tidak?!” tanya Imey pada ibunya dari dalam kamar.
“Di atas meja belajarmu.” sahut bu Anne dari dapur.
“Tidak ada, Bu.” jawab Imey kemudian.
Bu Anne pun bergegas menuju kamar Imey. Dan dilihatnya memang tidak ia temukan benda yang di cari putrinya itu.
“Coba kamu ingat-ingat, mungkin kamu lupa menaruhnya.” saran bu Anne.
“Tidak bu, aku ingat betul laptop itu aku taruh di meja. Tidak aku pindahkan.” jawab Imey.
“Heh, bagaimana ini? batas waktu pengiriman tinggal hari ini. Sedangkan laptopku tak tahu rimbanya.” batin Imey berkecamuk.
“Tenang Imey, tenang… Panik tidak akan menyelesaikan masalah.” suara hati Imey yang lain menenangkan.
“Hey, mengapa aku tidak pergi ke warnet saja?” pikirnya tiba-tiba. Imey pun pamit pada ibunya, dan melangkahkan kakinya menuju warnet.
Setibanya di warnet di bukanya layar monitor di hadapannya. Dia mulai menuangkan isi yang ada di kepalanya. Menekan tombol-tombol di papan keyboard dengan lincahnya.
“Selesai!” teriak hatinya penuh kegembiraan.
“Sekarang tinggal mengirimkannya.” lanjut hatinya kemudian.
Setelah terkirim. Imey menutup layar monitornya, dan membayar biaya warnet. Imey pun melangkahkan kakinya menuju rumahnya.
“Mengapa harus bapak sembunyikan sih, pak?” suara bu Anne bertanya ke pada seseorang di dalam rumah. Lirih suaranya terdengar pelan oleh Imey dari luar rumah.
Setiba Imey di depan rumahnya. Sengaja Imey tak segera masuk, dia menghentikan langkahnya di depan pintu rumahnya.
“Aku lelah Ann, menasehati anak itu. Bukannya belajar yang rajin malah berkhayal terus kerjaannya! Kau uruslah anakmu itu!” lantang suara seorang laki-laki. Pak Baron ternyata si pemilik suara itu.
“Lebih baik kau titipkan anakmu itu di rumah ibumu di Padang sana.” lanjut pak Baron kemudian. 
“Tapi pak..”
“Sudah kau pilih aku, atau anakmu!” belum lagi bu Anne selesai bicara, pak Baron memberikan bu Anne pilihan yang sulit.
“Sudah bu, lebih baik aku saja yang tinggal di rumah nenek.” Imey menerobos masuk dan memberikan jawaban atas pertanyaan pak Baron pada bu Anne.
“Tapi, Mey.” naluri keibuan bu Anne tersentuh. Bu Anne berat bila harus terpisah dari anaknya.
“Tak mengapa, bu. Aku kan tinggal di rumah nenek. Percaya sama aku, bu. Aku akan baik-baik saja.” Imey mencoba menenangkan ke gundahan ibunya.
Pak Baron hanya terdiam mendengar semua itu. 
Semenjak kejadian itu Imey mengurusi kepindahan sekolahnya dari Jakarta ke kota tempat tinggal neneknya di Padang.
@@@

Imey merasa senang tinggal di Padang. Sekolahnya tak jauh dari rumah neneknya. SMU Bakti Kencana, tempatnya menimba ilmu kini. Teman-teman barunya pun sangat ramah padanya. Di rumah neneknya, dia hanya tinggal berdua di rumah neneknya. Saudar-saudara ibunya sudah punya tempat tinggal masing-masing. Imey jadi lebih fokus menulis. Tak ada yang akan memarahinya. Neneknya, nenek Atik amat sayang padanya.
Sebulan telah berjalan. Pengumuman lomba menulis yang beberapa waktu lalu di ikutinya di umumkan hari ini. Di bukanya layar laptopnya. Di ejanya satu persatu nama yang tertera di note penyelenggara lomba. Ada sebuah nama yang membuatnya bahagia.
Imey Priscillia. Ya, itu namanya. Imey berlonjak kegirangan. Namanya masuk ke dalam daftar para pemenang yang naskahnya akan di bukukan. Itu berarti pundi-pundi uang akan mengalir ke kantongnya. Walau tak seberapa, lumayanlah, untuk ukuran kantong anak seusianya.
“Yii haa!” tak sadar Imey melompat sambil mengacungkan telunjuk ke udara. Kelakuan Imey membuat nenek Atik geleng-geleng kepala.
Ada apa Mey?” tanya nenek Atik heran melihat tingkah cucunya.
“Eh nenek, ini naskahku lolos lomba nek.” tersipu Imey menjelaskannya.
“Alhamdulillah dong. Masa yii haa!” saran nenek Atik.
“Hehehe.. Iya, nek.” sahut Imey.
Mulai saat itu Imey jadi tertantang untuk lebih giat menulis dan mengirimkan naskah-naskah tulisan ke redaksi, atau pun ajang lomba. Sayangnya keberuntungan belum berpihak lagi padanya. Puluhan naskah yang di kirimnya tak ada satu pun yang di terima media.
“Apa yang salah ya?” pikir Imey. Di putar otaknya mencari jawab. Imey membuka layar laptopnya googling mencari jawab. Tapi hasilnya? Tak memuaskan!
Terlempar Imey pada nasihat ibunya beberapa waktu lalu.
“Asal semangat yang tak boleh hilang dari dirimu.”
“Ya, semangat! Semangat belajar, belajar, dan belajar! Mencari pengetahuan tentang menulis dari siapa pun. Demi perbaikan tulisanku di masa mendatang.” Tekad Imey dalam hati.
“Penulis yang tenar sekarang, entah sudah berapa kali, bahkan ratusan kali mengalami penolakkan sebelumnya. Tapi mereka tetap semangat, hingga mereka dapat menuai hasil kerja keras mereka sekarang.” Sebuah paragraph dalam artikel kepenulisan, menyihir perhatiannya.
“Mengapa mereka bisa, aku tidak bisa? Semangat!!” teriak hati Imey. Dibukanya layar MS Word, dan mulai menuangkan ide yang tiba-tiba hadir.

***


Catatan: Diangkat dari penggalan naskah novelet duetku bersama Uchi Yukito Charcit. Telah mengalami revisi, disesuaikan dengan bentuk FF.






