PILIH YANG
BENAR-BENAR CAKAP DAN TELAH DIKENAL.
S A B I N A.
Smart,
IQ diatas rata-rata, ulet, pekerja keras, berjiwa pantang menyerah, cantik,
plus telah berstatus sebagai pelajar sekolah ini sejak TK.
Mana
ada yang kaya’ dia. Siapa lagi kalau bukan SABINA.
So,
jangan lupa, ya. Centang SABINA, jangan yang lain.
Kembali
Ray tersenyum sendiri. Dalam hati, Ray hanya bisa berdo’a. Semoga jika memang
Tuhan mentakdirkan salah satu sahabatnya itu jadi pemimpin, mereka benar-benar
giat bekerja dan mampu membuktikan segala macam janji yang telah diumbar
sepanjang masa kampanye.
Suasana
masih tenang. Usai penghitungan suara pada pemilihan Ketua OSIS, hanya ada
beberapa anak-anak di sepanjang koridor yang membicarakan kemenangan mutlak Oky
dan Lintang. Semua heran, kenapa nyaris seluruh siswa memilih Oky, padahal
kampanye Oky tidak segempar kandidat lain. Janji yang dilontarin tak semerdu
janji saingan-saingannya. Tapi kenapa warga SMA Pelita Terang lebih menyokong
Oky.
Mungkin
semua siswa sudah paham betul bahwa memilih seorang pimpinan bisa dilihat dari
kemampuan, sikap dan kebiasaanya selama ini, bukan dari janji manis yang
disembur dan kebaikan yang biasa ditebar di masa kampanye. Lebih jauh mereka
pasti sudah mericek semua kandidat yang ada dan memilih yang terbaik untuk
dinobatkan menjadi ketua.
“Ray,
Ray… Woi… Rayhana…”
Terlalu
kencang suara itu. Tak perlu berteriak, Ray juga pasti bisa mendengarnya. Emang
aku pekak apa, Ray menggeretu.
Linda
berlari-lari memegangi dadanya.
“Dua
sobat kamu lagi berantem tuh di jalan.”
“Ha?”
Mulut Ray menganga. Untung jadwal penerbangan semua jenis lalat sedang kosong
di dekat Ray. Kalo tidak, bisa kehilangan kontak tuh lalat.
“Ya.
Ami ama Sabina udah mau ngeluarin jurusnya masing-masing di depan gerbang. Mana
Satpam gak tau kemana lagi rimbanya. Kalo bisa kamu kesana deh, Ray. Dua-duanya
kan sobat
kamu, kali aja mereka mau ndengerin kamu. Nih aku mau ngelaporin tragedi yang
mencekam ini sama guru.”
Ray
berlari sekencang jetsky.
“Gawat…
gawat… Bawa ke Klinik! Cepat!”
Ray
mendengar suara itu sangat jelas. Menoleh ke arah asal suara, kedua wanita yang
menjadi bandar pemasok ilmu gratisannya itu telah dibopong menuju UKS.
“Bukannya
tadi mereka baik-baik aja usai penghitungan suara?”
“Ya.
Keduanya kelihatan sportif mengakui kekalahan. Tapi gitu nyampe di luar, kok
pada jontok-jontokan.” Lily yang menjawab.
“Si
jadul tu yang duluan, pake lirak lirik Sabina, muke diperungutin kaya’ jeruk
purut.” Rere, sahabat Sabina yang jawab.
“Huuu,
Sabina tu yang pake nyamber Ami duluan. Mana…”
“Husssh…
Udah… Gak usah pake nyalah-nyalahin segala. Ntar malah makin ribut. Kalian pada
bonyok-bonyokan juga.” Ray membentak semua orang di hadapannya.
“Panggil
orangtuanya!” Bu Mimi, guru BP memerintahkan asistennya dengan wajah sedikit
panik.
Ray
mandangin sekujur tubuh mereka yang terhampar keletihan. Mereka pingsan setelah
adu mulut berlanjut adu otot.
“Sabina…”
Seorang
wanita paruh baya lari dan menjerit ingin segera memeluk tubuh yang masih tak
berkutik itu. Bu Tini, Mamanya Sabina.
“Sabina,
bangun… “ Jeritnya pilu. “Kenapa bisa jadi gini, Bu?”
Bu
Tini mencari jawaban perihal pingsannya buah hatinya kepada Bu Mimi tanpa
berhenti mengguncang tubuh anaknya yang belum sadarkan diri.
“Ami….”
Satu
suara cempreng menyembul kian membuat onar ruangan sempit itu.
“Ami,
ada apa to, nduk? Kenapa sampe lebam-lebam gini wajah ayu kamu?”
Bu
Tina, Ibunya Ami menyeruak dari keramaian langsung menciumi anaknya.
Semarak.
Seperti ada festival menangis paling merdu di ruangan itu. Kedua wanita itu
seolah tak peduli sedang ada dimana, tengah ditonton massa .
Tapi
ada hikmahnya juga, teriakan dan tangis dua Ibu yang menyesakkan telinga itu
akhirnya membangunkan Sabina, juga Ami. Kompak mereka terbangun dari pingsannya
yang cukup menggemparkan seisi sekolah.
