Beranda

Sabtu, 21 Januari 2012

(Cerpen) PILIH YANG BENAR-BENAR CAKAP DAN TELAH DIKENAL. S A B I N A


PILIH YANG BENAR-BENAR CAKAP DAN TELAH DIKENAL.
S A B I N A.

Smart, IQ diatas rata-rata, ulet, pekerja keras, berjiwa pantang menyerah, cantik, plus telah berstatus sebagai pelajar sekolah ini sejak TK.
Mana ada yang kaya’ dia. Siapa lagi kalau bukan SABINA.
So, jangan lupa, ya. Centang SABINA, jangan yang lain.

Kembali Ray tersenyum sendiri. Dalam hati, Ray hanya bisa berdo’a. Semoga jika memang Tuhan mentakdirkan salah satu sahabatnya itu jadi pemimpin, mereka benar-benar giat bekerja dan mampu membuktikan segala macam janji yang telah diumbar sepanjang masa kampanye.



Suasana masih tenang. Usai penghitungan suara pada pemilihan Ketua OSIS, hanya ada beberapa anak-anak di sepanjang koridor yang membicarakan kemenangan mutlak Oky dan Lintang. Semua heran, kenapa nyaris seluruh siswa memilih Oky, padahal kampanye Oky tidak segempar kandidat lain. Janji yang dilontarin tak semerdu janji saingan-saingannya. Tapi kenapa warga SMA Pelita Terang lebih menyokong Oky.
Mungkin semua siswa sudah paham betul bahwa memilih seorang pimpinan bisa dilihat dari kemampuan, sikap dan kebiasaanya selama ini, bukan dari janji manis yang disembur dan kebaikan yang biasa ditebar di masa kampanye. Lebih jauh mereka pasti sudah mericek semua kandidat yang ada dan memilih yang terbaik untuk dinobatkan menjadi ketua.

“Ray, Ray… Woi… Rayhana…”
Terlalu kencang suara itu. Tak perlu berteriak, Ray juga pasti bisa mendengarnya. Emang aku pekak apa, Ray menggeretu.
Linda berlari-lari memegangi dadanya.
“Dua sobat kamu lagi berantem tuh di jalan.”
“Ha?” Mulut Ray menganga. Untung jadwal penerbangan semua jenis lalat sedang kosong di dekat Ray. Kalo tidak, bisa kehilangan kontak tuh lalat.
“Ya. Ami ama Sabina udah mau ngeluarin jurusnya masing-masing di depan gerbang. Mana Satpam gak tau kemana lagi rimbanya. Kalo bisa kamu kesana deh, Ray. Dua-duanya kan sobat kamu, kali aja mereka mau ndengerin kamu. Nih aku mau ngelaporin tragedi yang mencekam ini sama guru.”
Ray berlari sekencang jetsky.

“Gawat… gawat… Bawa ke Klinik! Cepat!”
Ray mendengar suara itu sangat jelas. Menoleh ke arah asal suara, kedua wanita yang menjadi bandar pemasok ilmu gratisannya itu telah dibopong menuju UKS.
“Bukannya tadi mereka baik-baik aja usai penghitungan suara?”
“Ya. Keduanya kelihatan sportif mengakui kekalahan. Tapi gitu nyampe di luar, kok pada jontok-jontokan.” Lily yang menjawab.
“Si jadul tu yang duluan, pake lirak lirik Sabina, muke diperungutin kaya’ jeruk purut.” Rere, sahabat Sabina yang jawab.
“Huuu, Sabina tu yang pake nyamber Ami duluan. Mana…”
“Husssh… Udah… Gak usah pake nyalah-nyalahin segala. Ntar malah makin ribut. Kalian pada bonyok-bonyokan juga.” Ray membentak semua orang di hadapannya.
“Panggil orangtuanya!” Bu Mimi, guru BP memerintahkan asistennya dengan wajah sedikit panik.

Ray mandangin sekujur tubuh mereka yang terhampar keletihan. Mereka pingsan setelah adu mulut berlanjut adu otot.
“Sabina…”
Seorang wanita paruh baya lari dan menjerit ingin segera memeluk tubuh yang masih tak berkutik itu. Bu Tini, Mamanya Sabina.
“Sabina, bangun… “ Jeritnya pilu. “Kenapa bisa jadi gini, Bu?”
Bu Tini mencari jawaban perihal pingsannya buah hatinya kepada Bu Mimi tanpa berhenti mengguncang tubuh anaknya yang belum sadarkan diri.
“Ami….”
Satu suara cempreng menyembul kian membuat onar ruangan sempit itu.
“Ami, ada apa to, nduk? Kenapa sampe lebam-lebam gini wajah ayu kamu?”
Bu Tina, Ibunya Ami menyeruak dari keramaian langsung menciumi anaknya.
Semarak. Seperti ada festival menangis paling merdu di ruangan itu. Kedua wanita itu seolah tak peduli sedang ada dimana, tengah ditonton massa.
Tapi ada hikmahnya juga, teriakan dan tangis dua Ibu yang menyesakkan telinga itu akhirnya membangunkan Sabina, juga Ami. Kompak mereka terbangun dari pingsannya yang cukup menggemparkan seisi sekolah.