Cerpen Ria - Ber Nenek Satu - Yanti Sipayung
Ber Nenek Satu

“Bilangin Ray, dia tu bukan level ku. Dia gak akan bisa nyaingin aku. Belagu banget. Pake nyebarin selebaran mau jadi nomor satu segala. Gak nyadar ya jadi anak baru, segitu sok nya.”
Sabina geram. Bibirnya tak berhenti bergoyang sejak Vina, anggota ganknya melaporkan keberingasan Samikem, siswa baru di SMA Pelita Terang, sudah menggelar kampanye besar-besaran dalam pemilihan Ketua dan Wakil Ketua OSIS, yang kali ini akan digelar sedemokratis mungkin..
“Udah deh, kamu nggak usah sampe murka gitu. Bersaing secara jantanlah.” Ray menjawab keluhan sahabatya. “Ups, salah. Kok jantan, kamu-kamu kan, betina semua,ya.” Ray mengikik.
“Kamu sendiri pilih siapa? Aku, atau malah si Samikem jadul itu?”
Ray cengar cengir. “Non blok.”
“Hu kamu tu ya, giliran ada perlunya aja mau deket sama aku.” Tukas Sabina dengan bibir yang maju sekian cm..
Benar Bin, nggak salah. Aku ngotot pengin dekat sama kamu, emang punya tujuan. Pengin ngambil ilmu dari otak encer kamu, Ray cekikikan dalam hati.
Mendapatkan ilmu itu memang butuh pengorbanan. Seperti yang dilakukan Ray sekarang, rela mendengar ocehan dan keluhan yang menyembur dari mulut Sabina sampai telinganya terasa mual mau muntah. Tak apalah, asal setelah Sabina capek ber-rap di telinga Ray, si judes itu mau mengajarkan Ray pelajaran Fisika yang tadi siang diulas Bu Wike.
Sabina memang terkenal berbibir panjang. Bukan karna giginya tonggos atau bibirnya dower, tapi karna memang orangnya galak. Tak ada yang memungkiri kenyataan itu. Andai saja dia berotak pas-pasan, berasal dari keluarga yang kurang mampu, rupa tak membawa keberuntungan, bisa dipastikan dia minus teman. Tak mungkin ada yang mau berteman dekat dengan dia.
***
“Ray, pasti tau banyak tentang  si Sabina, kan? Sabina yang kelas XI IA5”
Ami, panggilan kerennya Samikem, menanyakan keberadaan salah satu saingannya di Pemilihan Ketua OSIS kepada Ray.
“Emang kenapa?”
“Seingat Ami, Ami gak pernah buat yang nggak-nggak sama dia, tapi kok dia suka jutek gitu ya, kalo lagi berpapasan sama Ami?
Ray mandangin wajah lugu Ami. Ada rasa iba muncul di dasar hatinya.
“Emang kamu diperlakukan kaya’ gimana sama dia?”
Ami mengedikkan bahunya.
“Gak gimana-gimana, sih. Cuma kan nggak enak kalo tiap ketemu bawaannya ribut melulu, sindir-sindiran, pake ejek-ejekan nama segala. Karena… katanya namaku jadul banget, tradisionil, gak up to date gitu.”
“Kamu ngelawan?”
“Ya, Ami kan manusia biasa yang punya batas kesabaran, nggak bisa diem and ngalah aja. Ya Ami lawan lah sebisa mungkin.”
Ray tersenyum mendengar penuturannya.
“Apa salah kalau Ami juga berambisi jadi ketua? Nggak kan, Ray? Setiap orang punya hak untuk mencalonkan diri. Lagian, Ami juga pe-de karena didukung teman-teman. Mereka bilang Ami pasti bisa. Dan ketika Ami fikir-fikir dan konsultasi dengan keluarga, mereka juga mendukung. Menurut kamu sendiri, Ray?”
“Ya. Aku juga ndukung. Kamu bagus, Sabina juga. Begitupun dengan Oky, dan Candra. Tinggal lagi persetujuan dari anak-anak semua, pilih siapa. Pesanku, bersainglah dengan benar.”
Ami menghela nafas menyimpan ketidakpuasan dengan jawaban sahabatnya Ray. Kenapa Ray yang selalu mengemis minta diajarkan pelajaran MM gak membelaku, fikirnya.
***
Ray memang tak akan pernah setuju dengan terpilihnya Sabina atau Ami kelak. Walau Ray berhutang banyak ilmu sama mereka, tapi Ray sangat berharap mereka kalah, dan lebih bersuka jika pemegang tampuk pimpinan organisasi terbesar di sekolah itu, adalah Oky. Selain terkenal disiplin, aktif, ia juga berjiwa pemimpin. Terbukti kepemimpinannya di Divisi Sport selama satu tahun ajaran ini yang begitu pesat berlari perkembangannya. Dan yang turut membuat Ray condong kepada Oky, tak luput dari calon wakil yang akan berpasangan dengannya. Lintang. Sama. Minus cacat alias aib. Beda dengan Sabina dan Ami. Keduanya memang bagus untuk jadi ketua, tapi ketika melihat bakal orang kedua di tampuk pimpinannya nanti, sepertinya Ray kurang sreg.
Keduanya sama-sama pintar, pun sama-sama keras kepala. Sabina, Ray sudah cukup tua mengenalnya. Mereka satu sekolah sejak SMP. Sedangkan Sabina, pindahan dari Wonogiri. Ray baru mengenalnya enam bulan lalu. Kebetulan dia ditempatkan sekelas dengan Ray. Karena daya tangkapnya yang luar biasa di semua mata pendidikan, Ray berusaha mendekati, menjadikannya sebagai sahabat. Sama dengan Sabina dan teman-teman lain yang berotak encer, Ray mengincar tertularnya virus IQ excellent mereka. Biar aku juga memiliki daya tangkap dan ingatan yang super, seperti Sabina dan Ami alias Samikem, fikir Ray.

***

“S A M I K E M. Saatnya Ami MemImpin, Kita Esok Maju.”
Ray tersenyum sambi menggeleng-gelengkan kepala dengan selebaran yang baru saja dibacanya. Terpampang wajah hitam manis memamerkan senyum khas ala tanah asalnya. Terukir dengan jelas rangkaian pandangan, visi dan misinya di organisasi yang akan diketuainya. Semua itu dibungkus dengan kalimat-kalimat yang rapi dan bijak. Sempurna.

Maju sekitar sepuluh langkah,

PILIH YANG BENAR-BENAR CAKAP DAN TELAH DIKENAL.
S A B I N A.
Smart, IQ diatas rata-rata, ulet, pekerja keras, berjiwa pantang menyerah, cantik, plus telah berstatus sebagai pelajar sekolah ini sejak TK.
Mana ada yang kaya’ dia. Siapa lagi kalau bukan SABINA.
So, jangan lupa, ya. Centang SABINA, jangan yang lain.

Kembali Ray tersenyum sendiri. Dalam hati, Ray hanya bisa berdo’a. Semoga jika memang Tuhan mentakdirkan salah satu sahabatnya itu jadi pemimpin, mereka benar-benar giat bekerja dan mampu membuktikan segala macam janji yang telah diumbar sepanjang masa kampanye.

***

Suasana masih tenang. Usai penghitungan suara pada pemilihan Ketua OSIS, hanya ada beberapa anak-anak di sepanjang koridor yang membicarakan kemenangan mutlak Oky dan Lintang. Semua heran, kenapa nyaris seluruh siswa memilih Oky, padahal kampanye Oky tidak segempar kandidat lain. Janji yang dilontarin tak semerdu janji saingan-saingannya. Tapi kenapa warga SMA Pelita Terang lebih menyokong Oky.
Mungkin semua siswa sudah paham betul bahwa memilih seorang pimpinan bisa dilihat dari kemampuan, sikap dan kebiasaanya selama ini, bukan dari janji manis yang disembur dan kebaikan yang biasa ditebar di masa kampanye. Lebih jauh mereka pasti sudah mericek semua kandidat yang ada dan memilih yang terbaik untuk dinobatkan menjadi ketua.

“Ray, Ray… Woi… Rayhana…”
Terlalu kencang suara itu. Tak perlu berteriak, Ray juga pasti bisa mendengarnya. Emang aku pekak apa, Ray menggeretu.
Linda berlari-lari memegangi dadanya.
“Dua sobat kamu lagi berantem tuh di jalan.”
“Ha?” Mulut Ray menganga. Untung jadwal penerbangan semua jenis lalat sedang kosong di dekat Ray. Kalo tidak, bisa kehilangan kontak tuh lalat.
“Ya. Ami ama Sabina udah mau ngeluarin jurusnya masing-masing di depan gerbang. Mana Satpam gak tau kemana lagi rimbanya. Kalo bisa kamu kesana deh, Ray. Dua-duanya kan sobat kamu, kali aja mereka mau ndengerin kamu. Nih aku mau ngelaporin tragedi yang mencekam ini sama guru.”
Ray berlari sekencang jetsky.