“Tuh,
Ma orangnya yang buat Sabina jadi gini.”
Sabina
mengarahkan telunjuknya tepat ke wajah Ami yang ada di pelukan Ibunya.
Tanpa
dikomando, langsung saja Bu Tini beringsut hendak meminta pertanggung jawaban
Ami.
“Hey..
Kaaa…mu???”
Semburan
dari mulut yang sudah siap dimuntahkan tiba-tiba ditelan lagi.
“Yu’
Tina…”
“Tini?”
Seisi
ruangan ditambah penonton yang mengintip dari luar ruangan yang sudah siap
sedia melihat pertunjukan yang menghebohkan dibuat terpana oleh dua pasang anak
beranak disana. Bagaimana tidak, wajah yang tadinya dipenuhi api kemarahan,
spontan hilang berganti peluk mesra dan tangis penuh rindu yang mengharukan.
Ami
dan Sabina saling pandang tak mengerti. Keduanya baru paham setelah kedua Ibu
itu saling melepas pelukan.
“Sabina,
ni kakak kandung Mama. Bude kamu. Namanya Ngatina.”
“Bener,
Mi. Ini Bule’ kamu, Bule’ Ngatini.”
Seribu
tawa membahana diantara sejuta malu yang kini menempel di diri Ami dan Sabina.
Bu
Tina dan Bu Tini, kakak beradik yang sudah lama terpisah oleh gempa yang
terjadi 20 tahun silam. Keduanya lama tak mendengar kabar berita. Bu Tina
diadopsi sebuah keluarga di luar ke daerah karena orang tua mereka menjadi
korban keganasan gempa. Enam bulan lalu suaminya mengajak pindah ke Jakarta untuk mengembangkan
usaha.
Sedang
Bu Tini, karena luka-luka yang sangat parah dievakuasi ke Jakarta . Begitu keadaannya pulih, dia kembali
ke kampung halamannya. Namun begitu pilu rasa hatinya ketika dia tiba di tanah
kelahirannya, tak ada seorangpun yang ia jumpai yang bisa memberikan kabar
perihal keluarganya berdomisili kini. Karena tak menemukan sisa-sisa
keluarganya, diapun kembali memutuskan kembali ke Jakarta
dan bertemu jodoh di kota
yang terkenal dengan kemacetannya itu.
“Bilangin
donk, Bule’ sama dia, jangan suka ngejekin nama Ami.”
Ami
masih terlihat sewot walau mereka telah saling berjabat tangan atas perintah Bu
Tini dan Bu Tina.
“Eh,
kamu kok ndak jalanin wasiat Mbok to, dek?”
Bu
Tina memandangi serius wajah adiknya.
“Emang
wasiat Mbah apaan, Bu?”
Ami
tak kalah serius pengin tahu.
“Mbah
kamu berwasiat, anak perempuan sulung Ibu dan bule’ kamu harus dinamain sama
dengan nama si Mbah, Samikem. Biar keturunan-keturuannya Mbah tetap inget sama
Mbah.”
Bu
Tini senyum mengulum tawa. Malu.
“Ndak
Yu’. Aku tetep njalanin wasiatnya Mbok kok. Nama anakku memang Sabina, tapi itu
kependekan dari Samikem binti Nardi. Maksudnya, biar keren gitu, Yu’.”
Beberapa
orang yang masih setia dengan drama komedi gratisan itu tak sanggup menahan
tawa sambil mengelengkan kepala.
***
Ray
kini berada diantara dua wanita yang membuatnya bingung. Saling berdebat dengan
rumus dan teori yang mereka analisa. Sungguh mengagumkan kemampuan keduanya.
Sekonyong-konyong Ray menjadi kecil dan merasa tak ada apa-apanya dibanding
kepiawaian otak jenius mereka.
“Hei,
udah nyampe mana sih? Aku nggak ngerti tau’?”
“Ih
ni anak, orang tu udah nyampe di bulan, kamu masih mandangin aja dari bumi.”
Ray
tak tersinggung dengan ejekan Sabina. Semua sudah hafal dengan tingkah bibirnya
yang suka asal bicara.
“Eh,
Bina. Allah tu nggak Maha Kuasa kalo semua ciptaannya pintar-pintar. Ada yang pintar atau sebaliknya itu membuktikan Maha
Kuasanya Dia. Tul, kan
Ray?”
Ray
tersenyum kecut. Syukurlah Ami masih mau membela.
“Eh,
tapi aku terkesan lo Ray, sama omongan kamu kemarin tentang kita.”
Sabina
merapatkan duduknya dengan Ray sahabatnya dan Ami yang ternyata adalah
sepupunya.
“Kemarin
kamu bilang, seandainya aku dan Ami berpasangan di pemilihan Ketua OSIS dan
wakilnya, bisa jadi kita pemenangnya. Tapi karena kita ngerasa paling mampu…”
“Iya,
Ray bener.” Ami menyambung. “Seandainya dari awal kita sadar, bahwa kita semua
saudara, berasal dari nenek dan kakek yang satu, kita nggak akan pernah
berantem dan saling memburukkan. Pake saling ngejek asal usul segala lagi,
padahal ternyata… kita…ber nenek satu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa Sobat TERAS untuk berkomentar...