“Tuh, Ma orangnya yang buat Sabina jadi gini.”
Sabina mengarahkan telunjuknya tepat ke wajah Ami yang ada di pelukan Ibunya.
Tanpa dikomando, langsung saja Bu Tini beringsut hendak meminta pertanggung jawaban Ami.
“Hey.. Kaaa…mu???”
Semburan dari mulut yang sudah siap dimuntahkan tiba-tiba ditelan lagi.
“Yu’ Tina…”
“Tini?”
 Seisi ruangan ditambah penonton yang mengintip dari luar ruangan yang sudah siap sedia melihat pertunjukan yang menghebohkan dibuat terpana oleh dua pasang anak beranak disana. Bagaimana tidak, wajah yang tadinya dipenuhi api kemarahan, spontan hilang berganti peluk mesra dan tangis penuh rindu yang mengharukan.
Ami dan Sabina saling pandang tak mengerti. Keduanya baru paham setelah kedua Ibu itu saling melepas pelukan.
“Sabina, ni kakak kandung Mama. Bude kamu. Namanya Ngatina.”
“Bener, Mi. Ini Bule’ kamu, Bule’ Ngatini.”
Seribu tawa membahana diantara sejuta malu yang kini menempel di diri Ami dan Sabina.
Bu Tina dan Bu Tini, kakak beradik yang sudah lama terpisah oleh gempa yang terjadi 20 tahun silam. Keduanya lama tak mendengar kabar berita. Bu Tina diadopsi sebuah keluarga di luar ke daerah karena orang tua mereka menjadi korban keganasan gempa. Enam bulan lalu suaminya mengajak pindah ke Jakarta untuk mengembangkan usaha.
Sedang Bu Tini, karena luka-luka yang sangat parah dievakuasi ke Jakarta. Begitu keadaannya pulih, dia kembali ke kampung halamannya. Namun begitu pilu rasa hatinya ketika dia tiba di tanah kelahirannya, tak ada seorangpun yang ia jumpai yang bisa memberikan kabar perihal keluarganya berdomisili kini. Karena tak menemukan sisa-sisa keluarganya, diapun kembali memutuskan kembali ke Jakarta dan bertemu jodoh di kota yang terkenal dengan kemacetannya itu.

“Bilangin donk, Bule’ sama dia, jangan suka ngejekin nama Ami.”
Ami masih terlihat sewot walau mereka telah saling berjabat tangan atas perintah Bu Tini dan Bu Tina.
“Eh, kamu kok ndak jalanin wasiat Mbok to, dek?”
Bu Tina memandangi serius wajah adiknya.
“Emang wasiat Mbah apaan, Bu?”
Ami tak kalah serius pengin tahu.
“Mbah kamu berwasiat, anak perempuan sulung Ibu dan bule’ kamu harus dinamain sama dengan nama si Mbah, Samikem. Biar keturunan-keturuannya Mbah tetap inget sama Mbah.”
Bu Tini senyum mengulum tawa. Malu.
“Ndak Yu’. Aku tetep njalanin wasiatnya Mbok kok. Nama anakku memang Sabina, tapi itu kependekan dari Samikem binti Nardi. Maksudnya, biar keren gitu, Yu’.”
Beberapa orang yang masih setia dengan drama komedi gratisan itu tak sanggup menahan tawa sambil mengelengkan kepala.

***

Ray kini berada diantara dua wanita yang membuatnya bingung. Saling berdebat dengan rumus dan teori yang mereka analisa. Sungguh mengagumkan kemampuan keduanya. Sekonyong-konyong Ray menjadi kecil dan merasa tak ada apa-apanya dibanding kepiawaian otak jenius mereka.
“Hei, udah nyampe mana sih? Aku nggak ngerti tau’?”
“Ih ni anak, orang tu udah nyampe di bulan, kamu masih mandangin aja dari bumi.”
Ray tak tersinggung dengan ejekan Sabina. Semua sudah hafal dengan tingkah bibirnya yang suka asal bicara.
“Eh, Bina. Allah tu nggak Maha Kuasa kalo semua ciptaannya pintar-pintar. Ada yang pintar atau sebaliknya itu membuktikan Maha Kuasanya Dia. Tul, kan Ray?”
Ray tersenyum kecut. Syukurlah Ami masih mau membela.
“Eh, tapi aku terkesan lo Ray, sama omongan kamu kemarin tentang kita.”
Sabina merapatkan duduknya dengan Ray sahabatnya dan Ami yang ternyata adalah sepupunya.
“Kemarin kamu bilang, seandainya aku dan Ami berpasangan di pemilihan Ketua OSIS dan wakilnya, bisa jadi kita pemenangnya. Tapi karena kita ngerasa paling mampu…”
“Iya, Ray bener.” Ami menyambung. “Seandainya dari awal kita sadar, bahwa kita semua saudara, berasal dari nenek dan kakek yang satu, kita nggak akan pernah berantem dan saling memburukkan. Pake saling ngejek asal usul segala lagi, padahal ternyata… kita…ber nenek satu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa Sobat TERAS untuk berkomentar...