“Gawat… gawat… Bawa ke Klinik! Cepat!”
Ray mendengar suara itu sangat jelas. Menoleh ke arah asal suara, kedua wanita yang menjadi bandar pemasok ilmu gratisannya itu telah dibopong menuju UKS.
“Bukannya tadi mereka baik-baik aja usai penghitungan suara?”
“Ya. Keduanya kelihatan sportif mengakui kekalahan. Tapi gitu nyampe di luar, kok pada jontok-jontokan.” Lily yang menjawab.
“Si jadul tu yang duluan, pake lirak lirik Sabina, muke diperungutin kaya’ jeruk purut.” Rere, sahabat Sabina yang jawab.
“Huuu, Sabina tu yang pake nyamber Ami duluan. Mana…”
“Husssh… Udah… Gak usah pake nyalah-nyalahin segala. Ntar malah makin ribut. Kalian pada bonyok-bonyokan juga.” Ray membentak semua orang di hadapannya.
“Panggil orangtuanya!” Bu Mimi, guru BP memerintahkan asistennya dengan wajah sedikit panik.

Ray mandangin sekujur tubuh mereka yang terhampar keletihan. Mereka pingsan setelah adu mulut berlanjut adu otot.
“Sabina…”
Seorang wanita paruh baya lari dan menjerit ingin segera memeluk tubuh yang masih tak berkutik itu. Bu Tini, Mamanya Sabina.
“Sabina, bangun… “ Jeritnya pilu. “Kenapa bisa jadi gini, Bu?”
Bu Tini mencari jawaban perihal pingsannya buah hatinya kepada Bu Mimi tanpa berhenti mengguncang tubuh anaknya yang belum sadarkan diri.
“Ami….”
Satu suara cempreng menyembul kian membuat onar ruangan sempit itu.
“Ami, ada apa to, nduk? Kenapa sampe lebam-lebam gini wajah ayu kamu?”
Bu Tina, Ibunya Ami menyeruak dari keramaian langsung menciumi anaknya.
Semarak. Seperti ada festival menangis paling merdu di ruangan itu. Kedua wanita itu seolah tak peduli sedang ada dimana, tengah ditonton massa.
Tapi ada hikmahnya juga, teriakan dan tangis dua Ibu yang menyesakkan telinga itu akhirnya membangunkan Sabina, juga Ami. Kompak mereka terbangun dari pingsannya yang cukup menggemparkan seisi sekolah.

“Tuh, Ma orangnya yang buat Sabina jadi gini.”
Sabina mengarahkan telunjuknya tepat ke wajah Ami yang ada di pelukan Ibunya.
Tanpa dikomando, langsung saja Bu Tini beringsut hendak meminta pertanggung jawaban Ami.
“Hey.. Kaaa…mu???”
Semburan dari mulut yang sudah siap dimuntahkan tiba-tiba ditelan lagi.
“Yu’ Tina…”
“Tini?”
 Seisi ruangan ditambah penonton yang mengintip dari luar ruangan yang sudah siap sedia melihat pertunjukan yang menghebohkan dibuat terpana oleh dua pasang anak beranak disana. Bagaimana tidak, wajah yang tadinya dipenuhi api kemarahan, spontan hilang berganti peluk mesra dan tangis penuh rindu yang mengharukan.
Ami dan Sabina saling pandang tak mengerti. Keduanya baru paham setelah kedua Ibu itu saling melepas pelukan.
“Sabina, ni kakak kandung Mama. Bude kamu. Namanya Ngatina.”
“Bener, Mi. Ini Bule’ kamu, Bule’ Ngatini.”
Seribu tawa membahana diantara sejuta malu yang kini menempel di diri Ami dan Sabina.
Bu Tina dan Bu Tini, kakak beradik yang sudah lama terpisah oleh gempa yang terjadi 20 tahun silam. Keduanya lama tak mendengar kabar berita. Bu Tina diadopsi sebuah keluarga di luar ke daerah karena orang tua mereka menjadi korban keganasan gempa. Enam bulan lalu suaminya mengajak pindah ke Jakarta untuk mengembangkan usaha.
Sedang Bu Tini, karena luka-luka yang sangat parah dievakuasi ke Jakarta. Begitu keadaannya pulih, dia kembali ke kampung halamannya. Namun begitu pilu rasa hatinya ketika dia tiba di tanah kelahirannya, tak ada seorangpun yang ia jumpai yang bisa memberikan kabar perihal keluarganya berdomisili kini. Karena tak menemukan sisa-sisa keluarganya, diapun kembali memutuskan kembali ke Jakarta dan bertemu jodoh di kota yang terkenal dengan kemacetannya itu.

“Bilangin donk, Bule’ sama dia, jangan suka ngejekin nama Ami.”
Ami masih terlihat sewot walau mereka telah saling berjabat tangan atas perintah Bu Tini dan Bu Tina.
“Eh, kamu kok ndak jalanin wasiat Mbok to, dek?”
Bu Tina memandangi serius wajah adiknya.
“Emang wasiat Mbah apaan, Bu?”
Ami tak kalah serius pengin tahu.
“Mbah kamu berwasiat, anak perempuan sulung Ibu dan bule’ kamu harus dinamain sama dengan nama si Mbah, Samikem. Biar keturunan-keturuannya Mbah tetap inget sama Mbah.”
Bu Tini senyum mengulum tawa. Malu.
“Ndak Yu’. Aku tetep njalanin wasiatnya Mbok kok. Nama anakku memang Sabina, tapi itu kependekan dari Samikem binti Nardi. Maksudnya, biar keren gitu, Yu’.”
Beberapa orang yang masih setia dengan drama komedi gratisan itu tak sanggup menahan tawa sambil mengelengkan kepala.

***

Ray kini berada diantara dua wanita yang membuatnya bingung. Saling berdebat dengan rumus dan teori yang mereka analisa. Sungguh mengagumkan kemampuan keduanya. Sekonyong-konyong Ray menjadi kecil dan merasa tak ada apa-apanya dibanding kepiawaian otak jenius mereka.
“Hei, udah nyampe mana sih? Aku nggak ngerti tau’?”
“Ih ni anak, orang tu udah nyampe di bulan, kamu masih mandangin aja dari bumi.”
Ray tak tersinggung dengan ejekan Sabina. Semua sudah hafal dengan tingkah bibirnya yang suka asal bicara.
“Eh, Bina. Allah tu nggak Maha Kuasa kalo semua ciptaannya pintar-pintar. Ada yang pintar atau sebaliknya itu membuktikan Maha Kuasanya Dia. Tul, kan Ray?”
Ray tersenyum kecut. Syukurlah Ami masih mau membela.
“Eh, tapi aku terkesan lo Ray, sama omongan kamu kemarin tentang kita.”
Sabina merapatkan duduknya dengan Ray sahabatnya dan Ami yang ternyata adalah sepupunya.
“Kemarin kamu bilang, seandainya aku dan Ami berpasangan di pemilihan Ketua OSIS dan wakilnya, bisa jadi kita pemenangnya. Tapi karena kita ngerasa paling mampu…”
“Iya, Ray bener.” Ami menyambung. “Seandainya dari awal kita sadar, bahwa kita semua saudara, berasal dari nenek dan kakek yang satu, kita nggak akan pernah berantem dan saling memburukkan. Pake saling ngejek asal usul segala lagi, padahal ternyata… kita…ber nenek satu.”
 ###


CERPEN RIA- GAMIS IMPIA N
- Viona Novelia

            Gamis itu terpajang di manekin-manekin pusat pembelanjaan. Zafi tak henti memandangi gamis itu. Ia sangat ingin memakai gamis, namun postur tubuhnya yang gemuk dan pendek, membuatnya kurang percaya diri memakai gamis, karena akan terlihat seperti ibu-ibu. Beragam mode gamis tersebar di pasaran,.Program dietpun sudah dicobanya, agar tubuhnya proposional, namun entah kenapa tidak berhasil juga. Kebiasaan Zafi yang suka ngemil hanya bisa dihentikan  untuk beberapa hari, entar kalau sudah stess lagi, pola makannya akan meningkat, dan faktanya Zafi keseringan dilanda stess dari pada  diet.
            Suatu malam di kost, para penghuni pada ribut menyambut kehadiran Yenni yang baru pulang dari Jakarta. Suasana lebaran masih terasa, kue-kue dari kampung  bertumpuk di toples besar, Yenni membawa oleh-oleh dari kampungnya, kampung Yenni di Jakarta, di daerah Tanah Abang, toko grosir terbesar di Indonesia.
“Akhwat afwan ya…Yeyen hanya bisa bawa ini” Yenni membuka kardus yang belum diketahui isinya.
“Uwaah….gamis…ini buat kita Yen” Pekik Farah langsung memungut salah satu gamis bermotif bunga, ia meraba dan meremas gamis tersebut, merasakan dengan jiwa, begitu pendapat Farah sebagai orang yang mengaku bertipe kinestetis.
“Dingin dasarnya Yen, bagus” Celetuknya kemudian. Yeyen tersenyum senang, hatinya merasa sejuk, karena barang yang dibawanya disukai saudarannya itu.
“Silahkan di pilih aja Wat, tapi jangan rebutan ya..” Ujar Yeyen berlalu ke belakang, ia kehausan, karena tidak ada akhwat yang tanggap, ia pun  harus mencari pelepas dahaganya sendiri.
Kost Zafi dihuni oleh sepuluh orang gadis berjilbab lebar, yang biasa di panggil akhwat, Yeyen adalah salah satu akhwat yang selalu pakai gamis ke kampus, katanya lebih nyaman, dan lebih tertutup. Pada masa saat ini, telah berkembang berbagai mode busana muslimah, salah satunya model gamis yang telah trend, kaum wanita saat ini telah kembali mempopulerkan gamis. Zafi juga merasakan aura ketertarikannnya pada gamis, namun ia tidak PD, karena ia tak terlihat anggun dengan bergamis, bahkan ibunya sendiri menertawakannya ketika Zafi iseng mencoba gamis kakak iparnya. Zafi mengambil sembarang  gamis yang di hadiahkan Yeyen , ia tidak tertarik, namun untuk menjaga perasaan Yeyen iapun tersenyum menerima Gamis orange itu.
            “Hm…kenapa sich…aku harus bertubuh gemuk kayak gini” Sesal Zafi menatap dirinya di dalam kaca. Zafi mengambil gamis orange yang tergeletak berantakan di atas kasurnya, ia mencoba memakainya. Buntelan lemak diperut , dan di pangkal lengan, serta pinggulnya yang lebar, benar-benar membuatnya tak enak di pandang kalau memakai gamis itu. Zafi merasa iri pada wanita-wanita berjilbab, yang tampak anggun mengenakan gamis. Ia ingin suatu hari ia akan bisa tampak anggun juga dengan gamis impiannya. Zafi menghempaskan tubuhnya di kasur, ia menerawang, membayangkan dirinya tampak anggun memakai gamis kehijauan.
            “Hey….lagi berkhayal ya? ayo lagi khayalin siapa?” Kehadiran Farah membuyarkan imajinasi Zafi, Zafi bersungut jengkel. “Ciee..Zafi pandai ngambek juga ternyata” Canda Farah mencubit pipi Zafi yang cubby. “Ada apa sich, sakit tahu ” Cetus zafi mengelus-ngelus pipinya, emang dasar Farah nggak ngerti sikon ia malah makin menjahili Zafi.
“Eh…kamu pake gamis??” Celetuk Farah sadar Zafi terbaring dengan gamis orangenya. “Aku cuma coba aja tadi, siapa tahu muat” ujar Zafi lemah. Farah tahu apa yang sedang dipikirkan Zafi, rona wajah yang tiba-tiba  murung menggambarkan suasana hati Zafi saat ini.
“ Coba aku lihat…..ayo berdiri…..” Tukas Farah membantu Zafi yang masih enggan berdiri.
“Ayo…! kamu cantik kok, pakai gamis” Lanjutnya, membuat Zafi tersenyum cuek, meskipun Farah sering menyebalkan, ia juga senang membuat Zafi besar kepala, dengan ucapan lembutnya yang tak sesuai fakta.
            Zafi pun berdiri dengan malas, Farah menilai layaknya seorang juri busana, ia mengangguk-angguk. “Bentar ya….” Lanjutnya sambil berlalu. Zafi tak menghiraukannya.
“Nah….ini pasti cocok buat kamu, mungkin gamis orange ini hanya kekecilan, jadi kelihatannya badan kamu nggak proposional, coba yang ini dech, ini ukurannya lumayan besar” Ujar farah menyodorkan gamis bewarna merah tua. Kalau soal paduan warna, Zafi tak perlu khawatir, kulit kuning langsatnya cocok dengan warna apa saja. Zafi menuruti pinta Farah, ia memakai gamis yang di sodorkan Farah.
            “Nah…ini kan pas, ayo pake jilbabnya, pasti tampak serasi” Ujar Farah bersemangat. Suasana hati Zafi berangsur-angsur pulih, ia merasa nyaman dengan pujian Farah, ia merasa di perhatikan, Farah mendandandaninya, ia terus memuji Zafi, farah juga memberikan masukan saran, agar Zafi lebih mengatur pola makan dan olahraga. “Hm…apakah Farah nggak bohong, aku juga cantik kalau pakai gamis?’ bathin Zafi merenung ketika Farah tidak mendandaninya lagi, ia mengamati dirinya yang memakai gamis merah tua itu,memang tampak lebih kurus, buntelan yang tadi terlihat jelas, tertutup oleh warna gelap gamis. Zafi tersenyum, ia telah tahu bagaimana mensiasati dalam memakai gamis, bila tak ingin tampak gemuk.
            Kesokan harinya ia kembali menjalani aktivitas kampus yang menunggu di selesaikan. Ia menikmati pemandangan langkah akhwat yang tampak anggun memakai gamis dan jilbab lebarnya. Hari ini Zafi berencana untuk mencari gamis yang di inginkannya, dengan senyuman besar harapan, ia tak sabar untuk segera pergi ke pusat pembelanjaan, danm membeli gamis yang hanya bisa dipandanginya beberapa waktu yang lalu. Sekarang hatinya sudah mantap untuk segera memmbeli gamis.
            Jam kuliah usai, Zafi merapikan buku-bukunya, seorang wanita berjilbab menghampirinya. “Hai…Fi, kita ke perpustakaan Yuk…” Ajaknya lembut penuh harap.
“Hah???, afwan Tri aku ada agenda mau ke pasar hari ini” Ujar Zafi menolak halus.
“Harus setelah ini perginya Fi, sebentar aja kita ke perpustakaannya, Cuma ngembaliin buku aja Kok, mau ya…!” Bujuk Tria merajuk. Sebenarnya bukan hanya semangat besarnya untuk segera sampai di pasar yang membuat Zafi enggan menemani Tria, tapi letak perpustakaan yang sudah jauh, dilantai tiga pula, Zafi sering kehabisan nafas setelah tangga terakhir.
“Hm..maaf Tria sayang, aku harus segera ke pasar, karena ini menyangkut harapan seseorang, aku pergi ya…” Ujar Zafi berjalan meninggalkan Tria yang hanya melongo bingung dengan sikap zafi yang tak seperti biasanya. Zafi menghirup nafas lega, pikirannya seakan sudah membawaanya ketempat pusat perbelanjaan itu, ia menyetop angkot, di atas angkot Zafi senyum-senyum sendiri, ia membayangkan dirinya berjalan anggun di koridor kampus, memakai gamis ungu polos, berbordir di pinggir lengan, plus jilbab ungu muda yang mencerahkan wajahnya. Ia membayangkan semua mata tertuju padanya, parahnya ia mengimajinasikan para mahasiswa akan terjatuh karena matanya pada meleng ke Zafi, dengan iseng Zafi membayangkan ikhwan yang di kagumi akan terpesona memandangnya.
            Setengah jam angkot tiba di Pasar Raya, Zafi telah tahu tempat yang akan dituju, sebuah pusat perbelanjaan yang ada di kota itu. Zafi menuju sebuah toko yang khusus menjual busana Muslimah yang sedang trend.
Ada yang bisa dibantu Mbak, coba liat kedalam dulu Mbak, barangnya baru datang tadi, apalagi gamisnya sudah bervariasi, sedang trend lho Mbak…..ba..bi..bu….”
“Apa yang dicari kak, liat dulu, mana tahu ada yang Kak cari bla..bla…” Celoteh para penjual membuat Zafi hanya melempar senyum maklum, ia terus menuju toko yang dicarinya, toko busana muslimah yang dicarinya adalah milik kakak sepupunya, letaknya memang agak jauh kebelakang, namun itu bukan kendala baginya untuk bisa mendapatkan gamis impiannya.
Akhirnya ia sampai di toko yang ditujunya, toko itu sedang ramai sekali, Zafi paham karena toko itu memang selalu ramai pengunjung, karena di toko ini tidak ada tawar menawar, kualitas barang dan kualitas harga telah terpercaya, apalagi barang-barang itu di jual dengan harga yang pas dan terjangkau, tidak perlu tawar menawar yang ribet dan memusingkan.
“Hai Fi, baru datang, silahkan di lihat-lihat mana yang disuka” Sambut seorang pegawai toko itu tersenyum dengan manis. Zafi membalas senyum itu, matanya sibuk meraba-raba gamis-gamis yang terpajang pada patung manekin di toko itu. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada gamis yang terpajang di ujung toko. Gamis bewarna hijau zamrut, dengan sulaman benang sutra di pinggir tepi bawahnya. Zafi merabanya, ia kembali berkhayal membayangkan dirinya sedang memakai gamis hijau itu. Ia tersenyum-senyum sendiri.
            “Hm….maaf Mbak…gamis ini sudah ada yang pesan” Tiba-tiba sebuah suara mengejutkan Zafi, wajahnya tiba-tiba memerah ketika melihat sosok yang membuyarkan khayalannya. Seorang lelaki yang amat di kenalnya, teman sejurusannya, walau tidak pernah sekelas, Zafi hanya tahu wajah yang didepannya pernah dilihatnya di jurusan, itulah yang membuatnya beranggapan lelaki itu sejurusan dengannya.
“Hah….sudah ada yang pesan???” tanya Zafi kecewa, mukanya berlipat bibirnya manyun.
            “Kok bisa???” Seru Zafi terus memegang gamis yang telah mencuri hatinya. Lelaki itu hanya memandang zafi dengan tatapan bingung, karena ia juga di suruh kakaknya untuk mengambil gamis hijau itu, kakaknya telah memesan terlebih dahulu, tapi lewat telphon saja. Lagipula ia juga juga nggak minat bercerewet ria meladeni gadis yang didepannya.
            “Hm…tapi ini sudah dipesan kakak saya kemaren” Ujar lelaki itu.
“Hah?? Kemaren? kalau udah dipesan kemaren kenapa masih di pajang disini, lagipula mungkin kamu salah gamis kali, mungkin saja pesanan kakak kamu udah di sediakan toko, coba tanya dulu pada pegawai tokonya” Celoteh zafi memberikan beberapa pandangan agar lelaki itu secara halus, ia sudah sangat tertarik dengan gamis itu, ia ingin memilikinya. Lelaki itu tampak berpikir, sepertinya ia tipikal yang tidak suka konflik, iapun mmenanyakan pada salah satu pegawai toko, dan merekapun tampak berbincang, di akhir obrolan terlihat pegawai itu memberikan sebuah bungkusan, dan lelaki itu menyodorkan dua lembar seratus ribuan. Zafi mengambil nafas lega. Ia pun mengambil gamis itu dan membayar pada kasir. Kebahagiaan tak bisa dituliskan dengan kata-kata, Zafi tampak sangat bahagia, ia tidak sabar ingin memakai gamis, dan memperlihatkan pada teman-temannya di kampus.
            Keesokan paginya, Zafi sengaja mandi pagi-pagi, ia ingin menciptakan model jilbab, sesuai dengan model jilbab yang dilihatnya di majalah kemaren. Ia tersenyum di kaca, memperhatikan penampilannya dari ujung kaki sampai ujung rambut, ia tak lagi melihat buntelan lemak diperutnya, warna gelap menyamarkan kegemukannnya. “Subhanallah Fi, kamu cantik banget…” Teriak Farah terbelalak, ia melihat zafi dengan penampilan berbeda pada pagi ini. Mendengar pujian itu Zafi serasa melambung tinggi ke awan, percaya dirinya muncul dengan berapi-api, mengambang. Ia pun melangkah keluar rumah, di jalan ia tak henti-hentinya menebar senyum pada orang lewat, kecuali pada mahasiswa yang juga sedang memakai jalan. Zafi hanya menunduk menyimpan senyum, harapan dilirik muncul di hatinya. Setiba di kampus ia bergabung dengan teman-temannya. Kesibukan membuat PR  dari dosen membuat Zafi harus menelan ludah karena tidak ada yang komentar dengan penampilannya hari ini. Hal aneh terjadi ketika didalam kelas, teman-temanya melirik Zafi, kemudian melempar senyum aneh adanya, awalnya zafi tak peduli, karena ia kira teman-temannya sedang menikmati pesonanya bergamis hari ini, alias kagum.
“Hm….tahu nggak, tadi Zafi pakai gamis lho, tapi aku segan juga” Ujar salah seorang mahasiswi di dalam kamar mandi.
            “ Segan kenapa??” Tanya Saira penasaran.
“Hm…ya segan aja, kalau Zafi itu nggak cocok pakai Gamis, tubuhnya yang gemuk akan membuatnya seperti ibuk-ibuk rumah tangga saja” Tukas Sasya berbisik.
“Husss…kamu jangan bicara begitu, nanti kalau orangnya dengar gimana??” Tanggap Saira menasehati. “Yuks…kita ke kantin, aku udah lapar nich…” Ujar Saira ketika mereka sudah selesai.
Zafi menahan sesak didadanya, kalimat itu terngiang-ngiang berulang dalam benaknya, ia mendengar semua ucapan Saira dan Syasa, ia sedang didalam toilet, ia kecewa dan benci pada teman-temannya, kenapa begitu tega membicarakannya dibelakang. Zafi lebih sedih lagi ketika mendengar tanggapan mereka tentang gamisnya. Ia kehilangan rasa percaya diri yang beberapa hari ini membuat hari-harinya serasa berarti, rasa sesal memenuhi fikirannya, ia menyayangkan Allah, kenapa harus menciptakannya dengan tubuh seperti ini, ia menangis menyesali dirinya sendiri. Ia tak sanggup kuliah, ia tak kuat jika harus melihat wajah teman-temannya yang melongo heran melihat penampilannya, ia benar mati gaya.
            Setiba di kost, ia langsung masuk kamar, badannya panas, hatinya bercampur aduk, ucapan Sasya dan Saira yang tak sengaja didengarnya tadi, kembali terngiang di telingannya, ia mencaci maki diri sendiri. :Hm…aku memang bodoh, udah jelas badan bongsor, masih PD ingin tampil cantik pakai gamis, aduh Fi, seharusnya kamu kubur aja dalam-dalam impian kamu untuk bisa pakai gamis itu” Bisikan syetan membuatnya bertambah rendah diri.
bIa membuka gamis itu, ia lempar sembarang tempat. “Hah..kenapa aku harus menpermalukan diriku seperti ini, Dasar gamis sialan, aku nggak mau lagi pakai gamis…Ya..Allah aku nggak mau punya tubuh besar kayak gini, aku mau mati aja…aku malu….” Teriak zafi nggak jelas, ia menangis tersedu-sedu. Farah yang sedang lewat didepan kamar Zafi merasa heran, ia pun masuk menghampiri zafi yang menangis ditutup bantal.
            “Fi,,,kamu kenapa..” tanya Farah lembut. Tangis Zafi makin menjadi, ia sesegukan menahan tangis.
            “Fi….ada apa….kamu bisa cerita ama aku, jangan pendam sendiri, entar kamu sakit Fi” Bujuk Farah mengelus pundak Zafi, tiba-tiba Zafi bangun dari tangisnya, rambutnya acak-acakan.
            “Hug….kenapa kamu bohong sama aku Ra..kenapa???” Tukas Zafi membuat Farah bingung, matanya merah menyulut kemarahan.
            “Apa maksud kamu Fi, bohong kenapa???” Kata Farah menanggapi. Zafi tampak kusut, pikirannya telah dipengaruhi asutan syetan, masalahnya sedang mencari mangsa pelampiasan, dan Farah menjadi sasarannya.
“Kamu bohongi aku, kalau aku cantik pakai Gamis, tapi apa?? itu hanya mempemalukan aku didepan teman-temanku, aku malu Ra, mereka bilang dibelakang aku kalau aku kayak ibuk-ibuk, badan bongsor nggak cocok pakai gamis,  aku nggak sanggup lagi rasanya kuliah, aku benci diriku ini, kenapa aku nggak bisa nahan hasratku untuk pakai gamis, kenapa aku harus punya impian yang ntah kapan aku wujudkan, aku benar-benar bodoh…bodoh….hggg….” Zafi menceracau, ia makin merintih lirih, Farah mengerti bagaimana perasaan Zafi sekarang , perasaan yang terluka karena harapannya tak sesuai dengan asumsinya, kecewa karena teman-temannya bicara dibelakangnya, Farah menatap Zafi dengan kasihan.
“Aku nggak bohong bilang kamu cantik Fi, siapa bilang gamis membuat kamu seperti anggapan mereka, mereka hanya mengerti mode, dan menelan lumat-lumat mode yang hanya mengagunkan keindahan luar , tapi nggak mengerti mamfaatnya, makanya mereka hanya menilai kamu dari segi luarnya aja, apa kamu nggak buang-buang waktu aja termakan omongan mereka, tujuan kita pakai gamis adalah untuk menutup aurat, agar terhindar dari dosa, bukan untuk pamer tubuh kan? bukan untuk perlihatkan ke orang wah..aku anggun lho pakai gamis, kalau kayak gitu sama saja kita tabaruj, tujuan agar dipuji oleh orang…itu adalah salah satu dosa besar Fi” Ujar Farah menasehati dengan lembut. Zafi terdiam, ia merenung kembali apa yang telah dilakukannya, apa tujuannya pakai gamis, ia menyesal telah kecewa pada Allah, ia merasa berdosa karena telah menghujat tuhannya.
“Ya…Allah betapa aku telah membuatmu marah, aku begitu bodoh teracuni oleh pikiran hanya ingin di puji orang,Ya Allah ampuni aku, aku akan pakai gamis, terserah mereka mau bilang apa, aku akan pakai gamis impianku, karena aku ingin keliahatan baik di matamu ya Rabb” Desah Zafi memeluk Farah, ia terisak di pangkuan  Farah, ia berusaha melupakan ocehan teman-teman yang menyakiti hatinya, ia sangat terluka, kegundahan membuatnya hanya ingin sendiri sekarang..untuk selanjutnya ia belum tahu akan lakukan apa.     

By Viona Novelia
in Inspiring Room, Oktober 2011 at 23.55 WIB



Gamis Impian
 Oleh : Viona Novelia


Gamis itu terpajang di manekin-manekin pusat pembelanjaan. Zafi tak henti memandangi gamis itu. Ia sangat ingin memakai gamis, namun postur tubuhnya yang gemuk dan pendek, membuatnya kurang percaya diri memakai gamis, karena akan terlihat seperti ibu-ibu. Beragam mode gamis tersebar di pasaran,.Program dietpun sudah dicobanya, agar tubuhnya proposional, namun entah kenapa tidak berhasil juga. Kebiasaan Zafi yang suka ngemil hanya bisa dihentikan  untuk beberapa hari, entar kalau sudah stess lagi, pola makannya akan meningkat, dan faktanya Zafi keseringan dilanda stess dari pada  diet.
Suatu malam di kost, para penghuni pada ribut menyambut kehadiran Yenni yang baru pulang dari Jakarta. Suasana lebaran masih terasa, kue-kue dari kampung  bertumpuk di toples besar, Yenni membawa oleh-oleh dari kampungnya, kampung Yenni di Jakarta, di daerah Tanah Abang, toko grosir terbesar di Indonesia.

“Akhwat afwan ya…Yeyen hanya bisa bawa ini” Yenni membuka kardus yang belum diketahui isinya.

“Uwaah….gamis…ini buat kita Yen” Pekik Farah langsung memungut salah satu gamis bermotif bunga, ia meraba dan meremas gamis tersebut, merasakan dengan jiwa, begitu pendapat Farah sebagai orang yang mengaku bertipe kinestetis.

“Dingin dasarnya Yen, bagus” Celetuknya kemudian. Yeyen tersenyum senang, hatinya merasa sejuk, karena barang yang dibawanya disukai saudarannya itu.

“Silahkan di pilih aja Wat, tapi jangan rebutan ya..” Ujar Yeyen berlalu ke belakang, ia kehausan, karena tidak ada akhwat yang tanggap, ia pun  harus mencari pelepas dahaganya sendiri.

Kost Zafi dihuni oleh sepuluh orang gadis berjilbab lebar, yang biasa di panggil akhwat, Yeyen adalah salah satu akhwat yang selalu pakai gamis ke kampus, katanya lebih nyaman, dan lebih tertutup. Pada masa saat ini, telah berkembang berbagai mode busana muslimah, salah satunya model gamis yang telah trend, kaum wanita saat ini telah kembali mempopulerkan gamis. Zafi juga merasakan aura ketertarikannnya pada gamis, namun ia tidak PD, karena ia tak terlihat anggun dengan bergamis, bahkan ibunya sendiri menertawakannya ketika Zafi iseng mencoba gamis kakak iparnya. Zafi mengambil sembarang  gamis yang di hadiahkan Yeyen , ia tidak tertarik, namun untuk menjaga perasaan Yeyen iapun tersenyum menerima Gamis orange itu.

“Hm…kenapa sich…aku harus bertubuh gemuk kayak gini” Sesal Zafi menatap dirinya di dalam kaca. Zafi mengambil gamis orange yang tergeletak berantakan di atas kasurnya, ia mencoba memakainya. Buntelan lemak diperut , dan di pangkal lengan, serta pinggulnya yang lebar, benar-benar membuatnya tak enak di pandang kalau memakai gamis itu. Zafi merasa iri pada wanita-wanita berjilbab, yang tampak anggun mengenakan gamis. Ia ingin suatu hari ia akan bisa tampak anggun juga dengan gamis impiannya. Zafi menghempaskan tubuhnya di kasur, ia menerawang, membayangkan dirinya tampak anggun memakai gamis kehijauan.
  
“Hey….lagi berkhayal ya? ayo lagi khayalin siapa?” Kehadiran Farah membuyarkan imajinasi Zafi, Zafi bersungut jengkel. “Ciee..Zafi pandai ngambek juga ternyata” Canda Farah mencubit pipi Zafi yang cubby. “Ada apa sich, sakit tahu ” Cetus zafi mengelus-ngelus pipinya, emang dasar Farah nggak ngerti sikon ia malah makin menjahili Zafi.
 
“Eh…kamu pake gamis??” Celetuk Farah sadar Zafi terbaring dengan gamis orangenya. “Aku cuma coba aja tadi, siapa tahu muat” ujar Zafi lemah. Farah tahu apa yang sedang dipikirkan Zafi, rona wajah yang tiba-tiba  murung menggambarkan suasana hati Zafi saat ini.

“ Coba aku lihat…..ayo berdiri…..” Tukas Farah membantu Zafi yang masih enggan berdiri.
“Ayo…! kamu cantik kok, pakai gamis” Lanjutnya, membuat Zafi tersenyum cuek, meskipun Farah sering menyebalkan, ia juga senang membuat Zafi besar kepala, dengan ucapan lembutnya yang tak sesuai fakta.
            
Zafi pun berdiri dengan malas, Farah menilai layaknya seorang juri busana, ia mengangguk-angguk. “Bentar ya….” Lanjutnya sambil berlalu. Zafi tak menghiraukannya.
“Nah….ini pasti cocok buat kamu, mungkin gamis orange ini hanya kekecilan, jadi kelihatannya badan kamu nggak proposional, coba yang ini dech, ini ukurannya lumayan besar” Ujar farah menyodorkan gamis bewarna merah tua. Kalau soal paduan warna, Zafi tak perlu khawatir, kulit kuning langsatnya cocok dengan warna apa saja. Zafi menuruti pinta Farah, ia memakai gamis yang di sodorkan Farah.
            
“Nah…ini kan pas, ayo pake jilbabnya, pasti tampak serasi” Ujar Farah bersemangat. Suasana hati Zafi berangsur-angsur pulih, ia merasa nyaman dengan pujian Farah, ia merasa di perhatikan, Farah mendandandaninya, ia terus memuji Zafi, farah juga memberikan masukan saran, agar Zafi lebih mengatur pola makan dan olahraga. “Hm…apakah Farah nggak bohong, aku juga cantik kalau pakai gamis?’ bathin Zafi merenung ketika Farah tidak mendandaninya lagi, ia mengamati dirinya yang memakai gamis merah tua itu,memang tampak lebih kurus, buntelan yang tadi terlihat jelas, tertutup oleh warna gelap gamis. Zafi tersenyum, ia telah tahu bagaimana mensiasati dalam memakai gamis, bila tak ingin tampak gemuk.
            
Kesokan harinya ia kembali menjalani aktivitas kampus yang menunggu di selesaikan. Ia menikmati pemandangan langkah akhwat yang tampak anggun memakai gamis dan jilbab lebarnya. Hari ini Zafi berencana untuk mencari gamis yang di inginkannya, dengan senyuman besar harapan, ia tak sabar untuk segera pergi ke pusat pembelanjaan, danm membeli gamis yang hanya bisa dipandanginya beberapa waktu yang lalu. Sekarang hatinya sudah mantap untuk segera memmbeli gamis.
            
Jam kuliah usai, Zafi merapikan buku-bukunya, seorang wanita berjilbab menghampirinya. 

“Hai…Fi, kita ke perpustakaan Yuk…” Ajaknya lembut penuh harap.

“Hah???, afwan Tri aku ada agenda mau ke pasar hari ini” Ujar Zafi menolak halus.

“Harus setelah ini perginya Fi, sebentar aja kita ke perpustakaannya, Cuma ngembaliin buku aja Kok, mau ya…!” Bujuk Tria merajuk. Sebenarnya bukan hanya semangat besarnya untuk segera sampai di pasar yang membuat Zafi enggan menemani Tria, tapi letak perpustakaan yang sudah jauh, dilantai tiga pula, Zafi sering kehabisan nafas setelah tangga terakhir.

“Hm..maaf Tria sayang, aku harus segera ke pasar, karena ini menyangkut harapan seseorang, aku pergi ya…” Ujar Zafi berjalan meninggalkan Tria yang hanya melongo bingung dengan sikap zafi yang tak seperti biasanya. Zafi menghirup nafas lega, pikirannya seakan sudah membawaanya ketempat pusat perbelanjaan itu, ia menyetop angkot, di atas angkot Zafi senyum-senyum sendiri, ia membayangkan dirinya berjalan anggun di koridor kampus, memakai gamis ungu polos, berbordir di pinggir lengan, plus jilbab ungu muda yang mencerahkan wajahnya. Ia membayangkan semua mata tertuju padanya, parahnya ia mengimajinasikan para mahasiswa akan terjatuh karena matanya pada meleng ke Zafi, dengan iseng Zafi membayangkan ikhwan yang di kagumi akan terpesona memandangnya. 

Setengah jam angkot tiba di Pasar Raya, Zafi telah tahu tempat yang akan dituju, sebuah pusat perbelanjaan yang ada di kota itu. Zafi menuju sebuah toko yang khusus menjual busana Muslimah yang sedang trend.

“Ada yang bisa dibantu Mbak, coba liat kedalam dulu Mbak, barangnya baru datang tadi, apalagi gamisnya sudah bervariasi, sedang trend lho Mbak…..ba..bi..bu….”

“Apa yang dicari kak, liat dulu, mana tahu ada yang Kak cari bla..bla…” Celoteh para penjual membuat Zafi hanya melempar senyum maklum, ia terus menuju toko yang dicarinya, toko busana muslimah yang dicarinya adalah milik kakak sepupunya, letaknya memang agak jauh kebelakang, namun itu bukan kendala baginya untuk bisa mendapatkan gamis impiannya.

Akhirnya ia sampai di toko yang ditujunya, toko itu sedang ramai sekali, Zafi paham karena toko itu memang selalu ramai pengunjung, karena di toko ini tidak ada tawar menawar, kualitas barang dan kualitas harga telah terpercaya, apalagi barang-barang itu di jual dengan harga yang pas dan terjangkau, tidak perlu tawar menawar yang ribet dan memusingkan.

“Hai Fi, baru datang, silahkan di lihat-lihat mana yang disuka” Sambut seorang pegawai toko itu tersenyum dengan manis. Zafi membalas senyum itu, matanya sibuk meraba-raba gamis-gamis yang terpajang pada patung manekin di toko itu. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada gamis yang terpajang di ujung toko. Gamis bewarna hijau zamrut, dengan sulaman benang sutra di pinggir tepi bawahnya. Zafi merabanya, ia kembali berkhayal membayangkan dirinya sedang memakai gamis hijau itu. Ia tersenyum-senyum sendiri. 

“Hm….maaf Mbak…gamis ini sudah ada yang pesan” Tiba-tiba sebuah suara mengejutkan Zafi, wajahnya tiba-tiba memerah ketika melihat sosok yang membuyarkan khayalannya. Seorang lelaki yang amat di kenalnya, teman sejurusannya, walau tidak pernah sekelas, Zafi hanya tahu wajah yang didepannya pernah dilihatnya di jurusan, itulah yang membuatnya beranggapan lelaki itu sejurusan dengannya.

“Hah….sudah ada yang pesan???” tanya Zafi kecewa, mukanya berlipat bibirnya manyun.
            
“Kok bisa???” Seru Zafi terus memegang gamis yang telah mencuri hatinya. Lelaki itu hanya memandang zafi dengan tatapan bingung, karena ia juga di suruh kakaknya untuk mengambil gamis hijau itu, kakaknya telah memesan terlebih dahulu, tapi lewat telphon saja. Lagipula ia juga juga nggak minat bercerewet ria meladeni gadis yang didepannya.

            
“Hm…tapi ini sudah dipesan kakak saya kemaren” Ujar lelaki itu.

“Hah?? Kemaren? kalau udah dipesan kemaren kenapa masih di pajang disini, lagipula mungkin kamu salah gamis kali, mungkin saja pesanan kakak kamu udah di sediakan toko, coba tanya dulu pada pegawai tokonya” Celoteh zafi memberikan beberapa pandangan agar lelaki itu secara halus, ia sudah sangat tertarik dengan gamis itu, ia ingin memilikinya. Lelaki itu tampak berpikir, sepertinya ia tipikal yang tidak suka konflik, iapun mmenanyakan pada salah satu pegawai toko, dan merekapun tampak berbincang, di akhir obrolan terlihat pegawai itu memberikan sebuah bungkusan, dan lelaki itu menyodorkan dua lembar seratus ribuan. Zafi mengambil nafas lega. Ia pun mengambil gamis itu dan membayar pada kasir. Kebahagiaan tak bisa dituliskan dengan kata-kata, Zafi tampak sangat bahagia, ia tidak sabar ingin memakai gamis, dan memperlihatkan pada teman-temannya di kampus. 

Keesokan paginya, Zafi sengaja mandi pagi-pagi, ia ingin menciptakan model jilbab, sesuai dengan model jilbab yang dilihatnya di majalah kemaren. Ia tersenyum di kaca, memperhatikan penampilannya dari ujung kaki sampai ujung rambut, ia tak lagi melihat buntelan lemak diperutnya, warna gelap menyamarkan kegemukannnya. “Subhanallah Fi, kamu cantik banget…” Teriak Farah terbelalak, ia melihat zafi dengan penampilan berbeda pada pagi ini. Mendengar pujian itu Zafi serasa melambung tinggi ke awan, percaya dirinya muncul dengan berapi-api, mengambang. Ia pun melangkah keluar rumah, di jalan ia tak henti-hentinya menebar senyum pada orang lewat, kecuali pada mahasiswa yang juga sedang memakai jalan. Zafi hanya menunduk menyimpan senyum, harapan dilirik muncul di hatinya. Setiba di kampus ia bergabung dengan teman-temannya. Kesibukan membuat PR  dari dosen membuat Zafi harus menelan ludah karena tidak ada yang komentar dengan penampilannya hari ini. Hal aneh terjadi ketika didalam kelas, teman-temanya melirik Zafi, kemudian melempar senyum aneh adanya, awalnya zafi tak peduli, karena ia kira teman-temannya sedang menikmati pesonanya bergamis hari ini, alias kagum.

“Hm….tahu nggak, tadi Zafi pakai gamis lho, tapi aku segan juga” Ujar salah seorang mahasiswi di dalam kamar mandi. 

“ Segan kenapa??” Tanya Saira penasaran.

“Hm…ya segan aja, kalau Zafi itu nggak cocok pakai Gamis, tubuhnya yang gemuk akan membuatnya seperti ibuk-ibuk rumah tangga saja” Tukas Sasya berbisik.

“Husss…kamu jangan bicara begitu, nanti kalau orangnya dengar gimana??” Tanggap Saira menasehati. “Yuks…kita ke kantin, aku udah lapar nich…” Ujar Saira ketika mereka sudah selesai.

Zafi menahan sesak didadanya, kalimat itu terngiang-ngiang berulang dalam benaknya, ia mendengar semua ucapan Saira dan Syasa, ia sedang didalam toilet, ia kecewa dan benci pada teman-temannya, kenapa begitu tega membicarakannya dibelakang. Zafi lebih sedih lagi ketika mendengar tanggapan mereka tentang gamisnya. Ia kehilangan rasa percaya diri yang beberapa hari ini membuat hari-harinya serasa berarti, rasa sesal memenuhi fikirannya, ia menyayangkan Allah, kenapa harus menciptakannya dengan tubuh seperti ini, ia menangis menyesali dirinya sendiri. Ia tak sanggup kuliah, ia tak kuat jika harus melihat wajah teman-temannya yang melongo heran melihat penampilannya, ia benar mati gaya.

Setiba di kost, ia langsung masuk kamar, badannya panas, hatinya bercampur aduk, ucapan Sasya dan Saira yang tak sengaja didengarnya tadi, kembali terngiang di telingannya, ia mencaci maki diri sendiri. :Hm…aku memang bodoh, udah jelas badan bongsor, masih PD ingin tampil cantik pakai gamis, aduh Fi, seharusnya kamu kubur aja dalam-dalam impian kamu untuk bisa pakai gamis itu” Bisikan syetan membuatnya bertambah rendah diri.

bIa membuka gamis itu, ia lempar sembarang tempat. “Hah..kenapa aku harus menpermalukan diriku seperti ini, Dasar gamis sialan, aku nggak mau lagi pakai gamis…Ya..Allah aku nggak mau punya tubuh besar kayak gini, aku mau mati aja…aku malu….” Teriak zafi nggak jelas, ia menangis tersedu-sedu. Farah yang sedang lewat didepan kamar Zafi merasa heran, ia pun masuk menghampiri zafi yang menangis ditutup bantal.
          
“Fi,,,kamu kenapa..” tanya Farah lembut. Tangis Zafi makin menjadi, ia sesegukan menahan tangis. 

“Fi….ada apa….kamu bisa cerita ama aku, jangan pendam sendiri, entar kamu sakit Fi” Bujuk Farah mengelus pundak Zafi, tiba-tiba Zafi bangun dari tangisnya, rambutnya acak-acakan.

“Hug….kenapa kamu bohong sama aku Ra..kenapa???” Tukas Zafi membuat Farah bingung, matanya merah menyulut kemarahan. 

“Apa maksud kamu Fi, bohong kenapa???” Kata Farah menanggapi. Zafi tampak kusut, pikirannya telah dipengaruhi asutan syetan, masalahnya sedang mencari mangsa pelampiasan, dan Farah menjadi sasarannya.

“Kamu bohongi aku, kalau aku cantik pakai Gamis, tapi apa?? itu hanya mempemalukan aku didepan teman-temanku, aku malu Ra, mereka bilang dibelakang aku kalau aku kayak ibuk-ibuk, badan bongsor nggak cocok pakai gamis,  aku nggak sanggup lagi rasanya kuliah, aku benci diriku ini, kenapa aku nggak bisa nahan hasratku untuk pakai gamis, kenapa aku harus punya impian yang ntah kapan aku wujudkan, aku benar-benar bodoh…bodoh….hggg….” Zafi menceracau, ia makin merintih lirih, Farah mengerti bagaimana perasaan Zafi sekarang , perasaan yang terluka karena harapannya tak sesuai dengan asumsinya, kecewa karena teman-temannya bicara dibelakangnya, Farah menatap Zafi dengan kasihan.

“Aku nggak bohong bilang kamu cantik Fi, siapa bilang gamis membuat kamu seperti anggapan mereka, mereka hanya mengerti mode, dan menelan lumat-lumat mode yang hanya mengagunkan keindahan luar , tapi nggak mengerti mamfaatnya, makanya mereka hanya menilai kamu dari segi luarnya aja, apa kamu nggak buang-buang waktu aja termakan omongan mereka, tujuan kita pakai gamis adalah untuk menutup aurat, agar terhindar dari dosa, bukan untuk pamer tubuh kan? bukan untuk perlihatkan ke orang wah..aku anggun lho pakai gamis, kalau kayak gitu sama saja kita tabaruj, tujuan agar dipuji oleh orang…itu adalah salah satu dosa besar Fi” Ujar Farah menasehati dengan lembut. Zafi terdiam, ia merenung kembali apa yang telah dilakukannya, apa tujuannya pakai gamis, ia menyesal telah kecewa pada Allah, ia merasa berdosa karena telah menghujat tuhannya.

“Ya…Allah betapa aku telah membuatmu marah, aku begitu bodoh teracuni oleh pikiran hanya ingin di puji orang,Ya Allah ampuni aku, aku akan pakai gamis, terserah mereka mau bilang apa, aku akan pakai gamis impianku, karena aku ingin keliahatan baik di matamu ya Rabb” Desah Zafi memeluk Farah, ia terisak di pangkuan  Farah, ia berusaha melupakan ocehan teman-teman yang menyakiti hatinya, ia sangat terluka, kegundahan membuatnya hanya ingin sendiri sekarang..untuk selanjutnya ia belum tahu akan lakukan apa.     

in Inspiring Room, Oktober 2011 at 23.55 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa Sobat TERAS untuk berkomentar...